Powered by Blogger.
  • Home
  • Travel
  • Life Style
    • Category
    • Category
    • Category
  • About
  • Contact
  • Download

Budi Hatees



Puisi Budi Hatees

PERCERAIAN

Yang menghancurkan
Bukan perceraian
Tapi Sepasang mata kecil
Yang menatap dari balik pintu
Mata itu seperti sebuah telaga
Yang airnya tercurah
Bergulir. Bergulir. Bergulir
Si laki-laki tak tahu lagi
Apa yang terjadi setelah itu
Ia pergi. Melangkah.
Pintu yang terbuka itu
Satu-satunya jalan 
Yang akan membebaskannya
Dari semua ikatan
yang mengekang. Ia lihat langit
luas dan biru. Ia lihat jalan
Panjang dan lengang
Ia selalu punya tujuan
Melangkah dan tak menoleh 
Ia tahu si perempuan membara
dengan segala tuduhannya
Terbakar. Menyala.
Terbakar lagi.
Dan ia akan meledak. Blaar!
Tubuhnya menjadi kepingan
rasa kecewa demi rasa kecewa
Tapi si laki-laki telah pergi
Mencegat sebuah taxi
Melesat ke pusat kota
Memesan segelas kopi di sebuah kedai
Berbincang dengan seseorang
Seakan-akan tidak ada yang terjadi
Tak ada yang bercerai
Ia tidak menyesalkannya
Ia tak menyesalkannya

ANAKKU PEREMPUAN

Anakku perempuan.
Seperti ibunya. Membenciku

Aku mungkin bukan ayahnya
Mungkin bukan siapa siapa baginya
Biarlah
Perempuan selalu berhasil menyimpan kemarahan
Meskipun tak ada alasan untuk marah
Mereka seperti gunung berapi
Piawai menyimpan magma
Di perutnya
untuk diledakkan



November 03, 2024 No #type=(blogger)


Ompung Godang terbaring sakit di tempat tidur.  Tubuhnya lemah, antara sadar dan pingsan, dan aku merasa tubuh itu sangat cepat menjadi kurus, tepatnya menjadi kering seakan-akan ada yang menyedot dagingnya.


Sudah sepekan Ompung Godang menderita suatu penyakit yang belum kami ketahui, belum pernah ada orang yang menderita penyakit semacam itu,  dan Ompung Godang menolak dibawa ke rumah sakit sambal berkata kepada ayah, dengan suara yang nyaris hilang, bahwa para dokter tidak akan tahu jenis penyakit yang dideritanya karena penyakitnya bukan penyakit biasa. Ayah selalu mendengarkan apapun yang Ompung Godang katakan, dan perkara penyakit yang diderita oleh Ompung Godang, ayah akhirnya memutuskan untuk tidak membawa Ompung Godang ke rumah sakit.  Keputusan ayah itu membuat ibu tidak senang, terus memaksa agar ayah membawa Ompung Godang ke rumah sakit, kemudian melepaskan kalung emasnya dan memberikannya ke ayah agar dijualkan supaya ada uang untuk biaya perobatan Ompung Godang.  Namun, setelah ayah menjelaskan bahwa persoalannya bukan tentang ada atau tidak ada uang untuk membayar ongkos perobatan, tetapi lantaran Ompung Godang sendiri paham apa yang sedang dideritanya, dan penjelasan itu membuat ibu tidak lagi mendesak meskipun ia mengaku tidak mengerti bagaimana bisa rumah sakit tidak akan mampu menyebuhkan penyakit Ompung Godang.


Kesehatan Ompung Godang yang memburuk terjadi begitu saja, tidak ada gejala awal sebagaimana orang menderita suatu penyakit.  Setiap pagi, ia selalu bangun lebih dahulu dari siapapun di dalam rumah, selalu saat jarum jam menunjukkan angka pukul 04.00 Wib, lalu membuka pintu kamarnya yang engselnya mengeluarkan suara derit. Suara derit itu selalu membangunkan aku, dan, sebagaimana orang yang sudah terbiasa,  aku akan segera keluar dari kamar tidurku, membuka pintu kamar dan melihat Ompung Godang sedang berjalan menuju kamar mandi.  Begitu Ompung Godang keluar dari kamar mandi, ia sudah mengambil air wudhuk, dan bersamaan dengan itu terdengar suara orang mengaji, berkumandang dari corong pengeras suara masjid. Ompung Godang kemudian menyuruhku mengambil air wudhuk, dan kami akan berangkat ke masjid bersama-sama. Tapi, pada hari kami mengetahui kondisi kesehatan Ompung Godang sudah memburuk,  hari itu ia tidak keluar dari kamar seperti biasa dan suara engsel berkarat itu tidak terdengar. Aku pun tidak terbangun. Ibu yang membangunkan aku, kemudian menyuruhku membangunkan Ompung Godang ke kamar tidurnya karena waktu sholat Subuh mulai habis, dan aku mendapati Ompung Godang tidak bergerak sama sekali. Pemandangan itu membuat aku khawatir, buru-buru aku laporkan kondisi Ompung Godang kepada ayah.


Sepengetahuan aku, Ompung Godang tidak pernah menderita sakit apapun selama hidupnya, baik sakit ringan apalagi sakit keras. Begitu juga halnya dengan Ompung Boru. Keduanya selalu tampak sehat walafiat, ke mana-mana selalu berdua, dan saat mereka berduaan, misalnya ketika mereka berjalan-jalan pada pagi hari selepas menjalankan sholat Subuh berjamaah di masjid, melihat mereka adalah pemandangan yang sangat menyenangkan hati. Mereka selalu mesra dan tampaknya mereka sengaja mempertontonkan kemesraannya kepada semua orang di kota kecil kami, seakan-akan mereka sedang berkata bahwa pasangan suami-istri itu harus seperti mereka, selalu bersama sampai maut memisahkan.


Mereka tinggal  di rumah panggung yang besar dan berhalaman luas, satu-satunya rumah panggung yang masih mempertahankan arsitektur lamanya di kota kecil kami. Ayah dan tiga saudaranya, Amangtua Torkis, Amangtua Baginda, dan Amangtua Tondi, lahir di rumah panggung itu. Setelah dewasa, keempat anak-anak Ompung Godang berangkat ke kota lain untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di perguruan tinggi negeri, dan perguruan tinggi hanya ada di kota lain, maka sejak itu mereka jarang pulang. Suatu hari di tahun 1970-an, setelah keempat anak-anak Ompung Godang sudah berumah tangga dan tinggal di empat kota berbeda, Ompung Godang meminta salah seorang dari empat anaknya agar pulang dan tinggal di kota kecil kami dengan alasan harus ada dari anak-anaknya yang tinggal agar keturunannya tidak terputus secara kultural dengan orang-orang di kota kecil kami. Kata Ompung Godang, barang siapa dari empat anaknya bersedia tinggal bersamanya, maka anak itu akan bertanggung jawab mengelola semua harta milik Ompung Godang.


Dari keempat anak-anak Ompung Godang, hanya ayah yang bersedia, dan keputusan ayah untuk pulang ditentang oleh ibu dengan alasan kami tidak membutuhkan harta warisan Ompung Godang karena kehidupan kami sangat baik dan lebih dari sekadar berkecukupan.  Tapi ibu kemudian memahami setelah ayah memberi penjelasan tentang betapa pentingnya menjaga kelestarian budaya agar generasi muda memahami akar budaya asal mereka di dalam menjalani kehidupan, meskipun di kemudian hari, terutama bila terjadi perdebatan antara ayah dengan ibu, tidak jarang ibu menyesalkan keputusan itu.


Sebelum ayah memutuskan pulang kampung, kami tinggal di Pangkalan Berandan, hidup bertetangga dengan masyarakat Melayu pesisir yang hidup sebagai nelayan, dan ayah bekerja sebagai tenaga engineering di sebuah kilang minyak lepas pantai milik sebuah perusahaan minyak berlogo kuda berunding. Kata ibu, pekerjaan ayah sangat bagus dan mestinya jabatan ayah sudah tinggi kalau saja ayah tetap bertahan di perusahaan minyak itu. Tapi ayah tidak sepakat dengan pendapat ibu soal pekerjaannya di perusahaan minyak itu, karena ayah merasa tidak nyaman bekerja bersama orang-orang yang tidak pernah mengurusi pekerjaan dengan profesional dan lebih memilih melakukan pendekatan-pendekatan personal terhadap pimpinan perusahaan untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan. Itulah alasan ayah memilih meninggalkan pekerjaannya yang bagus untuk tinggal di kota kecil kami meskipun belum punya gambaran yang jelas tentang pekerjaan yang akan dilakukannya setelah pulang. Pilihan itu dibuat ayah karena ia ingin merawat orang tuanya, yaitu Ompung Godang dan Ompung Boru, selain juga karena ayah sudah bisa membayangkan kalau ia akan tersingkir dari perusahaan berlogo kudang berunding itu suatu hari nanti karena ia tidak pernah berpikir untuk melakukan pendekatan personal kepada siapa pun demi mendapatkan jabatan.


Sebagai ucapan terima kasih, Ompung Godang kemudian membangunkan sebuah rumah sederhana untuk ayah, letaknya sekitar 500 meter dari rumah panggung. Rumah sederhana itu dibangun di atas tanah warisan Ompung Godang, dan di rumah sederhana itulah kami tinggal. Saat menyerahkan kunci rumah itu, Ompung Godang berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada ayah atas pilihannya yang sangat berat untuk pulang sambil menjanjikan kalau kehidupan ayah tidak akan menjadi lebih buruk setelah ia kembali ke kota kecil kami. Ompung Godang mengatakan ia sangat memahami karakter ayah, yang menurut Ompung Godang karakter itu berbeda dengan karakter tiga saudara ayah lainnya, dan sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatinya Ompung Godang sangat berharap agar ayah yang memutuskan untuk pulang ke kota kecil kami. Dan benar, setahun setelah kami pindah ke kota kecil kami, Ompung Godang meminta ibu untuk mempersiapkan berkas-berkas administrasi kependudukan ayah dan menyerahkan berkas-berkas itu kepada Ompung Godang tanpa sepengetahuan ayah. Ompung Godang mengatakan kepada ibu kalau ia ingin memberikan kejutan kepada ayah dan ayah tidak boleh mengetahui hal itu sampai Ompung Godang memberitahu sendiri kejutan itu langsung kepada ayah. Meskipun tidak mengerti apa keinginan Ompung Godang, ibu tetap memenuhi permintaan Ompung Godang. Beberapa bulan kemudian ternyata bukan ayah saja yang mendapat kejutan, tetapi juga ibu dan hampir semua orang di kota kecil kami.


Secara tiba-tiba dua orang utusan dari Bupati datang menemui ayah di rumah dan menyampaikan kabar baik bahwa ayah mendapat kepercayaan untuk menjadi Kepala Desa, menggantikan posisi Kepala Desa yang sudah beberapa bulan kosong karena pejabat sebelumnya, Baginda Hasian, memutuskan mengundurkan diri.  Mendapat kejutan yang luar biasa itu, ayah lebih banyak diam, dan itu artinya ayah sedang berpikir keras tentang bagaimana bisa dirinya ditunjuk menjadi Kepala Desa. Ibu yang meladeni kedua utusan itu, berkali-kali ibu mengucapkan terima kasih dengan sikap ramah dan lembut, dan ibu mengantarkan kedua utusan itu sampai ke pintu.  Setelah kedua utusan itu pergi, ayah mengajak ibu menemaninya ke rumah panggung untuk menemui Ompung Godang dan Ompung Boru karena ayah sangat yakin kalau Ompung Godang sangat berperan dalam hal ini.


Ompung Godang ternyata sudah menduga kalau ayah akan menemuinya, dan Ompung Godang bersama Ompung Boru sudah menunggu kedatangan orang tuaku di teras rumah panggung. Begitu melihat orang tuaku muncul di halaman rumah, Ompung Godang dan Ompung Boru sudah berteriak  dari teras rumah panggung itu, menyuruh orang tuaku agar segera mendekat. Begitu orang tuaku berada di hadapan Ompung Godang dan Ompung Boru,  tidak ada kata yang diucapkan, hanya tatapan Ompung Godang dan Ompung Boru menyiratkan rasa bangga luar biasa atas apa yang baru diperoleh ayah. 


“Kau pasti bertanya-tanya kenapa?” kata Ompung Godang, seakan-akan ia sudah bisa menebak isi kepala dan isi hati ayah, dan Ompung Godang kemudian menjelaskan semuanya. Katanya, sebagai tokoh masyarakat di kota kecil kami, Ompung Godang tahu persis kalau para pejabat di pemerintahan itu bukanlah orang-orang yang mau bekerja untuk memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi bekerja untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh atasannya, termasuk soal bagaimana meyakinkan masyarakat banyak agar terus mendukung Golongan Karya, partai politik yang sedang berkuasa di pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto.  Sebagai seorang pensiunan pegawai negeri, Ompung Godang sangat dekat dengan pengurus-pengurus Golongan Karya, dan ia menemui para pengurus itu untuk menyampaikan bahwa ayah, anaknya yang bernama Baginda Haholongan, sangat cocok dijadikan sebagai Kepala Desa karena masyarakat akan mendukungnya.  Kata Ompung Godang, jika ayah dijadikan Kepala  Desa, maka Ompung Godang akan ikut meyakinkan semua orang untuk terus mendukung Golongan Karya dengan cara memilihnya saat Pemilihan Umum digelar, sehingga partai politik ini akan tetap bisa berkuasa.


Ayah hanya diam mendengar cerita Ompung Godang. Ketika Ompung Godang dan Ompung Boru silih bergantian menasehati ayah agar menerima pekerjaan sebagai Kepala Desa karena tugas dan tanggung jawabnya sangat cocok dengan karakter ayah yang gemar mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada orang lain serta sangat perduli pada kondisi di lingkungannya. “Kami tahu apa yang cocok untuk orang seperti kau,” kata Ompung Godang. “Agar kau tahu, inilah tujuan kenapa kami justru lebih senang jika kau yang memutuskan untuk pulang ketimbang ketiga saudaramu.“


Begitulah akhirnya, ayah menjadi Kepala Desa. Seperti yang diharapkan Ompung Godang, ayah menjelma menjadi generasi penerusnya, dihormati oleh semua orang di kota kecil kami. Aku ingat dengan sangat jelas kata-kata Ompung Godang ketika ia membanggakan ayah di hadapanku, lalu meminta aku agar menjadikan ayah sebagai panutan, kemudian Ompung Godang bercerita bagaimana ayah saat masih sesusia dengan aku. Cara Ompung Godang bercerita membuat aku bisa membayangkan bagaimana situasi saat ayah masih seusia dengan aku, seakan-akan Ompung Godang sedang menaruh sebuah layar lebar di hadapanku dan ia memutar sebuah film yang mengisahkan riwayat ayah. Aku melihat bagaimana ayah beriteraksi dengan Ompung Godang, bagaimana tiga saudara ayah sering memperlakukan ayah dengan sesuka hati mereka, bagaimana ayah memperlakukan kawan-kawan sebayanya seakan-akan mereka memiliki hubungan darah yang begitu erat, dan bagaimana ayah menghormati semua orang tua di kota kecil kami. Sejak kecil ayah sudah menjadi panutan bagi anak-anak lain, dan Ompung Godang mengaku sangat bangga dengan karakter ayah, sesuatu yang tidak ditemukan Ompung Godang di dalam diri tiga anaknya yang lain.


Lantaran Ompung Godang begitu piawai bercerita, aku dan anak-anak sebayaku sering mengunjungi Ompung Godang ke rumah panggung dan memintanya menceritakan dongeng atau apa saja tentang masa lalu di kota kecil kami. Ompung Godang menuhi permintaan kami sambil sekali-sekali ia memberikan nasehat, lalu sekali-sekali ia menyampaikan harapannya yang luar biasa kepada kami agar kelak menjadi generasi muda yang bisa dibanggakan orang tua masing-masing. Selama kami sering mendengarkan Ompung Godang bercerita, aku tidak pernah punya ingatan kalau Ompung Godang pernah masuk rumah sakit atau dirawat di rumah sakit, atau minimal mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya. Ompung Godang selalu sehat. Kata ayah, kondisi kesehatan Ompung Godang sudah seperti itu sejak dulu, sejak ayah masih kecil.


Berbeda halnya dengan kondisi kesehatan kawan-kawan sebaya Ompung Godang. Sudah banyak dari mereka yang menghadapi Ilahi, dan sebelum kematian mereka,  berkali-kali pihak keluarganya harus membawa mereka ke rumah sakit untuk berobat. Misalnya, almarhum Mangaraja Botari--orang yang semasa hidupnya pernah menjadi pejabat di kantor pemerintahan daerah dan hidup sebagai orang tua pensiunan yang sangat dihormati--sebelum kematian menjemputnya,  ia harus menjalani perawatan dari satu rumah sakit ke lain rumah sakit selama lebih empat tahun. Mula-mula ia mendapat serangan stroake ringan, membuat kakinya kaku seakan-akan tak ada persendiannya, belakangan ia terkena serangan jantung.  Semua penyakit itu datang silih berganti, memaksa keluarganya membawanya menemui dokter spesialis yang berbeda-beda. Setelah seluruh hartanya terkuras hingga tidak ada lagi tersisah untuk ditinggalkan sebagai warisan kepada anak dan cucunya, Mangaraja Botari kemudian menghembuskan nafas terakhir saat berobat di Penang.


Mangaraja Botari adalah ayah dari Baginda Hasian, Kepala Desa yang terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya karena harus mencurahkan waktu membawa ayahnya berobat ke mana-mana. Kematian Mangaraja Botari membuat kawan sebaya Ompung Godang di kota kecil kami hanya tinggal seorang, yakni Ompung Idris. Cuma, tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana kondisi kesehatan Ompung Idris, karena laki-laki tua itu memutuskan mengurangi bertemu dengan orang lain. Ayah mengaku sering menemui Ompung Idris ke rumahnya, bukan karena ayah seorang Kepal Desa yang harus mengetahui kondisi rakyatnya, tapi karena ayah ingin terus membina hubungan persahabatan antara Ompung Godang dengan Ompung Idris yang sudah terbina sejak mereka masih kecil. Kata ayah, Ompung Godang sangat menghargai semua orang yang pernah dekat dengan dirinya di masa lalu, terutama orang-orang yang pernah berjuang bersamanya melawan penjajah Belanda, dan Ompung Godang menjadikan orang-orang itu sebagai saudara sedarah yang harus diperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Mangaraja Botari salah seorang dari orang yang sudah dianggap Ompung Godang sebagai saudara sedarah.  Ketika Mangaraja Botari berobat dan membutuhkan banyak uang, Ompung Godang sering membagi hartanya dan tidak berharap akan dibayarkan. Itu sebabnya, kematian Mangaraja Botari membuat Ompung Godang sangat kehilangan, tetapi Ompung Godang tidak pernah bersedih berlarut-larut, meskipun ia sering merasa bahwa Tuhan sengaja memberinya umur panjang agar bisa menyaksikan kepergian dari orang-orang yang dicintai dan dikenalinya.  Ompung Godang mengaku bersyukur atas umur panjang yang diberikan Tuhan.


Usia Ompung Godang 79 tahun lebih beberapa bulan. Dalam usia serenta itu, hal yang wajar apabila kondisi fisik Ompung Godang melemah. Tapi, nyatanya, Ompung Godang tetap gagah. Memang, pernah sekali Ompung Godang mendadak seperti orang linglung dan lemah, dan itu terjadi beberapa menit setelah Ompung Boru menghembuskan nafas terakhirnya. Ompung Godang duduk bersila seperti arca di dekat mayat Ompung Boru. Ia tidak menyahut ketika ditegur. Matanya menatap ke depan, ke mayat yang membujur di hadapannya,  terlihat begitu kosong. Ibu berusaha menenangkan Ompung Godang, tetapi ayah memberi isyarat agar jangan mengusik Ompung Godang. Kata ayah,  Ompung Godang sangat terpukul atas kepergian Ompung Boru, dan perasaan seperti itu biasa diderita oleh pasangan yang sudah puluhan tahun  menikah dan akhirnya dipisahkan oleh kematian pasangannya. Mereka yang ditinggalkan oleh pasangannya akan merasa bahwa sebagian dari dirinya ikut dibawa oleh pasangannya yang telah pergi. Berada dalam situasi psikologis seperti itu, siapa saja akan merasa sangat tertekan, akhirnya kehilangan rasa percaya diri.


Peristiwa kepergian Ompung Boru itu sangat mendadak, terjadi lima tahun lalu, di mana Ompung Boru tiba-tiba merasakan dadanya begitu sesak. Saat itu sore menjelang Magrib, Ompung Godang dan Ompung Boru sedang di teras rumah seperti biasa, dan masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Ompung Godang sedang membaca kitab tafsir Quran, dan Ompung Boru sedang menisik kain sarung yang robek. Saat keduanya sama-sama larut dengan kesibukan masing-masing, tiba-tiba Ompung Boru mengeluhkan dadanya terasa sesak. Dan, tiba-tiba, tubuhnya mengejang. Ompung Godang reflex menangkap tubuh Ompung Boru sebelum jatuh ke lantai teras, lalu berteriak-teriak memanggil-manggil namanya. Suara Ompung Godang saat berteriak itu terdengar sampai ke rumah tetangga di kiri dan kanan, dan mereka bergegas menghampiri karena khawatir telah terjadi sesuatu terhadap pasangan tua itu.


Benar apa yang ayah katakan, Ompung Godang akhirnya pulih seperti sediakala, hanya beberapa hari setelah pemakaman Ompung Boru. Ia berusaha membangun kesan bahwa ia sangat iklas atas kepergian Ompung Boru, dan berusaha kembali kepada kebiasaan lamanya, tiap sore ia duduk di teras rumah sambil membaca kitab tafsir Quran. Kebiasaannya bercerita kepada aku dan kawan-kawanku tetap berlanjut. Tapi, ada yang berubah sedikit, yakni Ompung Godang mulai jarang sholat berjamaah di masjid, mungkin ia masih teringat kepada Ompung Boru setiap kali berjalan kaki menuju masjid.


Lantaran perubahan Ompung Godang itu, ibu mengusulkan kepada ayah agar Ompung Godang tinggal bersama kami atau sebaliknya kami yang tinggal di rumah panggung supaya bisa merawat Ompung Godang. Kata ibu, ia ingin merawat Ompung Godang dan ibu meyakinkan ayah kalau orang tua seusia Ompung Godang itu tidak bisa menikmati sembarangan makanan sehingga perlu ada orang yang khusus menjaga makanannya. Ayah setuju dan membicarakan keinginan ibu itu kepada Ompung Godang, dan pembicaraan itu justru membuat Ompung Godang menagis haru. 


Ompung Godang memanggil ibu sebagai “inang parumaen” dan kata “inang” itu berarti ibu, karena begitulah adat dalam masyarakat Angkola di mana seorang ayah mertua memposisikan menantu perempuannya sama persis seperti posisi ibu kandungnya. Itu sebabnya, perhatian ibu yang begitu besar terhadap Ompung Godang mengingatkan Ompung Godang kepada almarhuman ibunya, dan Ompung Godang menerima keputusan untuk tinggal bersama kami tetapi kami yang harus pindah ke rumah panggung.


Orang-orang di kota kecil kami sangat mendukung ketika kami pindah ke rumah panggung. Kepindahan kami membawa perubahan besar pada diri Ompung Godang, karena ia kembali sangat bersemangat dan bergairah. Ompung Godang kembali menjalankan sholat berjamaah di masjid, dan aku yang mendapat tugas berjalan mengiringinya, mengantikan posisi almarhumah Ompung Boru yang selalu mendampinginya selama ini. Di masjid, Ompung Godang sering ditunjuk sebagai imam sholat berjamaah, dan setiap kali usai sholat berjamaah, ada saja warga yang mendatanginya dan meminta nasehat tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam kehidupan. Tidak sedikit yang meminta nasehat di bidang agama, menanyakan hal-hal berkaitan ibadah, yang membuat Ompung Godang sangat bahagia ketika memberikan penjelasan kepada mereka. Aku bangga menjadi cucunya. Orang-orang selalu mengingatkan aku kepada kebaikan-kebaikannya. Ingatan itu membuat orang-orang selalu menghormatiku sebagai cucunya. Orang-orang mengharapkan agar aku bisa menjadi penerus Ompung Godang, menjadi orang yang selalu akan dibanggakan orang lain.


Saat usia Ompung Godang tepat 80 tahun, itu terjadi sepekan yang lalu, tiba-tiba Ompung Godang jatuh sakit. Tubuh tua yang terlihat gagah itu mendadak lemah, tapi ia tidak punya keluhan. Ia menolak dibawa ke rumah sakit, meminta agar dibaringkan saja di tempat tidur di kamar tidurnya. Saat berbaring, Ompung Godang berkali-kali mengigau kalau waktunya akan tiba. Ayah membisikkan ke telinganya, meminta Ompung Godang agar istigfar. Ompung Godang tak merespon saran ayah. Ayah mengajari Ompung Godang cara beristigfar, tapi Ompung Godang bagai tak sadarkan  diri  meskipun selalu mengigaukan hal yang sama. 


Dan hari itu, setelah tiga orang abang ayah – aku memanggil ketiganya Amangtua-- datang, tiba-tiba Ompung Godang terbangun dan memberi isyarat agar ayah mendekat. Ayah mendekat dan Ompu Godang membisikkan sesuatu kepada ayah. Tiga orang Amangtua meyaksikan saat Ompung Godang berbisik, lalu saling pandang satu dengan lainnya.  Ayah kemudian bangkit dari tempat duduknya, menatapku  sekilas, lalu ke luar dari kamar.


Amangtua Torkis, saudara ayah yang paling tua, bangkit dari tempat duduknya dan keluar, mengikuti ayah. Aku menduga Amangtua Torkis akan menghampiri ayah untuk menanyakan apa yang dibisikkan Ompung Godang. Amangtua Baginda, abang ayah nomor dua, melirik Amangtua Tondi, abang ayah nomor tiga, dan keduanya sama-sama mengangkat bahu tanda tidak memahami apapun. Aku yang justru khawatir Amangtua Torkis akan bertindak kasar kepada ayah. Aku bangkit, bermaksud mengikuti Amangtua Torkis, tapi ibu memberi isyarat agar aku jangan keluar.


Amangtua Torkis tiba dua hari lalu setelah mendapat kabar kalau Ompung Godang sakit parah. Ia tinggal di Jakarta, sudah puluhan tahun tak pernah pulang karena kesibukannya sebagai seorang pengusaha. Amangtua Baginda yang tinggal di Medan sudah sampai sehari sebelumnya, sementara Amangtua Tondi yang tinggal di Bandung, sampai lebih dahulu beberapa jam dibandingkan Amangtua Torkis.


Sejak ketiga Amangtuaku ini datang, aku berkali-kali memergoki mereka sedang membicarakan kondisi Ompung Godang dan mereka meyakini kalau Ompung Godang tak akan bertahan lebih lama lagi. Aku kaget mendengar percakapan itu. Aku membayangkan mereka akan prihatin dengan kondisi Ompung Godang, dan hal itu membuat mereka bersedih. Ternyata tidak, mereka justru berharap Ompung Godang cepat pergi dan mereka membicarakan harta yang ditinggalkan Ompung Godang.


Semasa hidupnya, Ompung Godang termasuk orang yang sangat kaya. Ia punya beberapa petak rumah, beberapa petak sawah, dan beberapa petak kebun. Selama ini ayah yang mengurus dan mengelola semua harta Ompung Godang itu. Ayah menyewakan rumah, sawah, dan kebun kepada orang lain, terutama mereka yang secara ekonomi sangat lemah. Untuk sawah dan kebun, ayah menerapkan system bagi hasil; 1/3 untuk Ompung Godang sebagai pemilik harta dan 2/3 untuk penggarap tanah. Ayah yang menunjuk siapa yang berhak menggarap sawah maupun ladang, tetapi ayah tidak pernah tahu bagaimana hasil dari penggarapan itu. Ayah menyerahkan urusan hasil kepada Ompung Godang dan Ompung Godang yang berhubungan langsung  dengan semua orang yang menyewa rumahnya, atau orang yang menggarap sawah maupun ladangnya. Uang hasil  sewa rumah serta  bagi hasil garapan sawah dan ladang disimpan Ompung Godang di tabungannya di kantor pos, disatukan dengan uang pensiunannya, dan aku yang selalu menemani Ompung Godang setiap kali pergi ke Kantor Pos di kota kecil kami.


Aku dengar Amangtua Torkis mengatakan, ayah tidak akan mendapat bagian dari harta yang diwariskan Ompung Godang karena ayah sudah menikmati hasilnya selama ini. Amangtua Baginda dan Amangtua Tondi sepakat dengan saran Amangtua Torkis. Apa yang aku dengar itu aku ceritakan kepada ayah. Ayah justru memarahiku dan mengatakan kalau ketiga saudaranya itu tidak akan mau mencelakainya hanya karena harta warisan. Alasan ayah, ketiga saudaranya itu memiliki kekayaan melebihi jumlah harta warisan Ompung Godang, sehingga mereka tidak akan memperdulikan harta warisan itu.


“Jangan pernah mengupingi percakapan orang tua,” kata ayah.


Ayah ternyata meninggalkan rumah dan tidak pernah memberitahu ke mana ia pergi dan apa yang dibisikkan Ompung Godang. Ketika azan Magrib berkumandang, ayah belum juga pulang. Para kerabat dan tetangga masih terus berdatangan untuk membezuk Ompung Godang. Mereka menyatakan prihatin dengan kondisi Ompung Godang sambil bercerita tentang kebaikan-kebaikan Ompung Godang selama ini.

Sementara ketiga Amangtuaku sedang di ruang tamu, tampak sangat serius membicarakan sesuatu. Aku menduga kalau mereka masih membicarakan tentang pembagian harta warisan Ompung Godang. Kali ini aku tidak mau mengupingi percakapan mereka seperti kata ayah. Aku berpura-pura tidak mendengar percakapan mereka, pergi ke halaman rumah untuk menunggu ayah pulang.


            Di halaman aku mendapati ibu. Sama seperti aku, ibu juga sedang menunggu ayah pulang. Ibu tampak khawatir, tetapi ia berhasil menutup-nutupi rasa khawatirnya di hadapanku. Ibu menyuruh aku masuk. Aku bilang ingin menunggu ayah pulang. Ibu ngotot menyuruh aku masuk. Aku agak kecewa dan tetap masuk.


            Masih di pintu rumah, tiba-tiba terdengar suara sepeda motor ayah. Aku berbalik dan melihat ayah mengendarai sepeda motornya, masuk ke halaman rumah. Ayah memboncengi seseorang, seorang laki-laki tua seusia dengan Ompung Godang yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Laki-laki tua itu memakai peci hitam, mengenakan baju dan celana serbahitam, dan ia turun dari boncengan sepeda motor. Setelah melirik ke arah ibu, ayah membawa laki-laki tua itu masuk.


            Aku ikut masuk bersama ayah. Tiga Amangtuaku kaget melihat ayah muncul bersama laki-laki tua itu. Ayah tak mengatakan sepatah kata pun, membawa laki-laki tua itu ke kamar di mana Ompung Godang terbaring. Aku lihat tiga Amangtua bangkit dari tempat duduk mereka, ikut masuk ke kamar.


            Di dalam kamar, ayah menyuruh para tetangga dan kerabat yang berkumpul agar keluar karena ada yang harus disampaikan kepada Ompung Godang. Setelah seluruh orang keluar kamar, laki-laki tua itu kemudian menghampiri Ompung Godang, mendekati telinganya dan membisikkan sesuatu. Ompung Godang membuka matanya, melihat laki-laki tua itu, dan berusaha tersenyum. “Kau sudah datang, Mangaraja,” gumam Ompung Godang, lalu memberi isyarat agar ayah mendekat.


            Tiga Amangtuaku saling pandang. Mereka mencoba mendekat, tapi laki-laki tua itu memberi isyarat agar mereka tetap di tempatnya. Amangtua Torkis menolak dan mendekat, tapi laki-laki tua itu berkata: “Tolong! Beri kami waktu sebentar!”


            “Ada apa ini?” Amangtua Torkis bicara kepada ayah, tapi ayah tidak menanggapinya.


            “Nanti saya akan menjelaskan semuanya,” kata laki-laki tua itu, “sekarang beri kami waktu!”


            “Kau siapa?” Amangtua Torkis ngotot.


            “Kau terlalu lama meninggalkan tempat ini,” kata laki-laki tua itu, “kau tak mengenaliku lagi, Torkis?”


            Tiba-tiba Amangtua Torkis undur beberapa langkah. Amangtua Baginda dan Amangtua Tondi menanyakan ada apa, tapi Amangtua Torkis mendadak jadi pendiam bagai baru menyadari sesuatu yang sudah lama dilupakannya.


            Amangtua Torkis duduk di atas ambal yang digelar di ruang kamar Ompung Godang itu, diikuti Amangtua Baginda dan Amangtua Tondi. Mereka diam sambil memperhatikan ketika Ompung Godang berbicara dengan ayah dan laki-laki tua itu. Beberapa menit kemudian, laki-laki tua itu menyuruh ayah menjauh dari tempat tidur Ompung Godang.


            Hari itu Ompung Godang meninggal dunia setelah laki-laki tua itu memberikan segelas air putih. Aku tahu ayah sangat terpukul, tapi ia tidak menunjukkan kalau ia sangat kehilangan. Ia hanya menunduk di samping mayat Ompung Godang.


            Ayah baru beranjak dari samping Ompung Godang ketika laki-laki tua itu meminta agar ia diantarkan ke rumahnya. Ayah membawa laki-laki tua itu keluar kamar, menyuruh duduk di ruang tamu, kemudian ayah menemui ibu. Tiga Amangtuaku menghampiri laki-laki tua itu. Amangtua Torkis menyalami laki-laki tua itu sambil berkata: “Aku minta maaf, Tulang. Tulang begitu banyak berubah,” katanya.


            Laki-laki tua itu tersenyum. “Aku masih seperti dulu. Usia yang membuat fisikku berubah.” Laki-laki tua itu menatap Amangtua Baginda dan Amangtua Tondi, lalu kembali menatap Amangtua Torkis. “Dulu ayahmu dan aku berguru. Apa yang dipelajarinya itu membuatnya kesulitan menghadapi sakratul maut.  Aku sudah mengambilnya.”


            Amangtua Torkis mengangguk. “Aku pernah dengar soal itu, tapi aku tidak pernah tahu kalau ayah masih memegangnya.”


            “Ayahmu tidak bisa membuangnya. Barang itu harus diturunkan dan ayahmu mewasiatkan agar adikmu yang menerimanya.”


            Ketiga Amangtuaku saling pandang. Mereka sepertinya tidak terima dengan keputusan itu.


            Ayah muncul bersama ibu. Ayah mengajak laki-laki tua itu berangkat. Tiga Amangtuaku saling pandang, lalu Amangtua Torkis berusaha mencegat ayah. Ayah tidak bicara sepatah kata pun, hanya menatap Amangtua Torkis. Tatapan ayah berbeda dari biasanya, matanya lebih tajam dan menusuk. Mirip tatapan Ompung Godang apabila ia sedang memberi nasehat kepada siapa pun, atau saat Ompung Godang memberi pidato di hadapan semua orang kampung. Aku bergidik saat melihat mata ayah. Amangtua Torkis langsung menunduk begitu ayah menatapnya.


            “Sementara aku mengantarkan Tulang Ibrahim, tolong urus semua keperluan pemakaman ayah,” kata ayah kepada Amangtua Torkis. “Ini tidak akan lama.”


            Setelah bicara, ayah memegang tangan laki-laki tua itu, membawanya ke pintu. Dalam hitungan detik, tiba-tiba tubuh ayah dan laki-laki tua itu menghilang dari pandangan kami.


            Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku menatap ibu, berbisik kepada ibu apakah laki-laki tua itu yang bernama Ompung Idris. Ibu mencoba tersenyum. Aku perhatikan tiga amangtuaku mendadak gemetar. ***

 

August 20, 2024 No #type=(blogger)
Allan Ginsberd dan pasangan gay-nya, Peter Orlocsky

"Apakah yang membuat Allen Ginsberg berhasil mendapatkan kursi di dalam gerbong kepenyairan Amerika Serikat yang penuh sesak?" tanya seseorang dalam kelas sastra online. "Dia mendapatkan kursi bukan di gerbong terakhir, melainkan gerbong di mana W.H. Auden, William Carlos Williams, Robert Frost, Walt Whitman, dan beberapa penyair lainnya sudah duduk lebih dahulu."

Yang bertanya ini bukan penyair dan dia tak akan pernah jadi penyair. Tahun ini dia mencalonkan diri jadi anggota legislatif di kotanya. "Banyak penyair yang jadi politisi," katanya, lalu menyebut nama penyair dan politisi dari Chili. "Puisi-puisinya menggairahkan."

Aku pun bercerita tentang Ginsberg, penulis Beat yang paling dihormati, penyair Amerika Serikat yang terkenal di generasinya. Dia lahir pada hari yang sama dengan kelahiranku, 3 Juni, tapi Ginsberg lahir pada tahun 1926 di Newark, New Jersey. Ayahnya seorang guru bahasa Inggris, ekspatriat Rusia, dan ibunya seorang penderita masalah psikologis dan gangguan saraf.

Aku cerita biografi Ginsberg tanpa prestensi untuk memahamkan puisi-puisi Beat yang diciptakannya. Orang Indonesia memang terbiasa membicarakan puisi dan mengait-kaitkannya dengan kebiasaan penulis dalam kehidupan sehari-hari. Kau bisa bayangkan betapa menyedihkannya ketika puisi Chairil Anwar dibicarakan hanya karena dia memaka kalimat "aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang". Kalimat itu jadi clue bagi siapa saja dalam memahamkan puisi Chairil Anwar, dan memastikan bahwa Chairil Anwar tidak akan pernah menulis puisi yang menjauh dari tema tentang "binatang jalang dari kumpulannya terbuang".

Orang Amerika Serikat tak menyebut Ginsberg sebagai "binatang jalang" meskipun pandangan hidupnya tak lazim, emosinya tak stabil, perilaku kesehariannya sering mengajak berantem, pemakai narkoba yang aktif, menadah barang curian, dan memilih masuk rumah sakit jiwa.

Chairil Anwar lahir 1922, lebih tua empat tahun dibandingkan Ginsberg. Artinya, mereka sezaman. Zaman ketika Chairil hidup, sama seperti zaman ketika Ginsberg hidup. Zaman ketika dunia global dilanda perang dunia kedua. Di mana-mana di dunia ini, dampak perang itu membawa masalah serupa bagi umat manusia. Hidup manusia tertekan secara ekonomi, perkembangannyua stagnan, dan cara berpikir jadi kacau. Tapi tak separah kondisi manusia di Jepang, negara yang kalah perang dan dihukum dengan bom nuklir.

Indonesia, tanah air Chairil, negara baru merdeka dan bekas jajahan. Amerika Serikat, tanah air Ginsberg, negara yang sudah lama merdeka dan sering didera persoalan rasisme, adalah negara yang bisa dibilang ikut mempercepat kemerdekaan Indonesia. Dua bom nuklir di Hirosima dan Nagasaki yang dijatuhkan Amerika Serikat membuat Jepang menyerah di mana-mana, dan kejatuhan Jepangf memberi peluang bagi Indonesia untuk merdeka.

Zaman Chairil dan Ginsberg tidak banyak berbeda. Cuma, usia Chairil tak panjang. Dia tak menikmati budaya baru dalam peradaban manusia pasca perang dunia kedua, dia hanya membayangkan peradaban moderen itu dalam puisi-puisinya. Ginsberg sebaliknya, harus menyiasati dinami peradaban moderen yang membawa kerusakan pada ummat manusia, yang lebih kejam dan parah dibandingkan akibat perang.

Tahun 1956, Ginsberg mulai menjadi perhatian publik dengan diterbitkannya kumpulan puisinya, Howl and Other Poems. Puisi Howl--sebaiknya tidak kuterjemahkan saja artinya ke dalam bahasa Indonesia, karena kata howl ini lebih mewakili puisi itu sendiri. Puisi Howl semacam jeritan tertahan, lolongan panjang dari emosi yang terpendam, kemarahan yang tidak bisa diungkapkan, atau pikiran yang entah kenapa terasa mampet dalam menghadapi kehidupan masyarakat di sekitar.

Kevin O'Sullivan menulis di Newsmakers, menyebut "Howl" sebagai "puisi yang penuh kemarahan dan eksplisit secara seksual" dan menambahkan bahwa "dianggap oleh banyak orang sebagai peristiwa revolusioner dalam puisi Amerika". Bahasa puisinya mentah dan jujur. 

James Dickey menyebut “Howl” sebagai “kegembiraan yang meluap-luap” dan menyimpulkan bahwa “dibutuhkan lebih dari ini untuk membuat puisi.” 

Richard Eberhart menyebut “Howl” sebagai “sebuah karya yang kuat, menembus makna yang dinamis… Ini adalah sebuah lolongan melawan segala sesuatu dalam peradaban mekanistik kita yang membunuh semangat… Kekuatan dan energi positifnya datang dari kualitas cinta yang menebus.” 

Paul Carroll menilainya sebagai “salah satu tonggak sejarah generasi ini.” Saat menilai dampak dari “Howl”, Paul Zweig mencatat bahwa “Howl” “hampir sendirian mengubah posisi puisi tradisionalis pada tahun 1950an.”

Dari sekian banyak komentar, nyaris tak ada yang menyebut Ginsberg sebagai "si kurang hajar yang tak tahu tata krama", "binatang jalang", atau hal-hal yang acap dikait-kaitkan dengan konvensi terkait watak sosial. Ginsberg jelas menulis dengan bahasa yang, menurut etika orang Indonesia tidak sopan, tapi puisinya tidak pernah dibicarakan sebagai representasi watak pribadinya.

Memang, sempat Departemen Kepolisian San Francisco menilai bahasa puisi Ginsberg sangat seksual alias porno, karena memakai diksi yang vulgar. Polisi menyatakan buku itu cabul dan menangkap penerbitnya, Lawrence Ferlinghetti--seorang penyair. Persidangan pun digelar, melibatkan tokoh sastra terkemuka seperti Mark Schorer, Kenneth Rexroth, dan Walter Van Tilberg Clark. Semua membela Howl. Ingat, membela puisi, membela kreativitas, dan bukan membela Giunsberg.

Di Indonesia, orang-orang lebih banyak menghukum penyair, ataupun membela-bela penyair. Tentu tidak relevan, tapi itulah tradisi bersastra di negeri ini. Orang Indonesia juga hanya membela Wiji Thukul bukan membela pikirannya atau caranya berpikir. Orang Indonesia kehilangan Wiji Thukul bukan kehilangan cara berpikirnya dalam menghasilkan puisi.

Kenapa orang Indonesia seperti itu dalam melihat karya sastra. Perspektif itu menyelamatkan. Mereka yang bukan penulis puisi tetapi mengaku penyair akan terselamatkan jika yang dibicarakan bukan puisinya. Itu sebabnya, kita nyaris tidak menemukan puisi di Indonesia ini. Dan ini proses panjang yang terus-menerus dilakukan atas nama lembaga beatifikasi. Majalah Horison punya tradisi menerbitkan tulisan (yang disebut kritik sastra meskipun isinya apresiasi karya sastra) tentang puisi-puisi yang terbit di majalah itu. Semua tulisan itu sejak awal sudah menegaskan, bahwa puisi yang terbit doi majalah Horison pastilah puisi yang luar biasa.

Tradisi ini kemudian dicontoh pengelola ruang-ruang sastra di surat kabar. Para redaktur memuji-puji hasil kerjanya dengan menyebut para penyair yang puisinya terbit di surat kabar tempat dia menjadi redakjtur merupakan penyair hebat. Nirwan Dewanto ketika menjadi redaktur sastra majalah sastra, pernah memuji Provinsi Lampung sebagai lumbung penyair nasional meskipun penyair Lampung yang mau mengirimkan karya ke majalah itu tidak banyak.

Sastra di Indonesia, termasuk puisi, hidup bukan karena kreativitas. Hidup dan kehidupannya karena banyak faktor yang tak ada kaitannya dengan kreativitas penciptaan.

Ginsberg diposisikan sebagai penyair, dan dia membawa gerakan Beat. Orang Amerika Serikat membicarakan puisi-puisinya karena membacanya. Orang Indonesia nyareis tidak tahu cara membaca puisi. Mereka menyembunyikan ketidaktahuannya dengan cara memuji penyairnya.

Tak heran jika Ginsberg makin produktif. Setelah buku Howl and Other Poems, dia kembali menerbitkan buku tahun 1961, Kaddish and Other Poems. “Kaddish,” sebuah puisi mirip dengan “Howl,” didasarkan pada doa tradisional Ibrani untuk orang mati dan menceritakan kisah hidup ibu Ginsberg, Naomi. Perasaan kompleks sang penyair terhadap ibunya, yang diwarnai perjuangannya melawan penyakit mental, merupakan inti dari puisi berjajar panjang ini.

Seperti Howl, Kaddish mampu menjaga marwah kepenyairan Ginsberg. Kulitasnya tetap terjaga. Tidak seperti penyair di Indonesia. Kumpulan puisi pertamanya, yang selalu menadapat puja-puji bukan karena kualitas puisinya, akan sama saja dengan kumpulan puisi berikutnya. Kualitasnya sering menjadi lebih rendah. Tapi, penyair sudah terlanjur mendapat puja-puji, dan dia akan sangat marah kalau tidak dipuja-puji. Penyair Indonesia itu pemarah, emosional, dan sering merasa dirinya telah dizolimi.

Ginsberg berbeda, sastra di luar Indonesia berbeda. Amerika Serikat menghargai isi kepala. Indonesia menghargai penampilan fisik.

Kenapa puisi Ginsberg begitu dihargai. Tidak lain dan tidak bukan karena dia memawa suara masyarakat. Puisinya sangat dipengaruhi realitas masyarakat. Puisinya sangat politis. Dia pernah diwawancarai orang tentang bagaimana dia menulis. 

“Saya memeriksa tulisan-tulisan prosa saya,” katanya kepada pewawancara, “dan saya mengambil empat atau lima potongan baris kecil yang benar-benar akurat untuk pemikiran bicara-bicara seseorang dan menyusunnya kembali dalam baris-baris, sesuai dengan nafas, menurut tentang bagaimana Anda akan memecahnya jika Anda benar-benar ingin membicarakannya." 

Di lain waktu, dia berkata: "dia menulis puisi bukan, dengan mengerjakannya dalam potongan-potongan kecil dari waktu yang berbeda, tetapi mengingat sebuah ide di kepala dan langsung menuliskannya dan menyelesaikannya di sana.

Tema utama dalam kehidupan dan puisi Ginsberg adalah politik. Dalam sejumlah puisi, Ginsberg bicara tentang perjuangan serikat pekerja pada tahun 1930-an, tokoh radikal populer, perburuan merah McCarthy, dan batu ujian sayap kiri lainnya. Dia juga bicara tentang Perang Vietnam, anti-nuklir. Dia memang acap personal, bicara tentang ibunya dalam Kaddish, tetapi dia memposisikan ibunya sebagai warga yang mengalami masalah kejiwaan. Masalah serupa dialami banyak orang di Amerika Serikat.

Aktivitas politik Ginsberg sangat libertarian, menggemakan preferensi puitisnya terhadap ekspresi individu dibandingkan struktur tradisional. Dia menciptakan dan menganjurkan “kekuatan bunga,” sebuah strategi di mana para demonstran anti-perang akan mempromosikan nilai-nilai positif seperti perdamaian dan cinta untuk mendramatisasi perlawanan mereka terhadap kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh Perang Vietnam. Penggunaan bunga, lonceng, senyuman, dan mantra (nyanyian suci) menjadi hal yang umum di kalangan demonstran selama beberapa waktu.

Ginsberg adalah penyair yang berpolitik. Aktivitas politiknya menimbulkan masalah baginya di negara lain. Pada tahun 1965 dia mengunjungi Kuba sebagai koresponden Evergreen Review. Setelah dia mengeluhkan perlakuan terhadap kaum gay di Universitas Havana, pemerintah meminta Ginsberg meninggalkan negara itu. Pada tahun yang sama, penyair tersebut melakukan perjalanan ke Cekoslowakia, di mana ia terpilih sebagai “Raja Mei” oleh ribuan warga Ceko. Keesokan harinya pemerintah Ceko meminta agar ia pergi, dengan alasan ia “ceroboh dan merosot”.

Studi Ginsberg tentang agama-agama Timur didorong oleh penemuannya tentang mantra, nyanyian berirama yang digunakan untuk efek spiritual. Baginya, penggunaan ritme, napas, dan suara unsur tampak seperti puisi. Dalam sejumlah puisi ia memasukkan mantra ke dalam tubuh teks, mengubah karya tersebut menjadi semacam doa puitis. Saat pembacaan puisi ia sering memulai dengan melantunkan mantra untuk mengatur suasana hati.

Ketertarikannya pada agama-agama Timur akhirnya membawanya menemui Yang Mulia Chogyam Trungpa, Rinpoche, seorang kepala biara Buddha dari Tibet yang memiliki pengaruh kuat terhadap tulisan Ginsberg. 

Awal tahun 1970-an, penyair tersebut mengambil kelas di Institut Naropa Trungpa di Colorado serta mengajar kelas puisi di sana. Pada tahun 1972 Ginsberg mengambil sumpah Perlindungan dan Bodhisattva, secara resmi mengabdikan dirinya pada keyakinan Buddha.

Aspek utama dari ajaran Trungpa adalah suatu bentuk meditasi yang disebut shamatha di mana seseorang berkonsentrasi pada pernapasannya sendiri. Meditasi ini, kata Ginsberg, “pertama-tama mengarah pada ketenangan pikiran, pada ketenangan produksi mekanis fantasi dan bentuk-pikir; hal ini mengarah pada peningkatan kesadaran akan hal-hal tersebut dan melakukan inventarisasi hal-hal tersebut.” Buku Ginsberg, Mind Breaths, yang didedikasikan untuk Trungpa, berisi beberapa puisi yang ditulis dengan bantuan meditasi shamatha.

Nah, itulah Ginsberg. Ini hanya sebgaian dari hal-hal yang membuat puisinya pantas dibaca. Tidak seperti penyair Indonesia, keperduliannya hanya pada bagaimana caranya agar puisinya terbit di surat kabar atau masuk antologi puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada hal-hal yang tak ada kaitannya dengan kualitas puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada yang artifisian, bukan yang subtansiual.

Jangan heran bila kau mengikuti pembicaraan para penyair Indonesia, maka yang dibicarakan hanya perkara: "kau ikut gak di festival sastra anu", "kenapa puisiku tidak lolos kurasi dalam antologi anu", "kau hebat, puisimu bisa muncul di kompas", "luar biasa, puisimu sudah diterkjemahkan ke dalam banyak bahasa asing"......

Sekarang kau sudah tahu Ginsberg.


Holw

Oleh Allen Ginsberg

Untuk Carl Solomon

I

Aku melihat pikiran-pikiran terbaik generasiku hancur karena kegilaan, kelaparan, histeris, telanjang,
menyeret diri mereka melalui jalan-jalan negro di pagi hari mencari solusi kemarahan,
hipster berkepala malaikat yang berhasrat untuk koneksi surgawi kuno dengan dinamo berbintang di mesin malam,
yang miskin, compang-camping, bermata cekung, dan sombong, duduk sambil merokok di kegelapan supranatural flat air dingin yang mengapung di atas puncak kota, merenungkan jazz,
yang mencurahkan isi hati mereka ke Surga di bawah naungan El dan melihat malaikat-malaikat Muhammad berjalan terhuyung-huyung di atas atap-atap rumah petak yang diterangi,
yang melewati universitas dengan mata dingin berseri-seri berhalusinasi Arkansas dan tragedi Blake-light di antara para sarjana perang,
yang dikeluarkan dari akademi karena gila dan menerbitkan syair cabul di jendela tengkorak,
yang bersembunyi di kamar tanpa cukur dengan pakaian dalam, membakar uang mereka di tempat sampah dan mendengarkan Teror melalui dinding,
yang tertangkap basah berjenggot kemaluan saat kembali melalui Laredo dengan membawa ikat pinggang ganja menuju New York,
yang memakan api di hotel cat atau meminum terpentin di Paradise Alley, kematian, atau menjebloskan tubuh mereka ke dalam api penyucian malam demi malam
dengan mimpi, dengan obat-obatan, dengan mimpi buruk saat terjaga, alkohol dan penis dan buah zakar yang tak berujung,
jalan-jalan buta yang tak tertandingi dari awan yang bergetar dan kilat dalam pikiran melompat ke arah kutub Kanada & Paterson, menerangi seluruh dunia Waktu yang tak bergerak di antara,
Kekokohan aula-aula yang terbuat dari peyote, fajar di halaman belakang rumah yang dipenuhi pepohonan hijau, mabuknya anggur di atas atap-atap rumah, kawasan pertokoan yang dipenuhi dengan kegembiraan minum teh, lampu lalu lintas yang berkedip-kedip, matahari, bulan, dan getaran pepohonan di senja musim dingin Brooklyn yang menderu, omelan tempat pembuangan sampah dan cahaya pikiran raja yang baik,
yang merantai diri mereka ke kereta bawah tanah untuk perjalanan tak berujung dari Battery ke Bronx yang suci dengan benzedrine sampai suara roda dan anak-anak menjatuhkan mereka dengan mulut gemetar, otak yang babak belur dan terkuras kecemerlangan dalam cahaya suram Kebun Binatang,
yang tenggelam sepanjang malam di bawah cahaya kapal selam Bickford melayang keluar dan duduk sepanjang sore yang basi dengan bir di Fugazzi yang sunyi, mendengarkan retakan malapetaka di jukebox hidrogen,
yang berbicara terus menerus selama tujuh puluh jam dari taman ke tempat tinggal ke bar ke Bellevue ke museum ke Jembatan Brooklyn,
sebuah batalion yang hilang dari para pembicara platonis melompat menuruni tangga darurat dari ambang jendela dari Empire State keluar dari bulan,
yacketayakking menjerit muntah berbisik fakta dan kenangan dan anekdot dan tendangan bola mata dan guncangan rumah sakit dan penjara dan perang,
seluruh kecerdasan dimuntahkan dalam ingatan total selama tujuh hari tujuh malam dengan mata yang cemerlang, daging untuk Sinagoge dilemparkan ke trotoar,
yang menghilang entah ke mana Zen New Jersey meninggalkan jejak kartu pos bergambar ambigu dari Balai Kota Atlantic City,
menderita keringat Timur dan tulang-tulang Tangerian yang berderak serta migrain Cina di bawah penarikan sampah di kamar berperabotan suram Newark,   
yang berkeliaran di tengah malam di stasiun kereta api sambil bertanya-tanya ke mana harus pergi, dan pergi, tanpa meninggalkan hati yang terluka,
yang menyalakan rokok di gerbong kereta gerbong kereta berderak di tengah salju menuju pertanian yang sepi di malam kakek,
yang mempelajari Plotinus Poe St. John of the Cross telepati dan bop kabbalah karena kosmos secara naluriah bergetar di kaki mereka di Kansas,   
yang menyendiri di jalanan Idaho mencari malaikat-malaikat India yang visioner, yang merupakan malaikat-malaikat India yang visioner,
yang mengira mereka hanya gila ketika Baltimore bersinar dalam ekstase supranatural,
yang melompat dalam limusin bersama orang Tionghoa dari Oklahoma karena dorongan hujan lampu jalan tengah malam musim dingin di kota kecil,
yang bermalas-malasan lapar dan kesepian di Houston mencari jazz atau seks atau sup, dan mengikuti orang Spanyol yang brilian untuk berbincang tentang Amerika dan Keabadian, sebuah tugas yang sia-sia, dan kemudian berlayar ke Afrika,
yang menghilang ke dalam gunung berapi Meksiko tanpa meninggalkan apa pun kecuali bayangan celana dungaree dan lava serta abu puisi yang berserakan di perapian Chicago,
yang muncul kembali di Pantai Barat untuk menyelidiki FBI dengan jenggot dan celana pendek dengan mata pasifis besar yang seksi dengan kulit gelap mereka yang membagikan selebaran yang tidak dapat dipahami,
yang membakar lubang rokok di lengan mereka sebagai bentuk protes terhadap kabut asap narkotika Kapitalisme,
yang menyebarkan pamflet Superkomunis di Union Square sambil menangis dan menanggalkan pakaian sementara sirene Los Alamos meratap mereka, dan meratap di Wall, dan feri Staten Island juga meratap,
yang menangis tersedu-sedu di gedung olahraga putih, telanjang dan gemetar di hadapan mesin kerangka lainnya,
yang menggigit leher detektif dan berteriak kegirangan di mobil polisi karena tidak melakukan kejahatan apa pun kecuali pesta pora dan mabuk-mabukan mereka sendiri,
yang menangis sambil berlutut di kereta bawah tanah dan diseret dari atap sambil melambaikan alat kelamin dan manuskrip,
yang membiarkan diri mereka ditiduri oleh pengendara sepeda motor suci, dan berteriak kegirangan,
yang bertiup dan ditiup oleh para serafim manusia, para pelaut, belaian cinta Atlantik dan Karibia,
yang berkerumun di pagi hari dan di malam hari di taman mawar dan rumput taman umum dan kuburan, menyebarkan air mani mereka dengan bebas kepada siapa pun yang datang,
yang cegukan tanpa henti mencoba untuk tertawa namun berakhir dengan isak tangis di balik sekat di Pemandian Turki ketika malaikat pirang & telanjang datang untuk menusuk mereka dengan pedang,
yang kehilangan pujaan hatinya karena tiga wanita tua yang suka menipu takdir wanita tua bermata satu yang suka menipu dolar heteroseksual wanita tua bermata satu yang keluar dari rahim dan wanita tua bermata satu yang tidak melakukan apa pun selain duduk dan memotong benang emas intelektual dari alat tenun pengrajin,
yang berhubungan seks dengan penuh kenikmatan dan nafsu dengan sebotol bir, kekasih, sebungkus rokok, lilin, dan jatuh dari tempat tidur, dan terus berjalan di lantai dan lorong dan berakhir pingsan di dinding dengan gambaran vagina yang sangat menjijikkan dan keluar tanpa menyadari gyzym terakhir dari kesadaran,
yang mempermanis potongan-potongan tubuh sejuta gadis yang gemetar di kala matahari terbenam, dan bermata merah di kala pagi namun siap mempermanis potongan tubuh saat matahari terbit, bokong-bokong yang bersinar di bawah lumbung dan telanjang di danau,
yang pergi melacur di Colorado dengan mobil-mobil curian di malam hari, NC, pahlawan rahasia puisi-puisi ini, tukang jagoan dan Adonis dari Denver—kegembiraan bagi kenangan akan gadis-gadis yang tak terhitung jumlahnya di tanah-tanah kosong & halaman belakang restoran, deretan gedung bioskop yang reyot, di puncak gunung di gua-gua atau dengan pelayan-pelayan kurus kering dalam suasana yang akrab di pinggir jalan dan kesepian serta terutama solipsisme rahasia di pom bensin dari para pelanggan, & gang-gang kampung halaman juga,
yang menghilang dalam film-film besar yang menyedihkan, bergeser dalam mimpi, terbangun di Manhattan yang tiba-tiba, dan bangkit dari ruang bawah tanah dengan mabuk karena Tokay yang tak berperasaan dan kengerian mimpi-mimpi besi Third Avenue & tersandung ke kantor-kantor pengangguran,
yang berjalan sepanjang malam dengan sepatu penuh darah di dermaga tumpukan salju menunggu pintu di East River terbuka menuju ruangan penuh uap panas dan opium,
yang menciptakan drama bunuh diri yang hebat di tepi tebing apartemen Hudson di bawah sorotan cahaya bulan biru masa perang & kepala mereka akan dimahkotai dengan daun salam dalam kelupaan,
yang memakan semur domba dalam imajinasi atau mencerna kepiting di dasar sungai berlumpur di Bowery,
yang menangis karena romantisnya jalanan dengan gerobak dorong penuh bawang dan musik yang buruk,
yang duduk di dalam kotak menghirup kegelapan di bawah jembatan, dan bangkit untuk membangun harpsichord di loteng mereka,
yang batuk di lantai enam Harlem yang dimahkotai api di bawah langit tuberkular yang dikelilingi peti-peti oranye teologi,
yang menulis sepanjang malam sambil bergoyang dan berguling-guling di atas mantra-mantra agung yang di pagi yang kuning adalah bait-bait omong kosong,
yang memasak hewan busuk, paru-paru, jantung, kaki, ekor, borscht, dan tortilla, memimpikan kerajaan sayur murni,
yang menceburkan diri di bawah truk daging untuk mencari telur,
yang melempar jam tangan mereka dari atap untuk memberikan suara mereka untuk Keabadian di luar Waktu, & jam alarm jatuh di kepala mereka setiap hari selama dekade berikutnya,
yang memotong pergelangan tangannya tiga kali berturut-turut namun tidak berhasil, menyerah dan terpaksa membuka toko barang antik di mana mereka pikir mereka akan menjadi tua dan menangis,
yang terbakar hidup-hidup dalam balutan pakaian flanel polos mereka di Madison Avenue di tengah-tengah ledakan syair berat & kegaduhan tentara besi mode & jeritan nitrogliserin peri periklanan & gas mustard editor cerdas yang jahat, atau ditabrak taksi mabuk Realitas Absolut,
siapa yang melompat dari Jembatan Brooklyn, kejadian ini benar-benar terjadi dan pergi begitu saja tanpa diketahui dan dilupakan ke dalam kegelapan gang-gang sup Chinatown & mobil pemadam kebakaran, bahkan tidak ada satu bir pun yang gratis,
yang bernyanyi dari jendela mereka dengan putus asa, jatuh dari jendela kereta bawah tanah, melompat ke Passaic yang kotor, melompat ke orang-orang negro, menangis di seluruh jalan, menari di atas gelas anggur yang pecah, memecahkan piringan hitam bertelanjang kaki dari musik jazz Jerman Eropa tahun 1930-an yang penuh kenangan, menghabiskan wiski dan muntah sambil mengerang ke dalam toilet berdarah, erangan di telinga mereka dan ledakan peluit uap yang sangat besar,
yang melaju kencang di jalan raya masa lalu, melakukan perjalanan menuju tempat menonton film hotrod-Golgotha-penjara-kesendirian atau inkarnasi jazz Birmingham,
yang menyetir lintas negara selama tujuh puluh dua jam untuk mencari tahu apakah saya memiliki penglihatan atau Anda memiliki penglihatan atau dia memiliki penglihatan untuk menemukan Keabadian,
yang melakukan perjalanan ke Denver, yang meninggal di Denver, yang kembali ke Denver & menunggu dengan sia-sia, yang mengawasi Denver & merenung & menyendiri di Denver dan akhirnya pergi untuk mencari tahu Waktu, & sekarang Denver kesepian untuk para pahlawannya,
yang berlutut di katedral tanpa harapan berdoa untuk keselamatan dan cahaya dan dada masing-masing, sampai jiwa menerangi rambutnya sejenak,
yang menabrak pikiran mereka di penjara menunggu penjahat mustahil dengan kepala emas dan pesona realitas di hati mereka yang menyanyikan blues manis untuk Alcatraz,
yang pensiun ke Meksiko untuk menumbuhkan kebiasaan, atau Rocky Mount untuk mempersembahkan Buddha atau Tangiers untuk anak laki-laki atau Southern Pacific untuk lokomotif hitam atau Harvard untuk Narcissus ke Woodlawn untuk rangkaian bunga aster atau kuburan,
yang menuntut pengadilan kewarasan dengan menuduh radio melakukan hipnotisme & akhirnya hanya bisa pasrah dengan kegilaan mereka & tangan mereka & juri yang tidak bisa mengambil keputusan,
yang melemparkan salad kentang ke dosen CCNY tentang Dadaisme dan kemudian muncul di tangga granit rumah sakit jiwa dengan kepala gundul dan pidato badut bunuh diri, menuntut lobotomi instan,
dan yang diberikan kekosongan konkret insulin Metrazol listrik hidroterapi psikoterapi terapi okupasi pingpong & amnesia,
yang dalam protes tanpa humor hanya membalikkan satu meja pingpong simbolis, beristirahat sebentar dalam keadaan katatonia,
kembali beberapa tahun kemudian benar-benar botak kecuali wig darah, dan air mata dan jari-jari, ke malapetaka orang gila yang terlihat di lingkungan kota-kota gila di Timur,
Aula-aula busuk Pilgrim State's Rockland dan Greystone, bertengkar dengan gema jiwa, bergoyang dan berguling-guling di bangku-bangku dolmen tengah malam yang sunyi-alam cinta, mimpi kehidupan adalah mimpi buruk, tubuh berubah menjadi batu seberat bulan,
dengan ibu akhirnya ******, dan buku fantastis terakhir terlempar keluar dari jendela rumah petak, dan pintu terakhir ditutup pada pukul 4 pagi dan telepon terakhir dibanting ke dinding sebagai balasan dan kamar terakhir yang dilengkapi perabotan dikosongkan hingga ke perabot mental terakhir, mawar kertas kuning dililitkan pada gantungan kawat di lemari, dan bahkan khayalan itu, tidak ada apa-apa selain sedikit halusinasi yang penuh harapan—
ah, Carl, sementara kamu tidak aman, aku tidak aman, dan sekarang kamu benar-benar berada dalam sup waktu yang sangat mengerikan—
dan yang kemudian berlari melalui jalan-jalan yang dingin terobsesi dengan kilatan tiba-tiba dari alkimia penggunaan katalog elipsis ukuran variabel dan bidang bergetar,
yang bermimpi dan menciptakan celah-celah inkarnasi dalam Waktu & Ruang melalui gambar-gambar yang disandingkan, dan menjebak malaikat agung jiwa di antara 2 gambar visual dan menggabungkan kata kerja unsur dan menyatukan kata benda dan sejumput kesadaran melompat dengan sensasi Pater Omnipotens Aeterna Deus
untuk menciptakan kembali sintaksis dan ukuran prosa manusia yang buruk dan berdiri di hadapanmu tanpa kata-kata dan kecerdasan dan gemetar karena malu, ditolak namun mengakui jiwa untuk menyesuaikan diri dengan ritme pikiran di kepalanya yang telanjang dan tak berujung,
gelandangan gila dan malaikat berdetak dalam Waktu, tak diketahui, namun menuliskan di sini apa yang mungkin tersisa untuk dikatakan pada waktu setelah kematian,
dan bangkit bereinkarnasi dalam pakaian hantu jazz di bawah bayang-bayang band goldhorn dan meniup penderitaan pikiran telanjang Amerika demi cinta menjadi teriakan saksofon eli eli lamma lamma sabacthani yang menggetarkan kota-kota hingga radio terakhir
dengan inti puisi kehidupan yang mutlak dibantai dari tubuh mereka sendiri, enak untuk dimakan selama seribu tahun.

II

Sphinx dari semen dan aluminium manakah yang menghancurkan tengkorak mereka dan memakan otak serta imajinasi mereka?
Moloch! Kesendirian! Kotoran! Keburukan! Tempat sampah dan dolar yang tak terjangkau! Anak-anak menjerit di bawah tangga! Anak laki-laki menangis sejadi-jadinya! Orang tua menangis di taman!
Moloch! Moloch! Mimpi buruk Moloch! Moloch yang tidak punya cinta! Moloch yang gila! Moloch si penghakiman berat bagi manusia!
Moloch penjara yang tidak dapat dipahami! Moloch penjara tanpa jiwa dan Kongres kesedihan! Moloch yang bangunannya adalah penghakiman! Moloch batu perang yang besar! Moloch pemerintah yang tercengang!
Moloch yang pikirannya adalah mesin murni! Moloch yang darahnya adalah uang yang mengalir! Moloch yang jarinya adalah sepuluh pasukan! Moloch yang dadanya adalah dinamo kanibal! Moloch yang telinganya adalah makam yang berasap!
Moloch yang matanya adalah seribu jendela buta! Moloch yang gedung pencakar langitnya berdiri di jalan-jalan panjang seperti Yehuwa yang tak terhitung banyaknya! Moloch yang pabrik-pabriknya bermimpi dan berkokok dalam kabut! Moloch yang cerobong asap dan antenanya memahkotai kota-kota!
Moloch yang cintanya adalah minyak dan batu yang tak berujung! Moloch yang jiwanya adalah listrik dan bank! Moloch yang kemiskinannya adalah momok kejeniusan! Moloch yang nasibnya adalah awan hidrogen tanpa jenis kelamin! Moloch yang namanya adalah Pikiran!
Moloch yang membuatku duduk sendirian! Moloch yang membuatku bermimpi Malaikat! Gila di Moloch! Bajingan di Moloch! Lemah dan tak punya laki-laki di Moloch!
Moloch yang memasuki jiwaku lebih awal! Moloch yang di dalamnya aku adalah kesadaran tanpa tubuh! Moloch yang membuatku takut hingga keluar dari ekstase alamiku! Moloch yang kutinggalkan! Bangunlah di Moloch! Cahaya mengalir dari langit!
Moloch! Moloch! Apartemen robot! Pinggiran kota tak terlihat! Perbendaharaan kerangka! Ibu kota buta! Industri setan! Negara hantu! Rumah sakit jiwa tak terkalahkan! Ayam granit! Bom mengerikan!
Mereka mematahkan tulang punggung mereka saat mengangkat Moloch ke Surga! Trotoar, pohon, radio, berton-ton! mengangkat kota ke Surga yang ada dan ada di mana-mana di sekitar kita!
Penglihatan! Pertanda! Halusinasi! Keajaiban! Ekstasi! Telah mengalir ke sungai Amerika!
Mimpi! Pemujaan! Pencerahan! Agama! Seluruh perahu penuh omong kosong yang sensitif!
Terobosan! menyeberangi sungai! jungkir balik dan penyaliban! tenggelam dalam banjir! Kegembiraan! Pencerahan! Keputusasaan! Jeritan binatang dan bunuh diri selama sepuluh tahun! Pikiran! Cinta baru! Generasi gila! di atas bebatuan Waktu!
Tawa suci yang sesungguhnya di sungai! Mereka melihat semuanya! mata liar! teriakan suci! Mereka mengucapkan selamat tinggal! Mereka melompat dari atap! menuju kesunyian! melambaikan tangan! membawa bunga! Turun ke sungai! ke jalan!

IIII

Carl Solomon! Aku bersamamu di Rockland
   dimana kamu lebih marah dariku
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kamu pasti merasa sangat aneh
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kamu meniru bayangan ibuku
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kamu membunuh dua belas sekretarismu
Aku bersamamu di Rockland
   di mana Anda menertawakan humor yang tak terlihat ini
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kita adalah penulis hebat pada mesin ketik mengerikan yang sama
Aku bersamamu di Rockland
   ketika kondisi Anda menjadi serius dan dilaporkan di radio
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kemampuan tengkorak tidak lagi menerima cacing indra
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kau minum teh dari payudara para perawan tua Utica
Aku bersamamu di Rockland
   di mana Anda bermain kata-kata di tubuh perawat Anda, para harpy dari Bronx
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kamu berteriak dengan jaket ketat bahwa kamu kalah dalam permainan pingpong jurang yang sebenarnya
Aku bersamamu di Rockland
   di mana Anda memukul piano katatonik, jiwa itu tidak bersalah dan abadi, ia tidak akan pernah mati dengan tidak saleh di rumah sakit jiwa yang bersenjata
Aku bersamamu di Rockland
   di mana lima puluh guncangan lagi tidak akan pernah mengembalikan jiwamu ke tubuhnya lagi dari ziarahnya ke salib di kehampaan
Aku bersamamu di Rockland
   di mana Anda menuduh dokter Anda gila dan merencanakan revolusi sosialis Ibrani melawan Golgota nasional fasis
Aku bersamamu di Rockland
   di mana Anda akan membelah surga Long Island dan membangkitkan Yesus manusia Anda yang hidup dari makam manusia super
Aku bersamamu di Rockland
   di mana ada dua puluh lima ribu kawan gila yang bersama-sama menyanyikan bait terakhir dari Internationale
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kita berpelukan dan mencium Amerika Serikat di bawah seprai kita Amerika Serikat yang batuk sepanjang malam dan tidak membiarkan kita tidur
Aku bersamamu di Rockland
   di mana kita terbangun dari koma dengan dialiri listrik oleh pesawat jiwa kita sendiri yang menderu di atas atap mereka datang untuk menjatuhkan bom malaikat rumah sakit menerangi dirinya sendiri dinding imajiner runtuh O pasukan kurus berlarian di luar O kejutan belas kasihan yang bertabur bintang perang abadi telah tiba O kemenangan lupakan celana dalammu kita bebas
Aku bersamamu di Rockland
   dalam mimpiku kau berjalan sambil meneteskan air mata dari perjalanan laut di jalan raya melintasi Amerika menuju pintu pondokku di malam Barat
 
San Fransisco, 1955—1956
December 17, 2023 No #type=(blogger)
Older Posts

About me

About Me


Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit consequat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amet nibh vulputate.

Created with by ThemeXpose