Simbiosis Pers dengan Sastra
Membicarakan koran sebagai media sosialisasi karya sastra di Tanah Air, sama artinya berbicarakan tentang kontribusi yang diberikan sastrawan agar karya sastra menjadi lebih dekat dengan publik pembaca sekaligus meregenerasi kreator-kreator sastra yang andal.
Dampaknya kita lihat, karya sastra yang oleh Goenawan Mohammad pernah disebut sebagai “dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia”, kini sudah menjadi bagian dari keseharian seluruh masyarakat Indonesia.
Sosialisasi lewat media cetak berhasil mengubah persepsi masyarakat pembaca terhadap eksklusivitas karya sastra. Hari ini kita tidak pernah lagi mendengar pembaca memberi cap bahwa puisi itu sukar dipahami, cerpen sulit dimengerti, dan esai terlalu tinggi bahasanya. Kita lebih sering mendengar apresiasi pembaca atas cerpen yang dipublikasi sebuah media cetak, tidak jarang kritik yang dialamatkan kepada kreator sastra atas pilihan-pilihan teman dalam karya-karya sastranya (bisa lihat apresiasi atas cerpen Kompas di www.cerpenkompas.wordpress.com, misalnya).
Kesimpulan ini muncul dengan asumsi bahwa hanya institusi media cetak yang memiliki sumber daya manusia (SDM) dari kalangan sastrawan yang akan membuka rubrik-rubrik sastra sebagai medium sosialisasi dari hasil kreativitas para sastrawan. Tanpa adanya sosok sastrawan dalam manajemen SDM institusi media cetak, mustahil mengharapkan media cetak bersangkutan akan menyediakan satu halaman penuh untuk menyajikan berbagai karya sastra.
Asumsi ini tidak terbantahkan mengingat campur tangan para sastrawan sangat besar pada periode awal perkembangan jurnalisme di negeri kita. Sebagai satu-satunya entitas dari warga bangsa yang memiliki intelektualitas dan mampu menyampaikan pemikirannya lewat tulisan yang mudah dipahami publik, para sastrawan kemudian menjelma menjadi tenaga professional di bidang jurnalistik yang bekerja dilandasi nilai-nilai moral yang kokoh.
Sampai pada titik ini, jika ada yang bertanya apakah wartawan yang lebih dahulu muncul di negeri ini baru kemudian sastrawan, maka jawaban yang paling pas adalah sastrawan yang lebih dahulu muncul. Para sastrawan inilah yang kemudian memprakarsai berdirinya institusi-institusi pers di negeri ini.
Sejarah mencatat bahwa seorang Mukhtar Lubis, pendiri Harian Indonesia Raya, lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan , baru kemudian sebagai wartawan. Begitu juga dengan Rosihan Anwar, yang mengawali karier kepenulisannya dari menulis karya sastra. Banyak nama lagi yang pantas diajukan di sini, termasuk tokoh pers yang namanya diabadikan sebagai nama balai wartawan di Kota Medan, Parada Harahap, pada awalnya adalah penulis karya sastra.
*
Dengan pembukaan seperti di atas, saya ingin menyimpulkan kehadiran karya sastra sebagai bagian dari penerbitan pers membawa keuntungan tidak sedikit bagi perkembangan institusi pers bersangkutan. Media-media cetak yang awalnya menjadi media mainstream, lambat laun menjadi media yang kurang diminati public ketika rubric sastra tidak ditemukan di media cetak bersangkutan.
Kita ambil contoh Media Indonesia yang merupakan salah satu media mainstream ketika masih memiliki rubrik sastra yang muncul setiap hari Minggu. Tiap hari Minggu, masyarakat pembaca berlomba-lomba mencari Media Indonesia hanya ingin menikmati karya-karya sastra yang ditampilkan koran tersebut. Tidak jarang karya-karya itu kemudian menjadi fenomenal, sehingga rubric sastra itu mendapat pujian dari banyak kalangan sebagai rubric yang secara kualitastif banyak melahirkan karya sastra.
Manakala pengelola Media Indonesia membuang rubric sastra itu, secara perlahan-lahan oplag media ini turun drastic. Posisinya sebagai media mainstream digeser oleh media lain yang baru muncul, Harian Seputar Indonesia. Koran yang berada dalam Grup MNC ini dengan cepat menjadi media yang paling ditunggu public setiap hari Minggu karena menyajikan karya sastra yang menjadi bacaan utama.
Hilangnya rubric sastra dari Media Indonesia bisa dibilang akibat tidak hadirnya sastrawan dalam manajemen SDM institusi media berangkutan--sulit membantah bahwa SDM di Media Indonesia banyak yang berlatar belakang sastra, tetapi kesibukan dunia jurnalistik membuat mereka meninggalkan dunia kreatif bersastra. Akibatnya, tidak ada lagi entitas yang mau berjuang mempertahankan rubric sastra agar tetap diterbitkan.
Beda halnya dengan institusi media yang daftar manajemen SDM berisi para sastrawan. Eksistensi mereka bisa mempertahankan keberadaan rubric-rubrik sastra melalui sebuah perdebatan panjang dan subtansial dengan pemilik media.
Karena itu, selama masih ada sastrawan di dalam sebuah institusi media, maka koran akan selalu menjadi medium sosialisasi karya. Kita bisa melihat sejumlah media cetak di Nusantara yang masih mempertahankan rubric sastra. Di Jakarta, Kompas sengaja mengundang redaktur tamu seorang sastrawan, Hasif Amini, yang khusus mengelola sajak-sajak yang akan diterbitkan setiap hari Minggu. Redaktur untuk urusan cerpen juga dikelola oleh sastrawan, bahkan sebagian besar SDM di Kompas memiliki latar belakang sastra yang tidak bisa diabaikan eksistensinya.
Di daerah, rubric sastra Pikiran Rakyat (Bandung) muncul karena campur tangan sastrawan seperti Ahda Imran, rubric sastra di Suara Merdeka (Semarang) lahir karena Triyanto Tiwikromo, Riau Pos (Riau) karena keterlibatan Harri B. Koirun, Bali Pos (Oka Rusmini), Analisa (Idris Pasaribu), dan lain sebagainya.
*
Jika sebagian besar pengelola bisnis media cetak di Tanah Air hanya membuka rubrik sastra sekali dalam sepekan (selalu pada hari Minggu), berbeda halnya dengan Analisa. Di luar rubric “Rebana” yang selalu muncul setiap hari Minggu, karya sastra berupa sajak dan cerpen juga muncul di hari-hari lain. Beruntunglah masyarakat sastra di Sumatra Utara yang seleranya dimanjakan Analisa. Bersyukurlah para kreator sastra karena kemanjaan-kemanjaan ini.
Tingginya intensitas penerbitan karya sastra di harian yang sesungguhnya memilih segmen pembaca kalangan menengah ke atas ini, menunjukkan bahwa sastra bagi Analisa sudah menjelma menjadi semacam energi untuk membangkitkan selera masyarakat pembaca atas informasi-informasi yang disajikan. Artinya, sastra merupakan daya tarik yang memungkinkan produk Analisa menjadi buah-bibir public pembaca, sehingga Analisa dapat menjadi media mainstream.
Pilihan Analisa ini tentu bukan tanpa alasan. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah mengalahkan perkembangan media cetak, sehingga kadar aktualitas sebuah informasi tidak lagi dihitung berdasarkan harian tetapi berdasarkan menit. Berita-berita yang disajikan situs-situs pemberitaan (online), kadar aktualitasnya per menit. Tiap menit selalu ada informasi baru, sehingga aktualitas yang diandalkan koran harian menjadi tidak berguna.
Kalah dalam segi aktualitas memaksa pengelola media cetak harian untuk menyajikan informasi yang lebih cerdas dan sergas, yang memanjakan hasrat membaca public. Tentu, menyajikan berita-berita spot yang hanya bertumpu pada penyajian lead news, jelas tidak akan berdampak positif. Maka, pilihan paling logis adalah menyajikan informasi yang lebih leisure, yang hanya bisa dihasilkan dari teknik jurnalistik yang mengadopsi softness penyajian karya sastra.
Pers dan sastra memang dua dunia kreatif yang sesungguhnya saling menegasikan. Jika pers sangat mengandalkan fakta yang dikonfirmasi sesuai etika profesi, maka sastra lebih mengandalkan fiksi yang kuat dipengaruhi imajinasi dan daya fantasi. Tapi, dalam perkembangan saat ini, pers dan sastra telah berkolaborasi dan melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai jurnalisme sastrawi.
Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah teknik penulisan karya jurnalistik yang mengandung ragam unsur dalam dunia sastra. Jurnalisme sastrawi memungkinkan bagi public untuk menikmati fakta-fakta jurnalistik seperti menikmati sebuah karya sastra. Di dalam teknik jurnalistik ini yang diandalkan adalah rasa sastra. Misalnya, karya jurnalistik yang sampai ke tangan pembaca menjadi lebih mirip seperti cerpen dengan kehadiran “aku sebagai tokoh” dan peristiwa yang dirajut sedemikian rupa hingga melahirkan kejutan (suspense) yang selalu bisa ditemukan dalam penulisan cerpen misalnya.
Teknik jurnalisme sastrawi ini lahir dari realitas yang menunjukkan tingginya minat pembaca atas karya-karya sastra yang disiarkan di media cetak, sehingga melahirkan pembaca-pembaca fanatic yang selalu menunggu kehadiran karya sastra setiap hari Minggu. Fanatisme pembaca karya sastra adalah potensi bagi pengelola institusi pers untuk selalu memanjakan pembacanya dengan menyajikan informasi yang dikemas secara sastrawi selain juga karya sastra itu sendiri.
Publik pembaca saat ini bukanlah public yang rela dicekoki dengan informasi-informasi berbentuk straigt news atau hard news yang langsung dipahami hanya dengan membaca lead news. Publik pembaca adalah masyarakat cerdas dan cergas, yang ingin juga diajak berpikir serta terlibat persoalan yang dipersoalkan oleh berita (informasi). Masyarakat semacam itu berkeyakinan bahwa mereka tidak dapat menjadi berpengetahuan hanya dengan membaca, tetapi mereka akan berpengetahuan jika ikut terlibat di dalamnya. Meminjam Socrates, masyarakat pembaca menyakini bahwa mereka hanya akan menjadi berpengatahuan bila terlibat, berdebat, dan berdiskusi dengan masyarakat lainnya.
Sastra dalam dunia penerbitan Koran mengajak masyarakat pembaca berpikir dan terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat yang disajikan para satrawan. Keterlibatan masyarakat terjadi karena kemampuan mereka mengapresiasi karya sastra sudah sangat bagus dan sangat paham bahwa karya sastra bukan sekadar bacaan hiburan mengisi waktu senggang di akhir pekan.
Akhir kata, selamat ulang tahun ke-39 buat Harian Analisa. Kontribusi koran ini terhadap perkembangan karya sastra di Sumatra Utara sangat besar secara kuantitatif. Tapi, jika bicara soal kualitatif, tidak semua karya sastra yang dipublikasikan Analisa memiliki kualitas memadai. Semoga ke depan Analisa juga menjadi mainstream koran sastra yang membuat karya sastra Sumatra Utara lebih pantas dibicarakan secara kualitatif.
Tulisan ini dipublikasikan di Analisa edisi 27 Maret 2011 sebagai ucapan Selamat atas HUT ke-39 HU Analisa (Medan).Baca di sini http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=90429%3Asebuah-kado-hut-ke-39-untuk-analisa-simbiosis-pers-dengan-sastra&catid=127%3Aartikel&Itemid=122
Sosialisasi lewat media cetak berhasil mengubah persepsi masyarakat pembaca terhadap eksklusivitas karya sastra. Hari ini kita tidak pernah lagi mendengar pembaca memberi cap bahwa puisi itu sukar dipahami, cerpen sulit dimengerti, dan esai terlalu tinggi bahasanya. Kita lebih sering mendengar apresiasi pembaca atas cerpen yang dipublikasi sebuah media cetak, tidak jarang kritik yang dialamatkan kepada kreator sastra atas pilihan-pilihan teman dalam karya-karya sastranya (bisa lihat apresiasi atas cerpen Kompas di www.cerpenkompas.wordpress.com, misalnya).
Kesimpulan ini muncul dengan asumsi bahwa hanya institusi media cetak yang memiliki sumber daya manusia (SDM) dari kalangan sastrawan yang akan membuka rubrik-rubrik sastra sebagai medium sosialisasi dari hasil kreativitas para sastrawan. Tanpa adanya sosok sastrawan dalam manajemen SDM institusi media cetak, mustahil mengharapkan media cetak bersangkutan akan menyediakan satu halaman penuh untuk menyajikan berbagai karya sastra.
Asumsi ini tidak terbantahkan mengingat campur tangan para sastrawan sangat besar pada periode awal perkembangan jurnalisme di negeri kita. Sebagai satu-satunya entitas dari warga bangsa yang memiliki intelektualitas dan mampu menyampaikan pemikirannya lewat tulisan yang mudah dipahami publik, para sastrawan kemudian menjelma menjadi tenaga professional di bidang jurnalistik yang bekerja dilandasi nilai-nilai moral yang kokoh.
Sampai pada titik ini, jika ada yang bertanya apakah wartawan yang lebih dahulu muncul di negeri ini baru kemudian sastrawan, maka jawaban yang paling pas adalah sastrawan yang lebih dahulu muncul. Para sastrawan inilah yang kemudian memprakarsai berdirinya institusi-institusi pers di negeri ini.
Sejarah mencatat bahwa seorang Mukhtar Lubis, pendiri Harian Indonesia Raya, lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan , baru kemudian sebagai wartawan. Begitu juga dengan Rosihan Anwar, yang mengawali karier kepenulisannya dari menulis karya sastra. Banyak nama lagi yang pantas diajukan di sini, termasuk tokoh pers yang namanya diabadikan sebagai nama balai wartawan di Kota Medan, Parada Harahap, pada awalnya adalah penulis karya sastra.
*
Dengan pembukaan seperti di atas, saya ingin menyimpulkan kehadiran karya sastra sebagai bagian dari penerbitan pers membawa keuntungan tidak sedikit bagi perkembangan institusi pers bersangkutan. Media-media cetak yang awalnya menjadi media mainstream, lambat laun menjadi media yang kurang diminati public ketika rubric sastra tidak ditemukan di media cetak bersangkutan.
Kita ambil contoh Media Indonesia yang merupakan salah satu media mainstream ketika masih memiliki rubrik sastra yang muncul setiap hari Minggu. Tiap hari Minggu, masyarakat pembaca berlomba-lomba mencari Media Indonesia hanya ingin menikmati karya-karya sastra yang ditampilkan koran tersebut. Tidak jarang karya-karya itu kemudian menjadi fenomenal, sehingga rubric sastra itu mendapat pujian dari banyak kalangan sebagai rubric yang secara kualitastif banyak melahirkan karya sastra.
Manakala pengelola Media Indonesia membuang rubric sastra itu, secara perlahan-lahan oplag media ini turun drastic. Posisinya sebagai media mainstream digeser oleh media lain yang baru muncul, Harian Seputar Indonesia. Koran yang berada dalam Grup MNC ini dengan cepat menjadi media yang paling ditunggu public setiap hari Minggu karena menyajikan karya sastra yang menjadi bacaan utama.
Hilangnya rubric sastra dari Media Indonesia bisa dibilang akibat tidak hadirnya sastrawan dalam manajemen SDM institusi media berangkutan--sulit membantah bahwa SDM di Media Indonesia banyak yang berlatar belakang sastra, tetapi kesibukan dunia jurnalistik membuat mereka meninggalkan dunia kreatif bersastra. Akibatnya, tidak ada lagi entitas yang mau berjuang mempertahankan rubric sastra agar tetap diterbitkan.
Beda halnya dengan institusi media yang daftar manajemen SDM berisi para sastrawan. Eksistensi mereka bisa mempertahankan keberadaan rubric-rubrik sastra melalui sebuah perdebatan panjang dan subtansial dengan pemilik media.
Karena itu, selama masih ada sastrawan di dalam sebuah institusi media, maka koran akan selalu menjadi medium sosialisasi karya. Kita bisa melihat sejumlah media cetak di Nusantara yang masih mempertahankan rubric sastra. Di Jakarta, Kompas sengaja mengundang redaktur tamu seorang sastrawan, Hasif Amini, yang khusus mengelola sajak-sajak yang akan diterbitkan setiap hari Minggu. Redaktur untuk urusan cerpen juga dikelola oleh sastrawan, bahkan sebagian besar SDM di Kompas memiliki latar belakang sastra yang tidak bisa diabaikan eksistensinya.
Di daerah, rubric sastra Pikiran Rakyat (Bandung) muncul karena campur tangan sastrawan seperti Ahda Imran, rubric sastra di Suara Merdeka (Semarang) lahir karena Triyanto Tiwikromo, Riau Pos (Riau) karena keterlibatan Harri B. Koirun, Bali Pos (Oka Rusmini), Analisa (Idris Pasaribu), dan lain sebagainya.
*
Jika sebagian besar pengelola bisnis media cetak di Tanah Air hanya membuka rubrik sastra sekali dalam sepekan (selalu pada hari Minggu), berbeda halnya dengan Analisa. Di luar rubric “Rebana” yang selalu muncul setiap hari Minggu, karya sastra berupa sajak dan cerpen juga muncul di hari-hari lain. Beruntunglah masyarakat sastra di Sumatra Utara yang seleranya dimanjakan Analisa. Bersyukurlah para kreator sastra karena kemanjaan-kemanjaan ini.
Tingginya intensitas penerbitan karya sastra di harian yang sesungguhnya memilih segmen pembaca kalangan menengah ke atas ini, menunjukkan bahwa sastra bagi Analisa sudah menjelma menjadi semacam energi untuk membangkitkan selera masyarakat pembaca atas informasi-informasi yang disajikan. Artinya, sastra merupakan daya tarik yang memungkinkan produk Analisa menjadi buah-bibir public pembaca, sehingga Analisa dapat menjadi media mainstream.
Pilihan Analisa ini tentu bukan tanpa alasan. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah mengalahkan perkembangan media cetak, sehingga kadar aktualitas sebuah informasi tidak lagi dihitung berdasarkan harian tetapi berdasarkan menit. Berita-berita yang disajikan situs-situs pemberitaan (online), kadar aktualitasnya per menit. Tiap menit selalu ada informasi baru, sehingga aktualitas yang diandalkan koran harian menjadi tidak berguna.
Kalah dalam segi aktualitas memaksa pengelola media cetak harian untuk menyajikan informasi yang lebih cerdas dan sergas, yang memanjakan hasrat membaca public. Tentu, menyajikan berita-berita spot yang hanya bertumpu pada penyajian lead news, jelas tidak akan berdampak positif. Maka, pilihan paling logis adalah menyajikan informasi yang lebih leisure, yang hanya bisa dihasilkan dari teknik jurnalistik yang mengadopsi softness penyajian karya sastra.
Pers dan sastra memang dua dunia kreatif yang sesungguhnya saling menegasikan. Jika pers sangat mengandalkan fakta yang dikonfirmasi sesuai etika profesi, maka sastra lebih mengandalkan fiksi yang kuat dipengaruhi imajinasi dan daya fantasi. Tapi, dalam perkembangan saat ini, pers dan sastra telah berkolaborasi dan melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai jurnalisme sastrawi.
Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah teknik penulisan karya jurnalistik yang mengandung ragam unsur dalam dunia sastra. Jurnalisme sastrawi memungkinkan bagi public untuk menikmati fakta-fakta jurnalistik seperti menikmati sebuah karya sastra. Di dalam teknik jurnalistik ini yang diandalkan adalah rasa sastra. Misalnya, karya jurnalistik yang sampai ke tangan pembaca menjadi lebih mirip seperti cerpen dengan kehadiran “aku sebagai tokoh” dan peristiwa yang dirajut sedemikian rupa hingga melahirkan kejutan (suspense) yang selalu bisa ditemukan dalam penulisan cerpen misalnya.
Teknik jurnalisme sastrawi ini lahir dari realitas yang menunjukkan tingginya minat pembaca atas karya-karya sastra yang disiarkan di media cetak, sehingga melahirkan pembaca-pembaca fanatic yang selalu menunggu kehadiran karya sastra setiap hari Minggu. Fanatisme pembaca karya sastra adalah potensi bagi pengelola institusi pers untuk selalu memanjakan pembacanya dengan menyajikan informasi yang dikemas secara sastrawi selain juga karya sastra itu sendiri.
Publik pembaca saat ini bukanlah public yang rela dicekoki dengan informasi-informasi berbentuk straigt news atau hard news yang langsung dipahami hanya dengan membaca lead news. Publik pembaca adalah masyarakat cerdas dan cergas, yang ingin juga diajak berpikir serta terlibat persoalan yang dipersoalkan oleh berita (informasi). Masyarakat semacam itu berkeyakinan bahwa mereka tidak dapat menjadi berpengetahuan hanya dengan membaca, tetapi mereka akan berpengetahuan jika ikut terlibat di dalamnya. Meminjam Socrates, masyarakat pembaca menyakini bahwa mereka hanya akan menjadi berpengatahuan bila terlibat, berdebat, dan berdiskusi dengan masyarakat lainnya.
Sastra dalam dunia penerbitan Koran mengajak masyarakat pembaca berpikir dan terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat yang disajikan para satrawan. Keterlibatan masyarakat terjadi karena kemampuan mereka mengapresiasi karya sastra sudah sangat bagus dan sangat paham bahwa karya sastra bukan sekadar bacaan hiburan mengisi waktu senggang di akhir pekan.
Akhir kata, selamat ulang tahun ke-39 buat Harian Analisa. Kontribusi koran ini terhadap perkembangan karya sastra di Sumatra Utara sangat besar secara kuantitatif. Tapi, jika bicara soal kualitatif, tidak semua karya sastra yang dipublikasikan Analisa memiliki kualitas memadai. Semoga ke depan Analisa juga menjadi mainstream koran sastra yang membuat karya sastra Sumatra Utara lebih pantas dibicarakan secara kualitatif.
Tulisan ini dipublikasikan di Analisa edisi 27 Maret 2011 sebagai ucapan Selamat atas HUT ke-39 HU Analisa (Medan).Baca di sini http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=90429%3Asebuah-kado-hut-ke-39-untuk-analisa-simbiosis-pers-dengan-sastra&catid=127%3Aartikel&Itemid=122
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda