Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dicurigai hendak melemahkan kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani perkara korupsi. Kecurigaan diapungkan para pegiat antikorupsi sekaitan rencana Komisi Hukum DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Mungkin kecurigaan itu beralasan. Barangkali juga tidak signifikan. Kita tak tahu persis karena muara dari kecurigaan itu mengacu pada draf rancangan revisi yang dipersiapkan Komisi Hukum DPR. Sedangkan draf adalah teks yang diniatkan sebagai teks hukum dan karenanya menjadi sebuah orde, sesuatu yang kelak akan disepakati sebagai konvensi terkait kinerja KPK di masa yang akan datang.
Tentu, terhadap teks apa saja kita tak bisa mengabaikan kuatnya pengaruh tafsir. Artinya, kecurigaan para pegiat antikorupsi berangkat dari tafsir atas teks draf rancangan revisi. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Golkar, Nudirman Munir, menafsirkan salah satu draf rancangan revisi atas pasal dalam UU 30 Tahun 2002 itu mengandung tafsir "agar KPK tidak seperti di masa lalu, remnya blong". Sebab itu, pengawasan terhadap kinerja KPK harus diperketat.
Tapi, justru karena tafsir semacam itu, para pegiat antikorupsi mengkhawatirkan independensi KPK akan rusak. Pengawasan yang terlalu ketat akan membuat KPK sulit bergerak, sukar bertindak, dan ragu membuat keputusan. Terutama bila perkara korupsi masih kita terima sebagai kasus hukum luar biasa, yang kait-berkait dengan banyak hal, termasuk juga sering membuat kinerja DPR menjadi tampak buruk sekali.
***
TERLALU banyak hal yang tak sesuai bila segala sesuatu kita kait-kaitkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk juga eksistensi KPK sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memberantas korupsi, yang sampai sekarang lebih terkesan sebagai lembaga pengungkit batu sejak Abraham Samad dilantik sebagai Ketua KPK oleh Presiden SBY pada 16 Desember 2011.
Sudah banyak kasus korupsi yang diungkap KPK. Saking banyaknya, negeri ini menjadi goyah, karena korupsi bisa ditemukan hampir di semua lini kehidupan. Semua lembaga Negara ditengarai jadi sarang koruptor. Bahkan, Departemen Agama tidak terkecuali.
Belum lagi jika kita bicara dari aspek personality, bahwa ternyata hampir tak ada seorang elite pun di negara ini yang tak terindikasi terlibat korupsi. Cuma, belum semuanya terungkap. Lagi pula, setiap koruptor sudah menjadi lebih cerdas untuk menghindar dari segenap tuduhan. Disamping karena faktor hukum di negeri ini selalu tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Sayangnya, banyak kasus korupsi yang berhasil diungkapkan KPK, ternyata sedikit tersangka korupsi yang divonis-- kita tidak perlu mempersoalkan pantas atau tidak jumlah hukuman yang diderakan. Padahal, KPK adalah lembaga super yang memiliki banyak kewenangan, mulai dari menangkap, menyidik, sampai menutut para tersangka perkara korupsi.
Dengan kewenangan yang begitu besar, sejak kehadirannya dalam kehidupan hokum di negeri ini, KPK menjadi fenomenal bukan karena keberhasilannya memberantas korupsi di negeri ini. Korupsi semakin banyak, meraja lela, dan semakin mengkhawatirkan. Yang fenomenal pada KPK justru pertarungannya dengan Polri, permainan para penyidik KPK dalam menyidik perkara, dan sepak terjangnya yang luar biasa untuk mengobrak-abrik dan menghancurkan citra para elite Negara. Institusi Polri dibuat babak-belur karena kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri, juga lantaran salah seorang jenderal polisi dijadikan tersangka.
Pertarungan KPK dengan Polri, kini memasuki babak kedua. Setelah kasus Cicak-Buaya, kini soal penarikan 20 penyidik oleh Polri dari KPK. Penarikan penyidik yang oleh KPK ditengarai karena kasus korupsi Koorlantas Mabes Polri yang baru diungkapkan KPK. Menariknya, KPK menyampaikan kecurigaan itu melalui juru bicaranya kepada media massa, sehingga kedua lembaga yang bertanggung jawab memberantas korupsi ini terkesan sedang diadudomba.
***
KPK, yang kehadirannya di negeri ini telah mereduksi beban kerja dan tanggung jawab Polri, membangun kesan bahwa penarik 20 penyidik oleh Polri berkaitan dengan upaya pengungkapan kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri. Pasalnya, ke-20 penyidik itu berperan aktif menyidik kasus korupsi yang membuat seorang jenderal polisi menjadi tersangka.
Tentu, Polri tidak mau menyerah karena kadung sudah menarik ke-20 penyidiknya dari KPK. Bergeming dengan kebijakan itu, Polri kemudian menolak upaya KPK mengait-kaitkan penarikan ke-20 penyidik itu dengan kasus korupsi di lingkungan Mabes Polri.
Tapi, karena publik terlanjur percaya pada alasan KPK mengingat kebencian mereka terhadap Polri sudah sampai titik jenuh, Polri pun akhirnya lebih tenang dengan mengatakan ke-20 penyidik itu akan diganti dengan penyidik yang lebih hebat.
Tapi, karena publik terlanjur percaya pada alasan KPK mengingat kebencian mereka terhadap Polri sudah sampai titik jenuh, Polri pun akhirnya lebih tenang dengan mengatakan ke-20 penyidik itu akan diganti dengan penyidik yang lebih hebat.
Barangkali memang bukan soal penyidik yang sesungguhnya dipersoalkan dalam perkara KPK lawan Polri jilid kedua ini. Tapi soal lama, soal egoisme dari para elite pengelola lembaga negara yang acap menderita ketersinggungan elitisme.
Kehadiran KPK di negeri ini, jauh sebelum konstitusi pembentukannya disahkan legislatif, sudah bisa dibayangkan akan menangguk cibiran. Pasalnya, KPK akan bertugas memberantas korupsi, dan lembaga ini menjadi lembaga super. Ia akan membuat lembaga-lembaga lain seperti Polri, yang selama ini menangani perkara tindak pidana korupsi, menjadi tidak terlalu berperan.
KPK hadir, Polri pun dipinggirkan dalam hal memberantas tindak pidana korupsi. Konstitusi negara memberi banyak fasilitas buat KPK untuk mempermudah menjalankan tugas dan kewajibannya. Fasilitas dan kemudahan yang sesungguhnya telah lebih dahulu dituntut Polri maupun Kejaksaan, tapi KPK yang justru mendapatkannya.
Dengan ragam kemudahan itu, KPK ternyata menjadi lembaga super yang merasa tanpa tanding. Begitu akan ditandingi, KPK dengan cepat berteriak bahwa "ada upaya melemahkan KPK".
Cengeng, sungguh. Padahal, sebagai lembaga yang menjadi "anak emas", KPK seharusnya bisa menunjukkan aksi hebat dan luar biasa dalam memberantas korupsi di negeri ini. Tapi, tidak demikian, karena KPK justru lebih sibuk mengurusi diri sendiri.
Cengeng, sungguh. Padahal, sebagai lembaga yang menjadi "anak emas", KPK seharusnya bisa menunjukkan aksi hebat dan luar biasa dalam memberantas korupsi di negeri ini. Tapi, tidak demikian, karena KPK justru lebih sibuk mengurusi diri sendiri.
Sayangnya, ada atau tidak KPK, korupsi tetap jadi perkara besar di negeri ini. Banyak kasus yang diungkap KPK, yang diselesaikan berlarut-larut, dan yang tak jelas bagaimana akhirnya. Kinerja yang tak sesuai ekspektasi publik itu malah meninggalkan kesan bahwa KPK hanya semacam kayu pengungkit batu tempat udang bersembunyi. Karena KPK tidak pernah menangkap udangnya.
Mungkin bukan pula soal melemahkan KPK bila DPR merevisi UU 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ini soal lain, soal yang terkait dengan harapan yang terlalu dilambungkan untuk KPK dan yang pasti sukar diraih. Padahal, kehadiran KPK membuat Polri, lembaga penegak hukum yang kewenangannya tereduksi dengan kehadiran KPK, menjadi lembaga yang kinerjanya tak perlu diperhatikan.
Polri dipandang lemah, karena lembaga penegak hukum ini dipandang terlalu banyak mengungkap kasus korupsi tetapi terlalu sedikit menegakkan keadilan hukum bagi pelaku tindak pidana luar biasa ini. Ternyata pula, KPK yang diharapkan tidak seperti Polri, masih saja mengulangi track record yang tak bagus itu.
Bedanya, jika Polri tampak seperti lembaga yang lebih sibuk membangun dan mengembalikan citra dirinya yang jatuh di hadapan publik, maka KPK lebih cenderung sebagai "anak manja" yang meyakini bahwa dirinya menjadi pusat perhatian publik. Padahal sama saja, jelas-jelas tidak mampu membuat masalah korupsi menjadi tidak masalah bagi negeri ini. ***
Dipublikasi di Analisa edisi 8 Desember 2012
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda