Ditumbalkan Kesumat PTPN VII
Di daerah, dimana orang luar bisa kaya raya selama puluhan tahun, Sumini (55) justru hidup miskin papa. Dan urat kemiskinan, galibnya dimana-mana, hampir tak berbeda dengan urat kekufuran. Kedua urat itu bersinggungan pada satu simpul yang bernama keputusasaan. Dalam situasi seperti itu, iman terlemahkan. Maka Sumini, orang tua yang mesti memikul beban menghidupi suaminya, hilang kecerdasan akhlak, lalu mengambil getah karet milik PTPN VII, dan dijual seharga Rp15.000,-.
Sumini memakainya untuk makan sehari-hari, untuk mengganjal lapar yang merangsek nyawa. Tapi perbuatan itu, secara hukum formal, melanggar pasal-pasal dalam KUHAP. Meskipun pemerintah, secara hukum manusiawi dan juga konstitusi negara, juga salah karena membiarkan rasa lapar Sumini berkepanjangan menyiksa. Tapi Sumini, yang miskin, yang kehilangan kekuatan keimanan, yang lemah, paling mudah dipersalahkan daripada Negara, yang digerakkan oleh elite-elite.
Maka Sumini, warga Dusun I, Wonodadi, Tanjungsari, Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tumbal atas kemiskinannya. PTPN VII mengadukan Sumini ke Polsek Tanjung Bintang, menjadikannya tersangka pencuri getah milik perusahaan itu. Dan aparat penegak hukum, yang melihat pasal-pasal dalam KUHAP secara hitam-putih, melemparkan Sumini ke dalam sunyinya buih berukuran 4x4 meter. Dingin dinding malam hari dan kerasnya jeruji besi membuat Sumini tertekan secara psikologis, trauma sangat menekan.
Polisi dan PTPN VII menjadikan Sumini contoh buruk bagi masyarakat di lingkungannya yang miskin, seperti semacam peringatan bagi siapa saja yang berusaha mengambil getak milik PTPN VII. Aparat penegak hukum dan negara (PTPN VII merupakan badan usaha milik Negara) kehilangan rasa kemanusiaan yang hakikat, seolah Sumini merupakan the enemy yang akan memelaratkan orang banyak, yang dampak kelakuannya lebih parah daripada kelakuan para koruptor yang menggerogoti keuntungan PTPN VII dari dalam institusi itu.
PTPN VII yang melaporkan Sumini sebagai pencuri memang mendapat kritik dari banyak kalangan. Media massa cetak, pada awalnya, merespon penderitaan Sumini sebagai bahan gossip murah yang dapat menaikkan oplag cetakan. Tapi, setelah beberapa kali penanyangan, mendadak berita Sumini senyap. Padahal kasus ini memaksa Ketua DPRD Lampung, Marwan Cik Hasan, mempertanyakan program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) tersebut. Nada bicara politisi Partai Demokrat ini mencurigai dana-dana CSR PTPN VII tidak ada manfaat sosial (social benefits) bagi masyarakat di lingkungannya. Buktinya, laba PTPN VII yang tinggi pada akhir tahun lalu, berbanding terbalik dengan kemiskinan dan kepapaan Sumini yang hidup di sekitar lokasi bisnis PTPN VII itu.
Tapi legislatif pun bukanlah kumpulan malaikat, yang teriak lantang karena keperdulian kepada Sumini. Legislatif berisi para aktor politik yang mampu dengan cepat dan mudah melahirkan skenario politik yang bisa dimainkan dengan sangat cantik hanya untuk mengambil manfaat personal dari kasus yang mendera rakyat. Setelah legislatif teriak seperti pejuang hak asasi manusia yang tegak sendiri di puncak bukit pengawasan, PTPN VII, kini segalanya menjadi senyap.
*
PTPN VII sudah banyak merauf untung dari bisnis karet yang diwarisi dari zaman Belanda itu. Selama itu pula, masyarakat di sekitar lokasi budidaya karet hidup hanya sebagai buruh kasar, tak berbeda ketika PTPN VII dikelola kolonialisme maupun dikelola new-kolonialisme yang bertopeng PTPN VII. Buruh yang tidak punya posisi tawar, yang begitu memasuki masa pensiun, tak punya simpanan untuk menghidupi dirinya sendiri. Sumini, bekas buruh dari PTPN VII, juga seperti itu. Ketika masa baktinya usai di BUMN itu, otomatis kehilangan mata pencaharian. Ia pun masuk dalam lingkaran hidup yang pelik, ingin bertahan hidup tapi tak punya keahlian lain.
Tidak sedikit warga yang kemiskinannya seperti Sumini. Keberadaan PTPN VII di lingkungan mereka, sama sekali tidak membawa dampak positif. Padahal, tiap tahun PTPN VII selalu mengabarkan perolehan laba yang meningkat drastis, yang menunjukkan BUMN itu sedang tumbuh pada jalur bisnis yang benar. Tapi, pertumbuhan itu melenceng jauh dari realitas social di lingkungannya.
PTPN VII makin kaya, tapi masyarakat makin miskin. Sampai di sini muncul pertanyaan apakah ada korelasi antara meningkatnyaa laba PTPN VII dengan pemiskinan warga di lingkungan areal budidaya karet BUMN itu? Jawabannya ada pada cara pengelola PTPN VII dalam memandang masyarakatnya. Dengan mengedepankan kasus Sumini, jelas sekali PTPN VII memandang warga (manusia) di sekitarnya sangat parsial dan reduksionis.
Warga (manusia) yang ada di lingkungannya, bagi PTPN VII tidak lebih dari material yang dapat diobservasi secara empiris. Manusia-manusia itu dipandang dan diperlakukan sebagai sosok satu dimensi. Dikonsepsi sama halnya dengan binatang yang berkapasitas otak lebih tinggi dari spesies binatang lainnya. Karenanya, sisi hakikat manusia, yang subtansial dan transendental, dimusnahkan. PTPN VII menganggap tidak ada urgensi antara hakikat manusia dengan eksistensi dan masa depan bisnis mereka di lingkungan masyarakat.
Pada tataran ini kentara sekali PTPN VII sangat kuat dipengaruh cara pandang kapitalis global. Mereka memosisikan warga yang tak ada sangkut pautnya dengan manajemen usaha BUMN itu sebagai entitas asing. Karena itu, seburuk apapun nasib warga di sekitarnya dalam kehidupan, bukanlah persoalan yang mesti dihiraukan PTPN VII. Sebaliknya, itu merupakan hal yang biasa dalam kehidupan yang selalu berada dalam situasi bertahan hidup jika bertarung (survival of the fittest).
Pandangan Marxisme, di dalam kapitalisme kaum pemegang modal mengeksploitasi kaum buruh. PTPN VII akan memilih mengorbankan buruh karena institusi bisnis yang memproduksi bahan baku ekspor itu memasuki iklim pasar bebas yang tak pernah aman bagi pengusaha. Persaingan bisnis yang super ketat dan senantiasa bisa dimasuki pengusaha lain, mengharuskan PTPN VII untuk mencari solusi yang paling meminimalkan kerugian. Tidak heran jika warga atau buruh dikorbankan. Karenanya, warga tidak merasa memiliki PTPN VII. Sangat wajar apabila warga mencari alasan untuk berkonflik dengan PTPN VII.
PTPN VII sesungguhnya milik negara yang labanya untuk kemakmuran warga bangsa. Namun, dalam pelaksanaan manajemennya, acap terdengar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tingkat internal. Penyimpangan yang mengedepan karena SDM PTPN VII berisi manusia yang telah terkontaminasi cara berpikir kaum kapitalis dalam memandang warga. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan hak warga seperti munculnya kasus klaim hak atas tanah oleh warga, selalu dipandang sebagai perilaku negative warga.
Padahal, PTPN VII bisa mengatasi konflik-konflik dengan warga apabila betul-betul menjalankan prinsip-prinsip dasar yang dianut kaum kapitalis global. PTPN VII harus menyadari bahwa hadirnya pasar bebas sesungguhnya dapat menjadi momentum untuk memberdayakan warga menjadi entitas yang produktif. Di era pasar bebas, mereka yang akan hidup dan bertahan adalah mereka yang mampu memproduksi berupa barang maupun jasa.
Ludwig von Mises dalam bukunya, Human Action, mengatakan dalam iklim kebebasan berekonomi, manusia dapat berkreasi dan memproduksi berbagai barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Di pasar bebas konsumenlah yang berdaulat. Posisi konsumen sedemikian rupa sehingga memberi sinyal kepada para pengusaha tentang apa-apa yang mereka inginkan, melalui keuntungan kepada para pebisnis yang mampu memuaskan keinginan, dan melalui kerugian bagi siapa saja yang gagal melakukannya. Sistem cambuk dan wortel alami pasar memandu keputusan dan proses produksi; memastikan bahwa barang dan jasa akan terus dihasilkan, sehingga meningkatkan upah dan standar hidup.
Di sinilah program CSR PTPN VII menemukan relevansinya. PTPN VII harus memberdayakan warga di sekitar menjadi produsen barang maupun jasa yang kuat. Dengan begitu, kemiskinan warga akan mudah teratasi. Tapi, jika warga di sekitar PTPN VII ternyata masih banyak yang papa seperti Sumini, bisa disimpulkan program CSR dari BUMN ini hanya isapan jempol. ***
TULISAN INI SEJATINYA SUDAH SAYA KIRIM KE MEDIA DI LAMPUNG, TAPI KARENA SATU DAN LAIN HAL TIDAK DIMUAT. HA..HA...
Maka Sumini, warga Dusun I, Wonodadi, Tanjungsari, Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tumbal atas kemiskinannya. PTPN VII mengadukan Sumini ke Polsek Tanjung Bintang, menjadikannya tersangka pencuri getah milik perusahaan itu. Dan aparat penegak hukum, yang melihat pasal-pasal dalam KUHAP secara hitam-putih, melemparkan Sumini ke dalam sunyinya buih berukuran 4x4 meter. Dingin dinding malam hari dan kerasnya jeruji besi membuat Sumini tertekan secara psikologis, trauma sangat menekan.
Polisi dan PTPN VII menjadikan Sumini contoh buruk bagi masyarakat di lingkungannya yang miskin, seperti semacam peringatan bagi siapa saja yang berusaha mengambil getak milik PTPN VII. Aparat penegak hukum dan negara (PTPN VII merupakan badan usaha milik Negara) kehilangan rasa kemanusiaan yang hakikat, seolah Sumini merupakan the enemy yang akan memelaratkan orang banyak, yang dampak kelakuannya lebih parah daripada kelakuan para koruptor yang menggerogoti keuntungan PTPN VII dari dalam institusi itu.
PTPN VII yang melaporkan Sumini sebagai pencuri memang mendapat kritik dari banyak kalangan. Media massa cetak, pada awalnya, merespon penderitaan Sumini sebagai bahan gossip murah yang dapat menaikkan oplag cetakan. Tapi, setelah beberapa kali penanyangan, mendadak berita Sumini senyap. Padahal kasus ini memaksa Ketua DPRD Lampung, Marwan Cik Hasan, mempertanyakan program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) tersebut. Nada bicara politisi Partai Demokrat ini mencurigai dana-dana CSR PTPN VII tidak ada manfaat sosial (social benefits) bagi masyarakat di lingkungannya. Buktinya, laba PTPN VII yang tinggi pada akhir tahun lalu, berbanding terbalik dengan kemiskinan dan kepapaan Sumini yang hidup di sekitar lokasi bisnis PTPN VII itu.
Tapi legislatif pun bukanlah kumpulan malaikat, yang teriak lantang karena keperdulian kepada Sumini. Legislatif berisi para aktor politik yang mampu dengan cepat dan mudah melahirkan skenario politik yang bisa dimainkan dengan sangat cantik hanya untuk mengambil manfaat personal dari kasus yang mendera rakyat. Setelah legislatif teriak seperti pejuang hak asasi manusia yang tegak sendiri di puncak bukit pengawasan, PTPN VII, kini segalanya menjadi senyap.
*
PTPN VII sudah banyak merauf untung dari bisnis karet yang diwarisi dari zaman Belanda itu. Selama itu pula, masyarakat di sekitar lokasi budidaya karet hidup hanya sebagai buruh kasar, tak berbeda ketika PTPN VII dikelola kolonialisme maupun dikelola new-kolonialisme yang bertopeng PTPN VII. Buruh yang tidak punya posisi tawar, yang begitu memasuki masa pensiun, tak punya simpanan untuk menghidupi dirinya sendiri. Sumini, bekas buruh dari PTPN VII, juga seperti itu. Ketika masa baktinya usai di BUMN itu, otomatis kehilangan mata pencaharian. Ia pun masuk dalam lingkaran hidup yang pelik, ingin bertahan hidup tapi tak punya keahlian lain.
Tidak sedikit warga yang kemiskinannya seperti Sumini. Keberadaan PTPN VII di lingkungan mereka, sama sekali tidak membawa dampak positif. Padahal, tiap tahun PTPN VII selalu mengabarkan perolehan laba yang meningkat drastis, yang menunjukkan BUMN itu sedang tumbuh pada jalur bisnis yang benar. Tapi, pertumbuhan itu melenceng jauh dari realitas social di lingkungannya.
PTPN VII makin kaya, tapi masyarakat makin miskin. Sampai di sini muncul pertanyaan apakah ada korelasi antara meningkatnyaa laba PTPN VII dengan pemiskinan warga di lingkungan areal budidaya karet BUMN itu? Jawabannya ada pada cara pengelola PTPN VII dalam memandang masyarakatnya. Dengan mengedepankan kasus Sumini, jelas sekali PTPN VII memandang warga (manusia) di sekitarnya sangat parsial dan reduksionis.
Warga (manusia) yang ada di lingkungannya, bagi PTPN VII tidak lebih dari material yang dapat diobservasi secara empiris. Manusia-manusia itu dipandang dan diperlakukan sebagai sosok satu dimensi. Dikonsepsi sama halnya dengan binatang yang berkapasitas otak lebih tinggi dari spesies binatang lainnya. Karenanya, sisi hakikat manusia, yang subtansial dan transendental, dimusnahkan. PTPN VII menganggap tidak ada urgensi antara hakikat manusia dengan eksistensi dan masa depan bisnis mereka di lingkungan masyarakat.
Pada tataran ini kentara sekali PTPN VII sangat kuat dipengaruh cara pandang kapitalis global. Mereka memosisikan warga yang tak ada sangkut pautnya dengan manajemen usaha BUMN itu sebagai entitas asing. Karena itu, seburuk apapun nasib warga di sekitarnya dalam kehidupan, bukanlah persoalan yang mesti dihiraukan PTPN VII. Sebaliknya, itu merupakan hal yang biasa dalam kehidupan yang selalu berada dalam situasi bertahan hidup jika bertarung (survival of the fittest).
Pandangan Marxisme, di dalam kapitalisme kaum pemegang modal mengeksploitasi kaum buruh. PTPN VII akan memilih mengorbankan buruh karena institusi bisnis yang memproduksi bahan baku ekspor itu memasuki iklim pasar bebas yang tak pernah aman bagi pengusaha. Persaingan bisnis yang super ketat dan senantiasa bisa dimasuki pengusaha lain, mengharuskan PTPN VII untuk mencari solusi yang paling meminimalkan kerugian. Tidak heran jika warga atau buruh dikorbankan. Karenanya, warga tidak merasa memiliki PTPN VII. Sangat wajar apabila warga mencari alasan untuk berkonflik dengan PTPN VII.
PTPN VII sesungguhnya milik negara yang labanya untuk kemakmuran warga bangsa. Namun, dalam pelaksanaan manajemennya, acap terdengar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tingkat internal. Penyimpangan yang mengedepan karena SDM PTPN VII berisi manusia yang telah terkontaminasi cara berpikir kaum kapitalis dalam memandang warga. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan hak warga seperti munculnya kasus klaim hak atas tanah oleh warga, selalu dipandang sebagai perilaku negative warga.
Padahal, PTPN VII bisa mengatasi konflik-konflik dengan warga apabila betul-betul menjalankan prinsip-prinsip dasar yang dianut kaum kapitalis global. PTPN VII harus menyadari bahwa hadirnya pasar bebas sesungguhnya dapat menjadi momentum untuk memberdayakan warga menjadi entitas yang produktif. Di era pasar bebas, mereka yang akan hidup dan bertahan adalah mereka yang mampu memproduksi berupa barang maupun jasa.
Ludwig von Mises dalam bukunya, Human Action, mengatakan dalam iklim kebebasan berekonomi, manusia dapat berkreasi dan memproduksi berbagai barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Di pasar bebas konsumenlah yang berdaulat. Posisi konsumen sedemikian rupa sehingga memberi sinyal kepada para pengusaha tentang apa-apa yang mereka inginkan, melalui keuntungan kepada para pebisnis yang mampu memuaskan keinginan, dan melalui kerugian bagi siapa saja yang gagal melakukannya. Sistem cambuk dan wortel alami pasar memandu keputusan dan proses produksi; memastikan bahwa barang dan jasa akan terus dihasilkan, sehingga meningkatkan upah dan standar hidup.
Di sinilah program CSR PTPN VII menemukan relevansinya. PTPN VII harus memberdayakan warga di sekitar menjadi produsen barang maupun jasa yang kuat. Dengan begitu, kemiskinan warga akan mudah teratasi. Tapi, jika warga di sekitar PTPN VII ternyata masih banyak yang papa seperti Sumini, bisa disimpulkan program CSR dari BUMN ini hanya isapan jempol. ***
TULISAN INI SEJATINYA SUDAH SAYA KIRIM KE MEDIA DI LAMPUNG, TAPI KARENA SATU DAN LAIN HAL TIDAK DIMUAT. HA..HA...
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda