Sastra Tanpa Efek

by - September 06, 2012

Oleh: Ichlas Syukurie
Terbit di Analisa edisi 8 Juli 2012 d

Entahlah, jarang aku menemukan karya sastra yang meninggalkan efek tertentu di kepalaku. Efek berupa sebuah rangsangan yang memaksaku memikirkan kembali (rethinking) untuk membangun objektivitas antara realitas dalam karya sastra itu dengan realitas yang berjumpalitan di lingkungan publik. Sesuatu yang melecut sangat kuat untuk mendiskusikan realitas-realitas itu guna menemukan relasinya dengan kepentingan publik. Bukankah sebuah karya sastra yang baik adalah karya yang dibicarakan di berbagai ruang dan waktu dengan melibatkan elemen-elemen di luar karya seni itu sebagai anasir penting, karena sastra bukan sekedar hasil memises realitas?
Barangkali aku terlalu awam, tak menguasai metoda-metoda pembacaan dan tak cukup terliterasi oleh ragam bahan bacaan. Bisa dibilang, kemampuanku untuk memahami karya sastra sangat buruk, sehingga karya-karya yang dianggap bagus sekalipun tak pernah aku puji sebagai karya bagus. Bukankah setiap pengarang hanya membutuhkan pujian atas hasil kreativitasnya? Aku tidak piawai menyenangkan hati para pengarang itu, terutama mereka yang selalu menganggap karyanya sebagai puncak pencapaiannya.

Barangkali saja banyak pembaca karya sastra yang berada pada posisi seperti aku. Sesungguhnya mereka tidak terlalu menyukai karya-karya yang ada, tetapi lantaran tidak ingin membuat para pengarang itu kecewa, mereka mempuja-puji karya-karya itu dengan bahasa yang asersif dan melambungkan. Puja-puji yang memuakkan, karena lahir dari sikap ilmiah yang tak hendak bersikap jujur atas realitas karena dipengaruhi oleh watak manusia Timur yang selalu ingin menjaga harmoni.

Apakah kita membutuhkan harmoni untuk sesuatu yang tak seharusnya tak perlu dibanggakan, karena segera akan tenggelam dan dilupakan begitu zaman berubah?

Sastrawan dengan karyanya selalu berusaha bersandar pada realitas. Bersandar pada kenyataan-kenyataan yang terjadi di sekitar masyarakatnya. Kenyataan-kenyataan itu tak selalu mengkristal, tetapi tercerai berai di dalam sehimpun tanda bahasa yang semiotis. Tanda yang menyimpan gugusan ide, simulakra dari kenyataan yang ada.

Karya sastra adalah sebuah metoda komunikasi yang tak efektif, karena tak bisa dipakai untuk hanya menyampaikan satu pesan. Komunikasi adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan tentang tata cara menyampaikan pesan, hingga bisa dipahami audiense yang banyak. Karya sastra membiakkan makna dalam setiap kata, sehingga selaksa makna menghambur dan tak ada penafsiran yang sepenuhnya benar atas makna itu. Ada ketakterhinggaan di sana, yang tak jarang justru menolak segala klaim yang merangsang terciptanya karya itu, sehingga kedudukan si pengarang dalam karyanya tidak lagi mendapat perhatian.

Pengarang tidak dilihat sebagai pencipta, tapi gagasan yang berselewiran dalam karya sastranya itulah yang menjadi perhatian utama dalam membaca karya sastra. Gagasan yang berselewiran itulah yang acap dijadikan tolok ukur "bobot" karya tersebut, sekalipun perkara bobot ini bukan hal yang bisa disimpulkan dengan hanya memahami ide-ide yang ada dalam karya sastra.

Bagaimana pengarang memetaforakan ide dan gagasannya melalui diksi yang tepat sehingga memiliki kualitas estetis yang mumpuni, yang merangsang pembaca untuk mendiskusikannya di ruang-ruang publik. Hal itu menjadi representasi dari kesuksesan karya, tapi bukan kesuksesan si pengarang.

Karya yang baik, yang memiliki kualitas estetis, adalah karya yang mampu mengkonstruksi realitas sebagai sebuah ruang dialog. Karya sastra itu akan menjelma jadi etalase dari ragam potret kehidupan lain: politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Jika karya sastra itu tak menampilkan potret-potret lain di luar dunia yang dibicarakannya, semacam relasi yang kuat terhadap realitas-realitas lain, maka karya sastra itu tak layak dibaca.

Entahlah, jarang aku menemukan karya sastra yang meninggalkan efek tertentu di kepalaku. Meskipun begitu, aku tetap suka membaca karya sastra sambil berharap suatu saat menemukan karya yang seperti aku harapkan itu.

Suatu ketika aku membaca Martin Heidegger dalam The Thinker as Poet. Heidegger bicara tentang sajak. Dia memuji-muji karya Friedrich Holderin, penyair Jerman, sebagai "sangkar kenyataan". Dia juga menyebut sajak, seperti kutipan di atas, sebagai "puncak perjalanan filsafat". "Dalam batas-batas tertentu," tulis Heidegger, "nalar puitik dapat menjadi puncak perjalanan filsafati."

Sungguh, banyak pujian diberikan atas sajak. Jika dikumpulkan dalam satu buku, niscaya akan menjadi buku yang sangat tebal, hingga kau muak membacanya. Semua pujian itu ingin menunjukkan, sajak layak dan harus dimartabatkan. Setidaknya sajak tak lagi dipecundangi oleh agama seperti pernah terjadi pada suatu ketika di jazirah Arab ketika para penyair diidentikkan sebagai ahli sihir (ahlul majnun.)

Kitab suci Quran menyinggung para ahlul majnum ini. Para penafsir kitab suci menyebut penyair adalah tukang sihir, merapal mantra-mantra untuk meruntuhkan bulan, menjatuhkan para penguasa. Para penguasa, mereka yang merasa terancam karena ruh yang dikandung sebuah sajak, lebih tampak seperti Firaun yang memutuskan membunuh semua calon bayi yang hendak lahir di negeri Mesir.

Seperti Si Burung Merak dalam animasi "Kung Fu Panda", memutuskan membunuh semua panda hanya karena seorang tukang ramal meramalkan kehancuran kekuasaan Si Buruk Merak oleh seokor mahluk yang merupakan refresentasi dari filsafat Yin dan Yang -kestabilan antara keburukan dengan kebaikan. Mahluk hitam putih itu adalah Panda, si gendut yang tak mengesankan sebagai martir.

Aku membayangkan sajak seperti syair-syair di tangan penyair Arab. Di tangan merekalah sejarah awal sajak terbentuk. Sajak, pada mulanya semacam perlawanan terhadap realitas kehidupan yang memperlihatkan ketidakadilan. Sajak adalah musuh para raja, para penguasa feodalis yang bertangan besi. Bukan karena sajak menggelorakan perlawanan, tapi karena sajak mengisahkan kenyataan.

Sajak yang bagus adalah sangkar kenyataan. Aku jarang menemukan sangkar kenyataan dalam sajak-sajak yang aku baca, terutama sajak yang muncul belakangan ini. Mungkin, sajak kita tak bisa disebut "sangkar kenyataan".

Sajak di negeri kita tak mebuat penguasa kehilangan rasionalitasnya. Mungkinkah penguasa kita tak paham sajak, tak mengerti bahasa sajak. Mungkin penguasa kita terlalu paham bahasa sajak, sehingga tak perlu merasa khawatir. Mungkin, tak ada yang perlu dikhawatirkan penguasa kita.

Ada banyak kemungkinan. Sungguh, di aras modern saat ini, di zaman ketika kemerdekaan berbicara dan berpikir tak lagi dibatasi, para penyair kehilangan dinamikanya. Mereka terlena oleh kebebasannya, sehingga kehilangan kecakapan dalam menulis sajak. Bahasa sajak-sajaknya tak lagi kristalisasi dari kenyataan, tak lagi menjadi "sangkar kenyataan". Melainkan sangkar ilusi. Sajak-sajak penyair kita berisi ketidaknyataan, angan-angan, mimpi-mimpi dan romantisme yang membuat pembacanya melambung tinggi.

Di sebuah negara tropis yang tak pernah ada salju, banyak kata "salju" ditemukan pada sajak para penyairnya. Di sebuah negara yang tak mengenal tradisi "minum anggur dalam sebuah perjamuan", para penyairnya memakai kata "anggur" dalam sajaknya. Di sebuah negara yang tradisi pemikirannya sangat kuat dipengaruhi nilai-nilai agama, karena nilai-nilai tradisi masyarakatnya mengakar pada ajaran ragam agama yang diyakini masyarakatnya, para penyair justru menghasilkan sajak yang kental dengan penalaran eksistensialisme dan sekularisme.

Wajar jika penyair yang lahir kemudian justru lebih sibuk merayakan sesuatu yang lain dalam kreativitas bersajak. Sesuatu yang tak dikenal ibunya, yang sesungguhnya juga tak dikenal oleh orang di lingkungannya, muncul dalam sajak-sajaknya seakan-akan hal itu "harus" menjadi pengalaman semua orang. Upaya itu justru dipuji sebagai keberhasilan. "Puisi Sitok Srengenge," begitu pujian Goenawan Mohamad, "bergerak di antara yang umum dan mencengangkan".

Pujian itu, bisa kita baca dalam Nonsens, kumpulan sajak Sitok Srengenge. Sebuah buku yang isinya merupakan sajak-sajak yang memperkenalkan sesuatu dari negeri lain sebagai sesuatu yang harus diakui sebagai milik orang-orang di negeri ini. Upaya semacam ini mengingatkan aku pada kerja keras para kapitalis, yang mencoba memperkenalkan sesuatu yang lain dari negeri asing agar menjadi sesuatu yang inheren dengan masyarakat di negeri ini. Orientasinya cuma satu: merengkuh sebesar-besarnya keuntungan bisnis. Dengan media, lewat strategi pesan yang mengandalkan teori jarum epidermis, para kapitalis kemudian memaksa setiap perempuan di negeri ini membeli obat pemutih kulit. Bangsa yang penduduknya berkulit sawo matang, mendadak sibuk memutihkan kulitnya. Mereka yang berkulit sawo matang, minder karena warna kulitnya.

Inilah gerakan rasisme yang mendapat persetujuan mereka yang dilecehkan. Media memang andal untuk mengubah apa saja karena budaya media sangat melekat dalam diri warga bangsa. Tak terkecuali para penyair, yang tanpa sadar telah memberikan dukungan bagi para kapitalis dengan hanya membicarakan hal-hal romantic dalam sajaknya.

Sajak-sajak kita adalah sajak liris yang romantic. Sajak yang menolak bicara tentang realitas. Sajak yang menawarkan mimpi. Sajak yang melambungkan. Sajak kaum modernis, yang seluruh sel pada tubuhnya sudah dipengaruhi kapitalis.

Kita paham, kapitalis menyukai jaringan. Mereka hidup dengan membangun jaringan, yang salah satunya juga menjaring komunitas-komunitas para penyair. Komunitas yang dipaksa agar berpikir seperti kapitalis, diarahkan untuk hanya bicara tentang bunga. Sajak-sajak yang hanya menjadi sumber kenikmatan estetik. Sajak yang melenakan.

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda