Jabalan

by - June 06, 2011


“La gilo galo budak-budak nih!” Masenah merutuk sambil menyiramkan air bekas cucian piring ke pintu kamar mandi, ke arah sepasang mata kecil yang jelalatan pada celah-celah dinding tepas. Pekik jerit bocah-bocah menyeruak pada gugus pagi di Kampung Satuulu, diikuti riuh langkah terbirit-birit sepanjang gang antarrumah yang becek bekas hujan semalam. Air lumpur terinjak dan terpacak ke dinding rumah-rumah yang berdiri tanpa konsep arsitektur tata ruang higenis, sebagian tercampak ke ujung celana panjang Aminah yang terburu-buru mau ke pangkalan speed yang akan membawanya ke Pasar Enambelas Ilir di seberang. Setiap pagi Aminah selalu ke pasar itu untuk belanja ikan gabus yang akan dibuatnya jadi mpek-mpek. Aminah memaki-maki, membuat langkah anak-anak makin terbit, bergema di gang-gang antarrumah.

Masnah tak bisa menahan emosi, menerjang pintu kamar mandi yang dibangun dari tumpukan bambu di atas Sungai Musi, membuat pintu itu terbongkar. Ia berlari meniti tangga bambu, dan hanya menemukan Aminah yang masih merutuk membersihkan bekas lumpur yang mengotori ujung celananya. “Ke mana budak-budak itu?” Mata Masenah membelalak penuh emosi. Ikatan kain sarung motif kotak-kotak yang mengendur di pinggang Masenah, dikencangkan kembali. Sambil merutuk, perempuan itu berlari di gang antarrumah dan nyaris bertubrukan dengan Hindun yang sedang menjemur pakaian. “Oii, Hindun! Kau ajar anak kau itu ya!”

Hindun, yang baru dua bulan ditinggal kawin oleh Supardi dan masih sangat emosi atas perbuatan suaminya itu, bagai disambar petir demi mendengar teriakkan itu. “Kau itu ya….” Tak selesai kalimat itu, Hindun berlari mengejar Masenah. Melihat Hindun menyongsong, Masenah pasang kuda-kuda, menunggu. Lalu…. Kampung Satuulu riuh lagi. Suara perempuan berkelahi, jerit tangis anak-anak, dan koak ayam berlari. Tini, pedagang mpek-mpek yang datang setiap pagi, berhenti meneriakkan dagangannya demi melihat adegan itu. Tak ingin terlibat, Tini buru-buru meninggalkan Kampung Satuulu, pergi ke kampung tetangga.

Kedua perempuan itu terus bergumul, bergulingan di tanah berlumpur. Orang-orang tak melerai, malah menonton dari halaman rumah masing-masing. Ketika kain Masenah terlepas, orang-orang menyoraki. Celana dalamnya terlihat, warnanya coklat buram. Huh! Kedua perempuan itu terus bergumul.

Dari lantai dasar rumah panggung milik Haji Abdul Kiemas --- anak-anak memanggil laki-laki pensiunan pejabat di kecamatan itu dengan Uwak Haji --- Sofiyan, mahasiswa tingkat akhir Universitas Sriwijaya yang baru sepekan pindah ke Kampung Satuulu untuk kepentingan membuat skripsi tentang masyarakat di daerah itu, mengambil kamera tele miliknya yang tergeletak di atas meja. Dengan kemampuan teknik fotografi ala kadar, setiap adegan perkelahian itu dijepretnya. Wajah Masenah maupun Hindun berulang-ulang di-close up sehingga ekspresi kedua perempuan yang sedang emosi itu tertangkap jelas. Rambut mereka acak-acakan. Sisi kiri bibir Hindun berdarah. Mata Masenah tergores oleh kuku Hindun. Ketika Uwak Haji berteriak dari serambi rumah sembari menuruni tanggal rumahnya sambil istigfar, Sofyan menjepret kehadiran Uwak Haji di antara kedua perempuan itu.

“Masya Allah!” Uwak Haji melerai perkelahian itu sambil memejamkan mata karena kain sarung Masenah melorot ke kakinya. “Tarik sarung kau itu Masenah!”

Baik Hindun maupun Masenah sama-sama mengakui bukan mereka yang memulai perkelahian ketika Uwak Haji menanyakan ahwal kejadian itu. Pembelaan itu membuat suasana kembali tegang, karena masing-masing ngotot dengan suara yang melengking. Uwak Haji membentak dan mengatakan tidak perduli siapa di antara mereka yang memulai perkelahian. “Hampir tiap hari aku jingok kamu berdua kelahi. Apa idak malu jadi tontonan wong?”

Hindun menunduk, sementara Masenah memperbaiki kain sarungnya yang kembali melorot. Uwak Haji menatap mereka satu per satu, lalu mengatakan kalau perbuatan mereka menyebabkan Kampung Satuulu jadi tidak tenang. Uwak Haji menyatakan ketidaksenangannya atas perbuatan mereka. “Aku idak mau dengar kamu berdua kelahi lagi. Mengerdi idak?!”

Sementara Uwak Haji mendengarkan alasan Masenah kalau Juki, anak Hindun, mengintipnya saat mandi, Juki, Ahmad, Husin, dan Karman--empat bocah yang mengintip Masenah di kamar mandi-- berhenti berlari begitu menyadari Masenah tidak lagi mengejar. Di pinggir Sungai Musi, di sekitar lokasi Pangkalan Speed, mereka mengasoh menenangkan degup jantung yang memburu kencang. Tak lama berselang, keempat bocah itu tergelak. “Aku belum sempat jingok apapun,” gerutu Karman.

“Ya, aku bae tak sempat.” Ahmad menegaskan. “Kau jingok idak?” Menatap Husin. Husin menggeleng, melirik Juki. Tiga bocah sama-sama melirik Juki. Juki tersenyum.

“Biaso bae,” kata Juki.

“Biaso cak mano?” Serentak tiga bocah. “Apa yang kau jingok?”

“Aku lah sering jingok cak itu.”

“Pecak mano?” Karman memburu.

“Pecak yang kita tonton di rumah Mamang Daud.”

Karman, Ahmad, dan Husin mendesak agar Juki menceritakan apa yang dilihatnya. Juki duduk di semen pembatas Sungai Musi, menatap ke riak air berwarna coklat susu, lalu menarik nafas panjang. Ia pun bercerita tentang apa yang dilihatnya. Begitu detail dan penuh bumbu. Dalam bayangan Juki, melintas gambar-gambar blue film yang sering ditonton di rumah Mamang Daud. Adegan-adegan itu…ah! Gambar-gambar yang juga melintas jelas dalam benak Karman, Ahmad, dan Husin saat mendengarkan cerita Juki.

“Tapi Masenah lebih asli,” kata Juki.

Karman, Ahmad, dan Husin menuntut agar Juki menceritakan apa maksudnya lebih asli. Tapi Juki menolak, lalu mengusulkan agar mereka mencari sasaran lain. “Aku tahu yang lebih mudah dan idak akan ketahuan,” katanya sambil mengajak ketiga temannya perg.

“Ke mana?” Tanya Karman.

“Ke rumah Bici Maryam.”

***

DITUDUH anaknya suka mengintip, emosi Hindun meledak. Tak perduli pada Uwak Haji, perempuan itu menerjang. Tak menyadari Hindun akan menyerang mendadak, Masenah terjungkal. Ikatan kain sarung Masenah terlepas kembali dan ia tidak perduli, langsung bangkit mau membalas. Hindun jauh lebih siap, menendang Masenah. Pada saat kaki Hindun melayang, Uwak Haji mencoba berdiri di tengah. Tak pelak, selangkangan Uwak Haji kena tendang. Uwak Haji menjerit. “Oiiii…! Nak mati, matilah!” gerutu Uwak Haji, ditinggalkannya kedua perempuan itu.

Hindun sangat menyesal dan meminta maaf. Tapi Uwak Haji sudah terlanjur malu, karena kejadian itu membuat orang-orang yang menonton jadi terpicu urat tawanya. Melihat Hindun tidak waspada, Masenah menerjang. Hindun terjungkal. Orang-orang berteriak-teriak. Merasa disuguhi tontonan gratis, beberapa laki-laki muda duduk di depan rumah masing-masing sambil mengisap rokok.

“Kita taruhan bae?” kata salah seorang. “Aku pegang Hindun, dia besak.”

“Aku pegang Masenah, dia muda.”

Hindun bertubuh lebih besar dari Masenah. Masenah lebih mudah, baru 23 tahun, sebulan lalu ia menikah dengan Dancik, pemuda Kampung Satuulu. Masenah berasal dari Kampung Sepuluhilir, dan Dancik membawanya ke Kampung Satuulu meskipun Masenah sudah mewanti-wanti agar mereka tinggal di daerah lain saja. Dancik menolak dengan alasan pekerjaannya sebagai pembawa speed punya Uwak Haji pasti akan ditinggalkan, dan itu berarti ia akan menganggur. “Cak mano kita nak makan?” kata Dancik.

Masenah terdiam membayangkan rumah tangga dengan suami tanpa pekerjaan. Sebagai pengemudi speed saja penghasilan Dancik tidak mencukupi, tetapi karena mereka masih berdua, Masenah masih bisa menoleransi. Itu sebabnya, Masenah tidak mau memaksakan untuk pindah ke tempat lain, meskipun bapak dan induk Masenah di Kampung Sepuluhilir sudah berkali-kali memperingatkan agar mereka pindah ke kampung lain. “Kampung Satuulu itu tempat jabalan,” kata Bapok Masenah.

“Yang jabalan kan idak seberapo, Bak.” Dancik meyakinkan mertuanya.

“Idak bagus lingkungan di Satuulu itu.”

“Cak mano Bak nih.” Masih ngotot Dancik. “Aku lahir dan besak di Satuulu. Kalau Satuulu idak bagus, cak mano aku bisa tumbuh di sana?”

Selalu saja ada alasan Dancik, yang intinya ia menolak meninggalkan Kampung Satuulu. Mau tak mau, Masenah mesti menerima kenyataan itu, meskipun tetap tidak senang. Dan ketika sepekan tinggal di Kampung Satuulu, hampir tiap hari Masenah memergoki anak-anak melobangi kamar mandinya sampai ia selalu khawatir setiap kali mau masuk kamar mandi.

Sudah sering ia keluhkan soal itu kepada Dancik, tetapi Dancik malah mengatakan tidak apa-apa. “Biarkan bae, idak bakal ada yang kurang.”

Lalu pagi tadi, puncaknya tiba. Masenah sengaja menunggu sampai biji mata anak-anak mncul pada celah-celah dinding tepas. Ia sudah mempersiapkan air bekas cucuian dan merencanakan akan menyiram mata yang mengintip itu. Ketika biji mata itu sudah terlihat, aksi menyiram itu pun dilakukan. Dari jerit pekik anak-anak yang riuh, Masenah tahu salah seorang dari mereka adalah Juki, anak Hindun.

Dan kini tangan kanan Hindun menjambak rambut Masenah, membuat perempuan itu menjerit-jerit. Sedangkan tangan kiri Hindun berulang-ulang memukul wajah Masenah, membuat darah mengucur dari hidung perempuan itu.

“Aku bilang apa?” kata salah seorang. “Hindun pasti menang.”

“Kagek bae.”

“Hoi, berhenti kataku.” Mendadak muncul Marwan, kepala kampung. Laki-laki paroh baya itu baru selesai mencuci motor bebeknya dan siap-siap mau ke pangkalan ojek ketika datang tetangga memberi tahu kalau Hindun dan Masenah berkelahi. “La gilo galo kamu berdua nih.” Marwan menarik Hindun dan memegang tangannya. Melihat Hindn dipegangi, Masenah merasa punya peluang untuk membalas. Diterjangnya Hindun, dijambaknya rambut perempuan itu. Marwan marah-marah, menyuruh Masenah menghentikan perbuatannya. Masenah tidak perduli, ditariknya rambut Hindun sekuat tenaga. Hindun menjerit dan memaki Marwan.

Melihat tak ada tanda-tanda Masenah bakal menghentikan aksinya, tangan Marwan melayang dan mendarat di pipi Masenah. Masenah kaget dan terdiam. Mendadak ia meraung dan memaki-maki Marwan. Marwan kaget dengan perbuatannya dan meminta maaf. Tapi Masenah tidak terima, lalu berlari ke pangkalan speed sambil meraung.

Dancik yang sedang main domino di pangkalan speed kaget melihat Masenah muncul sambil menangis. Lebih kaget lagi melihat darah mengucur dari hidung istrinya, dan langsung meloncat. “Ada apa?!”

“Marwan. Marwan memukul aku….” Tak selesai kalimat Masenah, Dancik berlari ke arah rumah Marwan setelah merampas badik milik Salman, centeng di pangkalan speed. ***

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda