Top Menu

Memikirkan Kembali Dakwah dalam Sastra

SELALU saja ada karya sastra yang baru diciptakan. Kita bisa membacanya di ruang-ruang budaya di media cetak sambil mencoba memahami kandungan maknanya. 
Kadang kita manggut-manggut karena karya sastra itu memberikan “sesuatu” yang sebelumnya tidak kita ketahui. Sering juga kita geleng kepala, karena penulis karya sastra itu terkesan ingin terlihat gagah dengan menawarkan konsep-konsep. Seakan-akan karya sastra itu sebuah bangunan pikiran. 
Tidak jarang, karya-karya sastra yang kita baca itu berisi dogma-dogma, seakan-akan sastra adalah sebuah teks yang memang diniatkan penulisnya untuk mendakwahi kita.
Sastra sebagai medium dakwah agama, beberapa tahun lalu sempat menjadi fenomenal dalam khazanah sastra di negeri ini. Banyak karya sastra berbentuk, terutama, cerpen dan novel,  muncul dari pengarang-pengarang baru.  
Karya-karya itu mengupas kehidupan beragama dalam sebuah komunitas masyarakat. Tentunya lewat tampilan tokoh-tokoh protogonis dan antagonis yang merupakan representasi dari “penganut ajaran agama” dan “pengabai ajaran agama”.
 Para tokoh itu bertarung sangat keras. Para pengarang berkreativitas dengan pola kerja yang seragam. 
Mereka senantiasa mengakhiri cerpen atau novel mereka dengan memberi dukungan luar biasa kepada tokoh “penganut ajaran agama”. 
Hidup manusia dalam sastra agama sangat baku dan bisa dipastikan bagaimana akhirnya. Para tokoh “yang menganut ajaran agama” senantiasa berada pada posisi mendapat dukungan penuh dari pengarang dengan harapan pembaca juga mendukungnya. 
Artinya, pengarang sudah menyiasati pembacanya agar sejak awal memberikan dukungan terhadap tokoh “penganut ajaran agama”. Justru itu, kita malah ragu terhadap isi dari karya sastra tersebut.
Ragu !? Ya. Kita tahu sastra pada hakikatnya merupakan kesaksian seorang  pengarang tentang pengalaman hidupnya. Sebagai kesaksian, karya sastra berisi makna yang dipetik seorang pengarang dari pengalaman kehidupannya.
Kesakian itu sifatnya kadang  reflektif, sering imajinatif dan tak urung juga naratif. Di dalamnya, kita mesti mengakui apa yang disebut kreativitas. 
Dalam berkreativitas, seorang pengarang bukanlah seorang pengamat, ahli, peneliti dan periset kehidupan.
Seseorang yang berada dalam kehidupan itu, bagian dari kehidupan itu, berhadapan dengan kehidupan itu. 
Dalam uasana seperti itu, seorang pengarang harus punya sikap jelas, menerima atau menolak kehidupan yang sedang dihadapinya. 
Dalam sastra agama, seorang pengarang mengambil posisi bukan sebagaimana seorang  pengarang seharusnya. 
Mereka lebih tepat disebut sebagai pendakwah. Orang yang mengambil posisi dan tanggung jawab untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran agama.
Sastra adalah metode yang dipakai dalam penyebaran ajaran-ajaran agama itu. 
Pasti, tidak seorang pun bisa menjamin bahwa pengarang seperti ini betul-betul sudah memahami ajaran-ajaran agama yang disampaikannya.
Barangkali benar,  kita harus berprinsip “sesuatu yang benar harus diterima sekalipun diperoleh di tempat sampah”. Cuma, perkara semacam itu tidak ditemukan dalam kesusastraan.
Seorang pengarang sastra bukanlah orang yang bekerja mengumpulkan sekian banyak informasi tentang ajaran-ajaran agama. 
Kemudian menyampaikan informasi itu kepada khalayak luas dalam bentuk karya sastra. Teknik penyampaianya pun sangat baku, berupa kutifan-kutifan yang seakan-akan menjadi pengetahuan tentang agama dari para tokoh ceritanya, sementara si tokoh cerita itu dikesankan sebagai representasi diri si pengarang.
Berdakwa agama lewat medium karya sastra, bukanlah melulu bicara tentang hitam versus putih. Cara bicara seperti itu sama saja menganggap pembaca tidak tahu ajaran-ajaran agama. Ini hanya redanden yang tidak perlu. Soalnya, pembaca juga bisa memperoleh sumber-sumber asli ajaran-ajaran agama (Kitab Suci) tanpa harus membaca karya sastra itu. 
Sumber-sumber itu jauh lebih kaya akan tafsir, tidak seperti karya sastra yang hanya mengandung tafsir atas ajaran-ajaran agama berdasarkan apa yang dipikirkan si pengarang.
Itu sebabnya, masa kejayaan sastra agama cepat berlalu. Booming buku-buku sastra agama, terutama, cerpen dan novel, lewat sudah. 
Karya sastra itu teronggok di rak-rak buku di perpustakaan. Kita tak lagi membacanya, karena ajaran agama yang disampaikan dalam buku-buku itu bisa diperoleh dari buku-buku agama yang khusus membahas perkara tersebut. 
Kita bisa menyebut sastra agama itu dengan menyodorkan Ayat Ayat Cinta dari Habiburrohman El-Shiray, Derap-Derap Tasbih karya Hadi S. Khuli, trilogy Makrifat Cinta karya Taufiqurrahman al-Azizy dan lain sebagainya.
Sastra agama yang bersemangat luar biasa untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama, sudah menjadi masa lalu. 
Sebab, kita tidak membutuhkan ajaran-ajaran agama yang disembunyikan dalam teks-teks sastra. Kita hanya butuh ajaran agama yang disampaikan secara terbuka, apa adanya dan tak ditaburi bunga-bunga. 
Dengan kata lain, dakwah agama tidak perlu membuat kita menghabiskan sekian banyak waktu untuk membaca cerpen atau novel, padahal ajaran agama yang disampaikan bisa lebih banyak diperoleh dari tausyiyah di media massa, misalnya. Bahkan, lebih terbuka dan lebih mudah dicerna dengan guyonan dan humor-humor yang cerdas.

Post a Comment

Terima kasih atas pesan Anda

Copyright © Budi Hatees. Designed by OddThemes