Bukan Lelaki Terbaik
Cerpen : Budi P. Hatees
SARMAN, tukang parkir tua yang gemar meniup piluit itu, melihat Koh Wei menurunkan rolling door toko elektroniknya. Dari tempatnya duduk, dekat pedagang gerobak di ujung jalan itu, ia berlari menghampiri. Sebatang rokok yang baru dinyalakannya, dimatikan dengan cara menggesekkan ujung rokok yang terbakar itu ke trotoar. Sepanjang berlari ia tiup piluitnya berulang-ulang, sehingga semua orang di sepanjang koridor di kompleks pertokoan Telukbetung itu menepi. Dari kaca spion mobilnya, Partahian, sopir pribadi Yanuar, pemilik toko fotokopi, tersenyum melihat betapa gesitnya laki-laki tua itu.
Dalam usianya yang, diperkirakan Partahian sudah lebih 56 tahun, Sarman tetap bersemangat dan energik. Ia perhatikan laki-laki tua itu memberi aba-aba kepada Koh Wei saat mau mengeluarkan mobilnya dari sela-sela mobil yang parkir di sepanjang jalan itu. Ketika Koh Wei berhasil mengeluarkan mobilnya, laki-laki keturunan Tionghoa itu menjulurkan tangan kanannya yang menggenggam selembar Rp1.000. "Terima kasih, Pak Sarman!" Ia menancap gas dan mobilnya hilang di ujung jalan, di balik toko fotokopi milik Yanuar.
Partahian menebak Koh Wei terburu-buru untuk menemui kekasih gelapnya. Koh Wei bukan laki-laki yang baik. Bukan suami yang setia. Tidak ada suami yang setia seratus persen. Cuma Yanuar, hm, cuma ia?
Partahian masih melirik spion dan melihat wajah Sarman yang begitu ceria sehabis menerima Rp1.000. Sambil menghidupkan rokoknya kembali, Sarman berjalan ke warung gerobak tempat ia biasa duduk. Husin, pemilik warung itu, sedang sibuk menuliskan angka-angka togel pada secarik kertas. Ia tidak menyadari ketika Sarman sudah berada di sampingnya. "Sudah kau dapatkan angka yang pas untuk dipasang?"
Kaget, Husin yang latah, langsung teriak, "E..eh, dapat....Dapaaaaaaaat!" Sarman tergelak. Ia selalu menjadi begitu riang setiap kali berhasil membuat Husin gugup. Partahian ikut tersenyum.
Sarman menyedot rokok kreteknya. "Kau tak usah main judi togel lagi. Rezekimu tak ada di situ." Asap dikepulkan ke udara seperti berusaha menghamburkan semua keresahannya. "Berdagang saja. Rezekimu akan lebih bagus." Sekali lagi rokok kretek itu disedot. Dada tua itu masih menyimpan kegagahan masa lalunya. Tegap. Ia berbicara lagi, selalu, seperti ia bernafas, tidak putus-putus.
Husin, yang setiap hari mendengarkan ceritanya, selalu saja sabar menyimak. Padahal, dari hari ke hari, Sarman selalu mengulangi cerita yang sama. Kalu bukan soal nasihat-nasihat agar jangan bermain judi togel, pasti cerita tentang masa lalunya, bahwa dulu, dulu sekali—siapa yang tahu kebenarannya-- ia adalah satu dari sedikit orang terhormat yang ada di kota itu. Tapi, sebetulnya, Husin mendengarkan cerita itu cuma sekedar menghormati Sarman. Husin merasa tidak enak untuk mengabaikan laki-laki tua itu.
"Kau tahu," kata Sarman, "dulu, di tempat ini, belum ada gedung bertingkat." Lalu Sarman melanjutkan, satu-satunya gedung bertingkat adalah kantor Walikota, dan ia bekerja di salah satu ruangan di dalam gedung itu. Sebuah ruangan yang luas dengan AC yang dingin, meja kerja dari kayu jati dan kursi yang empuk. Begitu nyaman. "Saya bekerja di sana selama puluhan tahun."
Husin mengangguk-angguk, sekedar memberi kesan bahwa ia menyimak cerita itu. Partahian mencibir kelakuan Husin. Sopir itu tidak pernah suka kepada orang seperti Husin, orang yang melakukan sesuatu hanya untuk menyenangkan orang lain, ia lebih menyukai orang yang berani bicara lugas bahwa yang buruk adalah buruk dan tidak perlu menutup-nutupinya hanya untuk menyenangkan orang lain. Husin termasuk orang seperti itu. Entah untuk apa ia menjaga perasaan Sarman.
Sering sekali Partahian ingin mengutarakan ketidaksenangannya kepada Husin. Tapi, ia berpikir untuk apa mengurusi mereka, toh apapun yang dilakukan Husin tidak mengganggunya. Ia pun memutuskan untuk hanya duduk di belakang stir mobil, menunggu sampai Yanuar pulang atau keluar untuk urusan penting sambil memperhatikan Sarman dan orang-orang yang lalu-lalang di jalan itu.
Ada keasyikan bagi Partahian memperhatikan bagaimana perilaku orang-orang saat berdiri di depan toko yang berjejer sepanjang jalan, lalu memandang berlama-lama ke dalam etalase. Ia membayangkan mereka sedang merancang-rancang untuk membeli barang-barang di etalase itu pada suatu saat nanti. Mungkin juga, mereka, sedang berpikir untuk memindahkan barang-barang dari etalase itu ke dalam rumahnya tanpa harus membayar sesuatu. Ah, kemiskinan selalu membuat siapa saja lebih berani.
Ada kepuasan dalam diri Partahian setelah ia meyakini bahwa sebetulnya mereka yang memandang ke etalase itu adalah orang-orang yang cuma mampu berkhayal. Ia pun akan senyum-senyum. Dan kini, ia perhatikan Sarman berdiri lagi, sambil menatap ke ujung jalan. Dari kaca spionnya Partahian melihat sebuah sedan masuk dan berhenti di depan saloon di ujung jalan itu.
Suara peluit Sarman mendecit-decit. Dengan kegugupan yang sama Husin latah berdiri, "E...eh...copot!" Sarman tertawa sambil berlari. Gesit. Tapi, kali ini, perhatian Partahian tersita kepada pemilik sedan. Seorang laki-laki paroh baya, orang yang sama seperti kemarin, yang selalu muncul setiap sore di salon itu. Penampilan laki-laki paroh baya itu parlente dalam stelan pantalon warna hitam dengan kemeja warna kuning gading. Sepotong dasi warna biru berlurik kuning gading di lehernya membuatnya enak dipandang. Tapi, Partahian tak menilai penampilan itu, melainkan jauh ke dalam hatinya. Ia menebak laki-laki itu pasti bukan orang baik-baik. Untuk apa ia selalu muncul setiap sore di salon itu? Pasti ada sesuatu yang sangat menarik dan mengesankan baginya. Mungkin, ah, salah seorang pekerja di dalamnya. Atau pemiliknya. Tidak. Partahian memastikan salah seorang pekerja di salon itulah yang membuat laki-laki itu selalu datang setiap sore. Bukankah salon itu, tulisan besar di depannya, cuma kedok untuk menutupi praktek prostitusi di dalamnya. Bukahkan hampir semua salon seperti itu, di mana para pelanggannya datang bukan cuma untuk potong rambut atau krembat, melainkan untuk hal-hal lain seperti meluruskan urat-urat yang kaku.
Sarman masih meniup piluitnya. Sedan itu berhenti. Tapi, yang turun dari dalam mobil justru seorang perempuan bertubuh gendut, yang terlihat seolah menggelinding saat melangkah. Laki-laki parlente menjulurkan kepalanya dan mengatakan sesuatu kepada perempuan itu, mungkin, istrinya. "Oke, sayang, nanti jemput ya!" Suara perempuan gendut itu seberat bobot tubuhnya, bergema di jalan itu. Lalu, sedan tersebut bergerak. Sarman menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kali ini, tidak selembar uang ia dapat. Partahian tersenyum ketika memikirkan mengapa laki-laki paroh baya itu tidak ikut turun. Mungkin, ia takut istrinya melabraknya jika ternyata ada satu atau seluruh pekerja di dalam salon yang mengenal suaminya. Bukankah perempuan gendut itu, dengan pipi yang tampak memenuhi seluruh wajahnya, merupakan perempuan pencemburu. Dari bentuk fisiknya saja seorang perempuan bisa diketahui apakah pencemburu atau tidak, terutama jika perempuan itu tidak yakin dengan kemampuannya mempertahankan cinta suaminya. Perempuan gendut itu termasuk ke dalam kelompok para istri yang tak yakin cinta suaminya diarahkan sepenuhnya kepadanya.
Partahian tersenyum dan yakin perempuan gendut itu datang ke salon dalam rangka untuk memikat hati suaminya. Mungkin saja, kepada pemilik salon, perempuan itu bilang, "Tolong buat aku secantik bidadari". Lalu, sambil menahan geli, pemilik salon menjawab dengan memberikan poster-poster para artis, "Ingin seperti bidadari yang mana?" Jemari perempuan itu menunjuk poster Madona. Kali ini pemilik salon tidak bisa menahan tawa.
Sarman melangkah ke warung gerobak dengan puntung rokok menyelip di bibirnya. Yanuar keluar dari toko fotokopinya. Digedornya dinding mobil, dan Partahian tersentak. "Tunggu beberapa menit lagi!"
Partahian mengangguk. Dijulurkannya kepala keluar jendela, menatap langit sore hati. Matahari mulai berat ke barat. Riuh suara walet pulang ke sarang terdengar bagai gemerincing mata uang. Burung-burung pemilik ludah emas itu, ehem, seperti rezeki yang tumpah dari perut langit.
Sarman memperhatikan Partahian. "Kau lihat laki-laki itu?" Sarman bicara seolah pada dirinya sendiri. "Saya perhatikan ia tidak pernah mau turun dari mobil itu."
"Partahian maksudmu?" tanya Husin, yang masih juga menuliskan sesuatu pada kertas. "Ia memang begitu sejak Yanuar mengangkatnya menjadi sopir."
"Sopir Yanuar?"
"Sebetulnya ia bukan sekedar sopir, tetapi orang bodoh yang mau menutupi kelakuan buruk Yanuar." Husin melipat kertasnya dan mengantonginya. "Kasihan istri Yanuar, ia terlalu percaya Partahian akan mendukungnya."
Sarman menatap Husin. "Sepertinya kau banyak tahu soal keluarga Yanuar."
"Aku kenal semua pemilik toko di jalan ini."
Sarman melihat Yanuar keluar dari tokonya dan langsung masuk ke mobil. "Kita jalan-jalan dulu sore ini! Biasa...."
Partahian mengangguk. Entah kenapa, ia tidak pernah berani memanjakan pikiran buruknya tentang Yanuar. Sebetulnya, ia pernah berpikir bahwa Yanuar bukan tipe lelaki yang baik, atau suami yang setia. Tetapi pikiran itu ia buang jauh-jauh, dan mencoba memikirkan hal lain tentang Yanuar. Bahwa Yanuar, apapun ia adanya, bukan manusia melainkan malaikat penolong. Yanuar yang membawanya keluar dari jerat hukum alam tentang membunuh atau dibunuh sebagai perantauan yang tak bermodal apapun. Satu satunya keterampilan Partahian cuma menyetir mobil, yang ia dapat di kampungnya, tidak akan ada artinya seandainya Yanuar tetap membiarkannya hidup menjadi gelandangan. Makanya, seburuk apapun Yanuar di luar rumah, Partahian siap memasang badan menjadi tamengnya. Terkadang, ia berpikir betapa berdosanya ia kepada Maryam, istri Yanuar, karena menutup-nutupi kebiasaan suaminya yang buruk.
Ketika mobil itu bergerak, Partahian melambaikan tangannya kepada Sarman yang mau mendekat. Husin yang melambai. Sarman mengerutu. Partahian tersenyum sambil melirik Yanuar. "Kita ke rumah Lisna lagi?" tebaknya.
"Lisna?! Tidak. Perempuan itu terlalu dingin. She is like prizeer. Uuuuuuh! Kita temui Tamara. Perempuan itu menungguku dari sejam lalu." Partahian tersenyum dan mobil melaju membelah kota.
Matahari tergelincir sudah di Teluk Lampung, meninggalkan sihluet truk-truk menimbun laut dengan irisan bukit Camang.
"Sejam yang lalu!? Apa Tamara mau menunggu selama itu?" Partahian membuka pembicaraan.
"Perempuan, ah! Mereka sangat menyukai bila dibohongi."
Keduanya tergelak. Ngakak. ****
Bandar Lampung/Sipirok, vii—2008
2 #type=(blogger)
Singgah sejenak. numpang baca neh.
ReplyDeletebang budi, emak-emak ngeblog numpang lewat
ReplyDeleteTerima kasih atas pesan Anda