Transparan

by - February 09, 2011


Ketika seorang kawan yang bekerja sebagai wartawan sebuah media cetak mendaftarkan diri sebagai anggota Komisi Keterbukaan Informasi Publik (KKIP) di Lampung, saya tanya motivasinya untuk meninggalkan dunia jurnalistik dan memilih menjadi bagian dari KKIP? Layaknya seseorang yang punya keinginan besar untuk menjadi anggota komisi—di Indonesia terlalu banyak komisi dan lembaga seperti ini nyaris belum memberi kontribusi terhadap penyelesaian persoalan yang diusungnya—kawan itu memberi penjelasan yang intinya mengutif hampir semua pasal dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


Pengetahuannya memang lumayan tentang UU baru itu, meskipun tahu saja belum menjamin kawan itu akan mampu berkontribusi terhadap transparansi informasi di provinsi ini. Apalagi prinsip-prinsip transparansi informasi yang dikembangkan dalam UU tentang KIP itu bisa dibilang jauh dari konteks pemaknaan informasi yang tumbuh dan berkembang selama ini di Indonesia. Saya bisa memastikan, pada akhirnya, kawan saya itu hanya akan menjadi “alat pemegang kekuasaan” untuk memilah informasi yang layak diketahui publik dengan kadar subyektivitas yang diarahkan guna melindungi kekuasaan.

Transparansi gaya asing

Prinsip-prinsip keterbukaan informasi dalam UU No. 14 Tahun 2008 mengadopsi prinsip Freedom of Information Act (FOIA) yang bergaya Amerika Serikat (AS). Littlejohn (1996) mengatakan pengembangan komunikasi di dunia cenderung berkiblat ke AS yang memiliki ciri utama pragmatisme.

Keterbukaan informasi itu bukan yang mengakar dari nilai-nilai kapital sosial yang tumbuh dalam kebudayaan Indonesia. Pasal demi pasalnya diarahkan untuk mendukung sukses penerapan prinsip-prinsip demokrasi dengan harapan publik tercerdaskan sehingga memiliki kemampuan memanfaatkan informasi untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Sementara kita paham secara umum, sebagian besar informasi yang dibuka untuk publik adalah informasi yang sudah terdistorsi. Informasi yang lebih penting, seperti yang disajikan situs Wikileak, disimpan rapat-rapat dalam kotak ajaib bernama “rahasia negara”. Sebab itu, terhadap pemberlakuan UU No. 14 Tahun 2008 tidak berlebihan bila dicurigai bahwa orientasi pembuatannya sebatas agar bangsa ini dinilai bangsa lain sebagai bangsa yang demokratis dan transparan.

Dengan berlakunya UU ini, Indonesia menjadi negara ke-5 di Asia dan ke-76 di dunia yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip transparansi informasi. Saat itu, baru sembilan puluh negara di dunia yang memiliki UU serupa. Di Asia, yaitu India, Jepang, Nepal, Thailand, Indonesia, diikuti Bangladesh.

Dengan anggapan bahwa Indonesia merupakan negara yang transparan, maka makin lengkap kedudukan negara ini di mata dunia luar sebagai sebuah negara yang betul-betul menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Kita pun tahu, hanya negara demokrasi yang akan mendapat perhatian serius dari negara-negara maju di dunia internasional. Sebuah negara yang sedang berkembang, yang dalam perkembangannya mengadopsi semua hal yang dipuja-puji oleh negara maju, akan mendapat dukungan secara moral maupun material. Artinya, ketika mengadopsi transparansi informasi dari luar, bangsa ini sesungguhnya hendak mengharapkan dukungan negara-negara demokrasi. Kita adalah bangsa yang kurang percaya diri untuk mandiri dan menggantungkan diri terhadap manuver-manuver politik luar negeri yang didisain kapitalis-kapitalis global.

Padahal, sebagai sebuah negara plural yang sejak negara ini terbentuk sudah memiliki tradisi pemaknaan informasi dalam konteks sarat simbolisme, nonverbal, verbal, dan abstrak. Konsep keterbukaan informasi sudah memiliki akar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, meskipun dibungkus dalam ragam simbol budaza yang hanya dipahami oleh masyarakat penganut budaza bersangkutan.

Transparansi yang terdistorsi

UU KIP ini mengatur kewajiban badan atau pejabat publik untuk memberikan akses informasi yang terbuka kepada publik (masyarakat) atau hak untuk memberitahu (right to tell) tentang informasi, dokumen, dan data diintegrasikan sebagai bagian dari fungsi birokrasi pemerintahan, diperkuat dengan sanksi-sanksi yang tegas untuk pelanggarannya. Sedang masyarakat sebagai pengguna informasi memiliki hak untuk tahu (right to know) atas informasi dari sumber-sumber primer.

Keterbukaan informasi bagi badan publik bertujuan agar tercipta tata pemerintahan yang baik dan benar; meningkatkan fungsi, kualitas, dan kinerja badan publik; mencegah terjadinya praktik-praktik korupsi. Bagi masyarakat, keterbukaan informasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, serta meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan dua jenis hak yang dipelihara dalam UU tersebut, mau tidak mau antara pejabat publik dengan publik mesti saling memahami hak masing-masing. Namun, sulit membayangkan hal ini akan berjalan lancar karena hakikat informasi senantiasa syarat akan kepentingan dan kekuasaan, sehingga sangat mungkin hubungan keduanya menjadi rentan. Artinya, membagi informasi sama saja halnya dengan membagi-bagi kekuasaan. Dalam konsep politik informasi senantiasa disebutkan, bahwa mereka yang menguasai informasi adalah mereka yang bisa menguasai dunia.

Karena itu, bisa dipastikan informasi yang dibuka untuk public adalah informasi yang sudah didistorsi. Informasi yang kira-kira tidak membahayakan eksistensi pemegang kekuasaan pemerintahan. Upaya mendistorsi informasi ini mendapat pembenaran dengan adanya UU tentang Kerahasiaan Negara, dimana informasi yang akan dibuka sudad lebih dahulu dipilah-pilah. Sebagai contoh, ketika publik ingin mengetahui informasi tentang pengelolaan dana APBD, mereka akan kesulitan mengakses hasil audit yang dilakukan BPK atau BPKP. Padahal, hasil audit itu sendiri akan membuktikan apakah pejabat publik telah memikirkan rakyat atau hanya memikirkan diri sendiri.

Pribadi yang transparan

Saya kasihan kepada kawan wartawan yang menjadi anggota KKIP Daerah Lampung. Jika motivasinyanya agar pejabat publik menyadari right to tell dan publik memiliki right to know, akan lebih memungkin hal itu dilakukan ketika ia menjadi pekerja jurnalistik. Karena transparansi merupakan konsep yang lebih kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai personal dalam kedirian seorang wartawan. Sidney M. Jourard (1971) menyebut transparan merupakan cerminan konsep diri yang positif. Jika seseorang (termasuk keberadaan pada kelompok, organisasi, dan negara) yang memiliki karakteristik transparent, dia cenderung akan mempersepsi (memaknai realitas) lebih cermat. Dalam beberapa riset yang dikutip Jourard disebutkan, orang yang transparan selain memiliki tingkat kecermatan yang tinggi, dia cenderung lebih mandiri dan memiliki daya tahan hidup lebih lama. ****

You May Also Like

0 #type=(blogger)