Daya Rusak Partai Politik
Rancangan Undang-Undang Politik baru saja disahkan. Undang-undang baru ini mengamanatkan agar partai-partai politik menjalani verifikasi kembali, yang salah satunya untuk mengukur apakah kepengurusan sebuah partai itu betul-betul ada di lingkungan masyarakat konstituen atau hanya papan nama. Jika ternyata kepengurusan tidak lengkap di semua daerah, maka partai politik bersangkutan tidak akan lolos sebagai peserta Pemilu 2014 mendatang.
Pernah dipublikasi di Radar Lampung tahun 2010
Regulator semacam ini cuma mempersoalkan masalah kuantitatif kepengurusan partai politik di tingkat daerah, terutama di wilayah yang membuat partai politik bersentuhan langsung dengan publik konstituen. Orientasi dari regulasi ini pada tingkat elite partai hanya untuk memenuhi persyaratan agar bisa menjadi peserta Pemilu 2014. Namun, hal paling subtansial terkait kualitatif partai politik sebagai institusi politik yang sangat menentukan kehidupan demokrasi di daerah, justru terabaikan.
UU Politik yang baru membuat para elite partai politik sibuk mengurusi masalah membentuk kepengurusan partai politik sampai di tingkat ranting, tetapi mengabaikan apakah kepengurusan di tingkat kecamatan itu akan mampu menjadi motor penggerak publik konstituen dalam menciptakan kehidupan demokrasi sebagaimana seharusnya. Konon lagi mengupayakan agar kepengurusan di tingkat ranting itu memiliki eksistensi sebagai partai politik yang harus memikirkan masa depan masyarakat konstituennya.
Pengurus Papan Nama
Kenyataan yang kita temukan selama ini, kepengurusan partai politik di tingkat ranting hanya “papan nama”. Kontribusi partai politik terhadap ragam dinamika kehidupan masyarakat di wilayah ranting itu bisa dibilang tidak ada. Inisiatif tidak pernah muncul dari kalangan pengurus partai untuk ikut memikirkan problem-problem social yang dihadapi masyarakat di lingkungannya. Masyarakat pun tidak paham mekanisme apa yang memungkinkan mereka untuk menarik dan melibatkan elite-elite partai politik ke dalam urusan-urusan yang terjadi di desa.
Masyarakat hanya tahu, ketika sebuah partai melakukan reorganisasi kepengurusan sampai di tingkat ranting, maka situasi sosial politik di daerah itu akan berubah drastis. Pergantian pengurus cenderung berdampak terhadap semakin buruknya konsolidasi antarelite partai politik. Sebab, penunjukkan pengurus sampai di tingkat ranting sering tidak mencerminkan kehidupan demokrasi yang sesungguhnya, tetapi banyak didorong oleh kepentingan-kepentingan politik guna mengamankan posisi pemimpin partai politik di tingkat lebih tinggi.
Kehidupan demokrasi dalam dunia partai politik kita sangat buruk. Segala kebijakan yang diambil lebih banyak didorong oleh kepentingan untuk mengamankan posisi elite di tingkat lebih tinggi. Alhasil, tingkat ketergantungan pengurus partai politik di tingkat kecamatan terhadap pengurus di tingkat kabupaten/kota atau provinsi sangat tinggi. Ketergantungan yang justru ”membunuh” inisiatif, konon lagi berharap pada kreativitas pengurus di tingkat ranting untuk mendongkrak popularitas ataupun menjaga eksistensi partai politik bersangkutan di mata masyarakat konstituen.
Kondisinya makin parah ketika pengurus partai politik di tingkat kecamatan sangat tergantung dengan kucuran dana dari pengurus di tingkat lebih tinggi. Tidak adanya sumber pembiayaan kegiatan pengurus partai politik menyebabkan pengurus di tingkat ranting hanya sekedar ”papan nama” yang tak bisa diharapkan masyarakat. Padahal, pengurus di tingkat ranting inilah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Semestinya, pengurus ini menjadi ujung tombak dari partai politik dalam mengambil hati publik melalui ragam kegiatan yang disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat konstituen bersangkutan.
SDM Buruk
Pengurus di tingkat ranting merupakan boneka di tangan pengurus partai politik di tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurus di tingkat kabupaten/kota merupakan boneka di tangan pengurus di tingkat provinsi. Orientasi membentuk kepengurusan adalah mengamankan posisi politik seorang pemimpin partai, sehingga merusak tingkat kohesivitas anggota partai politik di daerah yang pada akhirnya memperburuk konsolidasi partai.
Kondisi ini terjadi karena partai politik di tingkat ranting terkendala pada masalah minimnya sumber daya manusia. Kurangnya SDM di tingkat ranting menyebabkan pembentukan struktur kepengurusan akhirnya didasarkan pada “siapa saja yang mau”, atau tak jarang asal tunjuk agar struktur kepengurusan terpenuhi. Alhasil, begitu dilantik menjadi pengurus di tingkat ranting, elite partai itu justru tidak memiliki kemampuan politik untuk merangkul publik konstituen. Partai politik bersangkutan tetap tidak bisa memainkan peran penting sebagai partai politik, yang pada akhirnya tidak memberi kontribusi apapun terhadap peningkatan derajat hidup masyarakat.
Dalam situasi seperti itu, kebijakan-kebijakan partai politik tak akan terakomodasi sampai ke wilayah ranting. Situasi ini berpengaruh pula terhadap kepengurusan partai politik di tingkat cabang di kabupaten/kota, karena ketidakaktifan pengurus ranting menyebabkan pengurus cabang tidak bisa tumbuh sebagai sebuah organisasi politik moderen. Pengurus di tingkat cabang hanya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara, yang sering kurang bagus komunikasi politiknya sehingga tidak terkonsolidasi. Konon lagi mengharapkan pengurus memobilisasi kader-kadernya untuk memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat.
Kondisi ini semakin parah ketika anggota-anggota legislatif dari pengurus cabang ternyata kehilangan kemampuan untuk mengakomodasi kepentingan publik. Menjadi anggota legislatif justru lebih penting bagi elite partai politik ini daripada memikirkan meningkatkan kontribusi partai politik dalam membangun kehidupan sosial masyarakat. Orientasi para anggota legislatif sangat individual sebagaimana halnya kebanyak anggota legislatif di negeri ini, yang hanya berpikir untuk kepentingan sesaat dan menjaga eksistensi pribadinya dengan cara apa saja.
Daya Rusak Parpol
UU Partai Politik yang baru tidak akan bisa diharapkan untuk menata kehidupan politik ke depan. Reformasi partai politik tidak akan bisa berjalan. Perilaku elite parpol sudah terlanjur membahayakan perkembangan demokrasi serta eksistensi dan peradaban bangsa. Mereka hanya pemburu kekuasaan. Melalui prosedur politik, mereka mengatasnamakan rakyat dan tanpa segan-segan menggunakan kekuasaan untuk membangun oligarki dan dinasti politik. Partai politik memiliki daya rusak yang tinggi. Legitimasi politik prosedural disalahgunakan untuk kepentingan transaksional. *
0 #type=(blogger)