Kebutaan Kita
Sebut saja Slamet. Seorang tuna netra. Bertongkat. Dan seseorang, mungkin saudaranya, menuntun setiap langkahnya.
Saya hanya mengenalnya ketika berdialok dengan Sekretaris Pansus DPRD Lampung Malhani Manan, beberapa waktu lalu.
Saat itu, dia yang mewakili Pengurus Dewan Tuna Netra (DTN) Lampung, datang bersama sekelompok massa dari berbagai organisasi non-pemerintah (Ornop) dan wartawan. Begitu dia datang, suara tongkatnya berdentam. Tapi suara itu tidak menyita perhatian siapa pun. Orang-orang baru tahu kehadirannya dia saat bicara.
"Di Lampung ini, ada 700 orang kaum tuna netra. Tapi, cuma 200 yang dicatat pemerintah. Mereka tidak bisa melihat yang 500 lagi." Suara Slamet berat, dan masih tampak mau melanjutkan kalimatnya, "Yang 200 orang ini tidak pernah mendapat tempat sebagai warga negara."
Baam! Bak pukulan palu. Kalimat itu mengebuk. Gebukan dari kalimatnya yang lain jauh lebih keras. "Ketika pemerintah meluncurkan program Wajib Belajar 9 Tahun, penderita tuna netra di Lampung tidak punya apapun untuk dipelajari. Kami dibiarkan buta huruf seolah-olah tak butuh ilmu pengetahuan," kata Slamet.
Pukulan telak Slamet seharusnya tidak mengenai dada saya. Tapi saya ikut kesakitan. Terutama karena saat bicara, seluruh kebutaan yang dideritanya, sirna seketika. Sebab dia, ternyata, banyak melihat. Apa yang dia lihat jauh lebih banyak dari yang pernah saya lihat, sekalipun kedua belah mata saya normal.
Saya teringat Helen, seorang gadis 5 tahun, dalam sebuah film yang menguras air mata dan logika. Gadis berambut pirang yang terlahir sebagai orang cacat ini, dalam sebuah adegan film berjudul namanya itu, tampak belajar mengenali air bersama ibu gurunya yang tekun. "Seperti inilah air. Dingin, sejuk, dan... dengarlah suara kecipaknya!" Ibu gurunya mencoba menjelaskan.
Dan Helen, gadis yang tidak pernah meminta dilahirkan cacat itu, mencium, mencicipi, dan mendengarkan kecipak air. Setelah sekitar lima menit ia terdiam, ibu gurunya bertanya, "Sudah kau bayangkan air itu apa?"
Helen mengangguk, "Aku merasa begitu tenang, sejuk, dan nyaman."
"Itulah air," kata ibu gurunya. "Ketuduhan, ketenangan, dan kenyamanan."
Ah, Slamet. Orang-orang seperti dirinya, seperti Helen, dan seperti orang-orang tidak normal lainnya, sebetulnya orang-orang yang pantas berbahagia. Ketidaknormalan dalam diri mereka adalah cobaan-Nya, dan mereka bisa mengatasinya. Berbeda dengan mereka yang normal, yang ternyata berlaku tidak normal dalam banyak hal.
Maka sosok Slamet, di dalam gedung DPRD Lampung yang megah, bagi saya adalah sebuah garis putih di tengah-tengah bidang hitam.
Dari dunianya yang gelap, Slamet mampu melihat ke luar dari kegelapan itu. Sementara saya, para anggota Dewan, dan para aktivis Ornop lainnya, hanya mampu melihat apa yang ada dalam dunia yang terang. Di luar dunia itu, misalnya dunia gelap yang dihuni Slamet dan kawan-kawannya, mata kami telah buta.
Lampung Post edisi 10 Juni 2002
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda