Kesalehan
SEBUAH diskusi digelar Komunitas Rumah Panggung di Wisma Dahlia Bandar Lampung beberapa waktu lalu. Dalam diskusi yang kemudian jadi arena guyonan itu, salah seorang pembicara menyinggung soal agama (Islam) sebagai sebuah paradigma. Sesuatu yang tak akan bisa selesai dibicarakan, dan sudah mengisyaratkan tidak akan ada solusinya.
Tapi, di tengah-tengah realitas manusia Indonesia yang religius atau tampak religius, soal agama sebagai paradigma pemikiran itu tampaknya menemukan signifikansinya. Pandangan agama sebagai pemikiran telah melahirkan manusia dengan tingkat kesalehan yang paradoksal. Sebab, mereka selalu berkeyakinan bahwa agama sama persis dengan ilmu pengetahuan, cuma berarti pada tingkat kognitif.
Makanya, bangsa yang dikenal religius ini, ternyata benar-benar menjadi bangsa yang brutal, ganas, garang, bahkan kanibal, sehingga tidak lagi memiliki rasa perikemanusiaan. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Inilah pertanyaan sederhana, namun penting kita kaji bersama sebagai bangsa religius, sebelum habis kesabaran kita memilih menjadi bangsa non-religius. Itu sebabnya, ketika mereka berhadapan dengan realitas kehidupan yang keras, agama sebagai pengetahuan itu tidak mampu memberi pencerahan.
Agama justru menjadi sumber bagi munculnya pertikaian-pertikaian, yang memberi kesan seolah-olah agama diciptakan bukan untuk memurnikan jiwa manusia. Agama bukan untuk menjelaskan kepada manusia mengenai posisinya sebagai hamba di hadapan Yang Maha Kuasa, atau sesuatu seperti barang titipan di atas bumi yang suatu saat bisa diambil kembali oleh pemilik-Nya.
Sebab itu, sebagai bangsa yang religius, kita harus merenungkan kembali keagamaan kita. Apakah kita sebagai orang beragama telah menjadi begitu angkuh sehingga kelakuan dan perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari tidak memiliki moralitas agama?
Mengapa sebagai orang beragama kita lebih bersifat egois teosentris, bukan humanis antroposentris? ®MDNM¯Keagamaan teosentris menempatkan usaha sebagai sesuatu yang sekunder semata. Sebab itu, seringkali seorang yang tampak saleh, rajin mengurusi tempat-tempat ibadah, tetapi pada saat yang sama tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap kesengsaraan yang diderita sesama umat manusia.
Inilah yang sebenarnya "simbol-simbol" egoisme religius, yang menyarankan Tuhan untuk menilai dirinya, tanpa perlu memperhatikan peran-peran sosial yang dilakukan. Akibat dominannya keagamaan yang egois teosentris seperti itu, sekalipun seseorang rajin mengunjungi tempat ibadah, membaca ajaran tentang perdamaian, ajaran saling menolong, dilarang berbuat curang, dilarang suka mencari-cari kesalahan orang lain, dilarang mencari-cari keuntungan dalam kesempitan, semuanya tidak berhubungan secara positif atas perilaku sehari-hari dalam bermasyarakat.
Agama sebagai everyday life, tidak terwujud sama sekali. Fenomena korupsi yang terjadi di kalangan birokrat negeri ini sangat jelas menempatkan keagamaan egois teosentris sebagai basisnya. Korupsi, menipu publik, menilep, dan menggandakan "pesangon" tidak dimaknai sebagai bentuk-bentuk perilaku bertentangan dengan ajaran tentang kesalehan. Beragama melulu dipahami sebagai bentuk kesalehan individual.
Sebab itu, setelah rajin mengunjungi rumah-rumah ibadah, rajin menjalankan ritual keagamaan, sudah merasa paling sempurna dalam beragama. Apalagi bila setiap malam telah mampu berdoa kepada Tuhan untuk memohon kebahagiaan atas dirinya, keluarganya, kesuksesan bisnisnya, kesuksesan studinya, maka merasa apa yang dilakukan siang hari aktivitasnya tidak harus berhubungan atas apa yang dikerjakan pada malam hari.
Malam berdoa dengan meneteskan air mata, memohon kepada Tuhan untuk diberkahi, namun siang hari di kantor, di jalan, di toko, di pasar berbuat curang, menipu, meneror orang dianggap hal biasa. Semua itu suatu yang dianggap lazim, karena hampir semua orang beragama melakukannya.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda