Mr A
Mr A muncul di hadapanku. Ia gusar. Matanya semerah saga. Mirip kali mata orang mabuk minuman keras murahan. Ia tak berkata-kata. Langsung duduk di sampingku. "Aku sudah bersabar sekian tahun, tapi tiba-tiba saja namaku disebut-sebut lagi," katanya, "aku mau melabrak orang itu."
"Tak usah," kataku, "tak perlulah."
"Kau mendukungnya?"
"Kau tahu aku kan. Mana ada politisi yang aku sukai." Aku tergelak. "Inilah yang aku lihat pada politisi. Jaringan otaknya sering mumet dan asal ceplak."
"Jangan menyinggung orang lain dong." Ketus Mr. A. "Aku tak pernah menyinggung perasaan orang lain. Aku selalu disinggung."
"Barangkali kau terlalu kalem."
"Memang karakterku."
"Zaman sudah berubah. Kau harus hidup di zamanmu. "
"Mana aku perduli soal itu." Mr A mengingatkanku pada wataknya. Ia memang tak terlalu perduli pada masalah duniawi. Itulah yang membuatnya memutuskan menyepi di suatu tempat yang tak pernah ia beri tahu. Ia seperti pesilat, yang sejak lama naik gunung, dan tak ingin ikut campur urusan duniawi. Ia bilang, urusan duniawi sangat sepele, hanya berkutat di dunia.
"Bukan begitu," kataku, "sudah saatnya kau turun gunung."
"Untuk apa?"
"Negeri ini butuh orang macam kau." Aku mencoba mengingatkannya. "Karena kau tak perduli, orang-orang menyebut-nyebut namamu."
"Aku rasa orang itu tidak kenal siapa aku."
"Bukan soal kenal. Ia sendiri tidak tahu apa yang diucapkannya. Ia kan politisi, setiap kata yang keluar dari mulutnya sama saja dengan gelembung sabun. Keluar dan meletus."
"Tidak. Aku pikir kali ini berbeda. Kau ingat dulu di zaman Gus Dur. Aku juga disebut-sebut, tapi Gus Dur memakai inisialku untuk guyonan. Sedangkan yang ini, ia kelihatannya serius. Ada pretensi dari pernyataannya yang menuduhku berada di belakang keributan Partai Demokrat," katanya.
"Kau kenal orang itu?"
"Kenal sih tidak, tahu i-ya. Ia kan wartawan. Mungkin, ketika jadi wartawan, ia terbiasa menuduh orang. Saat jadi politisi, kebiasaan itu bertambah parah."
"Aku kira juga begitu."
"Kau kira."
"Aku cuma bisa mengira."
"Payah. Cobalah membuat analisis atas tuduhan ini. Apa sesungguhnya motifnya."
Aku tertawa. "Sulit memikirkan motif orang lain, apalagi politisi. Dalam sedetik, motifnya bisa berubah ubah."
"Macam bunglon."
"Raja bunglon."
Ia tertawa. "Bisa saja kau."
"Kau sudah tertawa. Kau tak kesal lagi kan."
"Kesal! Masih. Rasanya aku ingin tahu seberapa hebat kemampuan orang itu."
"Kau belum mengerti juga rupanya. Jangan mempertanyakan kemampuan politisi, karena kalau mereka memiliki kemampuan, mereka tidak akan pernah berpikir menjadi politisi."
"O ya."
"Ya. Karena tak punya kemampuanlah makanya seseorang jadi politisi. Tak akan ada orang yang mempertanyakan. kalau pun ada, mereka bisa berkelit, bersilat lidah seolah-olah dirinya punya kemampuan."
"Begitu ya."
"Rata-rata seperti itu. Makanya, jangan pernah dengarkan omongan mereka."
"Termasuk tuduhan atas keterlibatan saya dalam gonjang-ganjing di tubuh Partai Demokrat?"
"Termasuk itu. Tidak usah kau pikirkan."
"Kau yakin."
"Kapan aku tak bisa meyakinkanmu."
"Baiklah." Mr A tersenyum. "Kalau begitu aku kembali lagi ke tempatku menyepi."
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Negara ini membutuhkanmu."
"Tidak. Negara ini sedang membutuhkan politisi-politisi yang suka mengkambinghitamkan orang lain karena kegagalannya. Negeri ini sedang membutuhkan para pembohong, bukan aku."
"Maksudmu?"
"Biarkan saja mereka berkuasa. Mereka yang suka membohongi rakyat sedang dibutuhkan negara ini."
"Itu hanya akan membawa masalah."
"Memang harus ada masalah. Bukankah kita bangsa yang baru mengerti kalau sudah ada masalah, meskipun kemudian masalah yang sama selalu dilakukan."
"Itu tak boleh berulang."
"Ada masanya berhenti."
"Kapan. Rakyat sudah bosan memiliki pemimpin yang hanya mengakomodasiu kepentingan koruptor."
"Kalau sudah tiba, pasti kekuasaan yang bobrok seperti itu akan berhenti."
"Kapan?"
"Ketika negara ini tidak menghendakinya lagi."
Aku mengangguk. "Ya, sudah. Kalau begitu kembali lagilah ke tempatmu."
Mr A tersenyum. Ia kembali lagi. Bayangannya menghilang ditelan kelokan jalan. Aku tersenyum memikirkan percakapan singkat kami sambil berharap semoga negara ini tidak lagi membutuhkan para pembohong yang hanya bisa mengadopsi kepentingan koruptor.
"Kau mendukungnya?"
"Kau tahu aku kan. Mana ada politisi yang aku sukai." Aku tergelak. "Inilah yang aku lihat pada politisi. Jaringan otaknya sering mumet dan asal ceplak."
"Jangan menyinggung orang lain dong." Ketus Mr. A. "Aku tak pernah menyinggung perasaan orang lain. Aku selalu disinggung."
"Barangkali kau terlalu kalem."
"Memang karakterku."
"Zaman sudah berubah. Kau harus hidup di zamanmu. "
"Mana aku perduli soal itu." Mr A mengingatkanku pada wataknya. Ia memang tak terlalu perduli pada masalah duniawi. Itulah yang membuatnya memutuskan menyepi di suatu tempat yang tak pernah ia beri tahu. Ia seperti pesilat, yang sejak lama naik gunung, dan tak ingin ikut campur urusan duniawi. Ia bilang, urusan duniawi sangat sepele, hanya berkutat di dunia.
"Bukan begitu," kataku, "sudah saatnya kau turun gunung."
"Untuk apa?"
"Negeri ini butuh orang macam kau." Aku mencoba mengingatkannya. "Karena kau tak perduli, orang-orang menyebut-nyebut namamu."
"Aku rasa orang itu tidak kenal siapa aku."
"Bukan soal kenal. Ia sendiri tidak tahu apa yang diucapkannya. Ia kan politisi, setiap kata yang keluar dari mulutnya sama saja dengan gelembung sabun. Keluar dan meletus."
"Tidak. Aku pikir kali ini berbeda. Kau ingat dulu di zaman Gus Dur. Aku juga disebut-sebut, tapi Gus Dur memakai inisialku untuk guyonan. Sedangkan yang ini, ia kelihatannya serius. Ada pretensi dari pernyataannya yang menuduhku berada di belakang keributan Partai Demokrat," katanya.
"Kau kenal orang itu?"
"Kenal sih tidak, tahu i-ya. Ia kan wartawan. Mungkin, ketika jadi wartawan, ia terbiasa menuduh orang. Saat jadi politisi, kebiasaan itu bertambah parah."
"Aku kira juga begitu."
"Kau kira."
"Aku cuma bisa mengira."
"Payah. Cobalah membuat analisis atas tuduhan ini. Apa sesungguhnya motifnya."
Aku tertawa. "Sulit memikirkan motif orang lain, apalagi politisi. Dalam sedetik, motifnya bisa berubah ubah."
"Macam bunglon."
"Raja bunglon."
Ia tertawa. "Bisa saja kau."
"Kau sudah tertawa. Kau tak kesal lagi kan."
"Kesal! Masih. Rasanya aku ingin tahu seberapa hebat kemampuan orang itu."
"Kau belum mengerti juga rupanya. Jangan mempertanyakan kemampuan politisi, karena kalau mereka memiliki kemampuan, mereka tidak akan pernah berpikir menjadi politisi."
"O ya."
"Ya. Karena tak punya kemampuanlah makanya seseorang jadi politisi. Tak akan ada orang yang mempertanyakan. kalau pun ada, mereka bisa berkelit, bersilat lidah seolah-olah dirinya punya kemampuan."
"Begitu ya."
"Rata-rata seperti itu. Makanya, jangan pernah dengarkan omongan mereka."
"Termasuk tuduhan atas keterlibatan saya dalam gonjang-ganjing di tubuh Partai Demokrat?"
"Termasuk itu. Tidak usah kau pikirkan."
"Kau yakin."
"Kapan aku tak bisa meyakinkanmu."
"Baiklah." Mr A tersenyum. "Kalau begitu aku kembali lagi ke tempatku menyepi."
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Negara ini membutuhkanmu."
"Tidak. Negara ini sedang membutuhkan politisi-politisi yang suka mengkambinghitamkan orang lain karena kegagalannya. Negeri ini sedang membutuhkan para pembohong, bukan aku."
"Maksudmu?"
"Biarkan saja mereka berkuasa. Mereka yang suka membohongi rakyat sedang dibutuhkan negara ini."
"Itu hanya akan membawa masalah."
"Memang harus ada masalah. Bukankah kita bangsa yang baru mengerti kalau sudah ada masalah, meskipun kemudian masalah yang sama selalu dilakukan."
"Itu tak boleh berulang."
"Ada masanya berhenti."
"Kapan. Rakyat sudah bosan memiliki pemimpin yang hanya mengakomodasiu kepentingan koruptor."
"Kalau sudah tiba, pasti kekuasaan yang bobrok seperti itu akan berhenti."
"Kapan?"
"Ketika negara ini tidak menghendakinya lagi."
Aku mengangguk. "Ya, sudah. Kalau begitu kembali lagilah ke tempatmu."
Mr A tersenyum. Ia kembali lagi. Bayangannya menghilang ditelan kelokan jalan. Aku tersenyum memikirkan percakapan singkat kami sambil berharap semoga negara ini tidak lagi membutuhkan para pembohong yang hanya bisa mengadopsi kepentingan koruptor.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda