Politik dalam Penegakan Hukum Kita
Dalam sambutannya pada pembukaan rapat kordinasi dan konsultasi penegak hukum di Istana Negara, Jakarta, Selasa (4/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan politisi agar jangan masuk ke ranah hukum. Begitu pula sebaliknya, aparat hukum agar jangan masuk ke wilayah politik.
Oleh Budi P. Hatees
TERBIT DI RADAR LAMPUNG | EDISI RABU, 02 JUNI 2010
Kita tahu pernyataan itu muncul dari situasi ketika hukum di negeri ini sangat mandul. Pedang keadilan hukum tak mampu mengiris sehelai pun rambut para tersangka korupsi, apalagi jika tersangka itu memiliki jaringan yang kuat di lingkungan partai politik. Belum apa-apa, elite partai politik langsung bereaksi keras meneriakkan pembelaan. Tidak cukup hanya itu, ancam-mengancam pun mewarnai wacana hukum.
***
Kita sering mendengar, jika kasus korupsi seorang elite partai politik dibongkar, maka elite partai tersebut akan membongkar kasus yang dapat melibatkan pihak yang berencana membongkar. Masih lekat dalam ingatan ketika Centurygate pertama kali terendus, yang menyebut-nyebut dana korupsi itu untuk membiayai kampanye Pelimu 2009 Partai Demokrat.
Karena ingin membuktikan dugaan keterlibatan Partai Demokrat dan melihat ada peluang untuk menggoyahkan pemenang Pemilu 2009 itu, elite sejumlah partai bereaksi keras. Tak Cuma pada tingkat wacana public, elite-elite partai di DPR RI pun menyepakati menggelar sidang khusus untuk mengungkap perkara itu.
Usaha elite-elite partai politik di DPR RI ini mendapat reaksi keras dari Partai Demokrat. Publik pun menandai periode itu sebagai periode buruk dimana elite-elite partai politik melakukan tawar-menawar perkara. Sejumlah nama elite partai politik yang duduk di DPR RI dan berniat mengungkap keterlibatan Partai Demokrat dalam Centerygate, mendadak muncul sebagai tersangka kasus korupsi. Tapi, secara tiba-tiba pula, persoalan korupsi yang sempat menjadi wacana public tenggelam tanpa kejelasan.
Hukum tidak punya supremasi di hadapan kepentingan politik. Para politisi punya andil besar untuk meruntuhkan supremasi hukum. Apalagi politisi yang duduk di legislatif, yang punya peluang untuk membengkokkan yang lurus atau meluruskan yang bengkok. Tapi, hal semacam ini bukan cuma domain elite partai politik. Hampir semua elite di negara ini melakukan hal yang sama, membuat pedang hukum kehilangan ketajamannya.
Sebab itu, terhadap peringatan Presiden SBY kita bisa mengembalikan bahwa ini semacam otokritik bagi SBY sendiri. Wajar jika kemudian muncul pertanyaan: apakah Presiden SBY yang identik dengan Partai Demokrat sudah memulai untuk tidak masuk berpolitik di ranah hokum? Lantas, bagaimana penilaian SBY terhadap Anggodo Widjojo yang mencatut nama Presiden SBY agar terbebas dari segala tuntutan pelanggaran hukum dan kini makin “super” setelah berhasil menggiring kembali Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah--dua Wakil Ketua KPK--ke pengadilan.
***
Peringatan Presiden SBY sebetulnya kunci utama dari karut-marut penegakan hukum di negeri ini. Karut-marut yang makin memuakkan ketika tidak ada satu elite pun yang bisa menjadi teladan baik dalam penegakan hukum. Bahkan Budiono dan Sri Mulyani, bagian dari Kabinet Presiden SBY, tampil sebagai teladan buruk ketika diperiksa di luar kantor KPK. Padahal secara politik, kedua elite pemerintah itu sudah ditetapkan DPR RI sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas korupsi dana Bank Century.
Tapi, peringatan Presiden SBY ini sekaligus menegaskan karakter dan watak paling umum dari sebagian besar elite politik di negeri ini. Mereka gemar betul membicarakan dan menyoroti kesalahan orang lain. Tapi selalu ngotot mencari legitimasi atas perbuatan dan kesalahan yang dilakukannya. Elite yang selalu senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
Di tangan elite seperti itu, negeri ini tidak akan pernah bisa dewasa dalam menyelesaikan perkara hokum. Keadilan sulit ditegakkan kepada para tersangka korupsi karena selalu melibatkan elite-elite tertentu. Ini sangat mungkin karena hanya para elite yang mempunyai akses besar terhadap sumber-sumber keuangan negara.
Korupsi selalu berkaitan dengan keuangan negara yang dipergunakan dengan cara tidak semestinya. Sebab itu, pelaku korupsi sangat pasti adalah elite yang punya akses besar terhadap sumber-sumber keuangan negara, baik di pusat maupun di daerah.
***
Pada tataran ini, peran elite partai politik pun tidak sedikit. Dengan kekuasaan yang dimiliki, yang sanggup walk-out ketika rapat membicaraan tentang keuangan negara sedang digelar, legislatif pun punya kuasa legislasi untuk mengerukAPBD guna merehabilitas gedung DPR RI yang masih layak.
Konon lagi jika kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kepala daerah. Tidak ada elite yang tidak bisa campur tangan, dan tak ada yang bisa melarang elite partai politik untuk bersikap kekanak-anakan. Saat Komisi III DPR RI menggelar dengar pendapat dengan KPK akhir April 2010 lalu, para elite partai sibuk membela tersangka korupsi di daerah, yakni para Gubernur. Di mata legislatif, penjarah uang rakyat di daerah itu merupakan sosok yang pantas dibela, meskipun seharusnya wakil rakyat membela kepentingan konstituennya.
Pembelaan yang luar biasa ini mengundang kecurigaan public. Siapa tahu para kepala daerah sengaja mengkorupsi uang rakyat untuk memenuhi tuntutan partai politik. Sudah umum diketahui bahwa partai politik, melalui elite mereka yang menjadi kepala daerah, memberikan kewajiban-kewajiban berupa sumbangan kepada partai yang sangat membebani elite bersangkutan.
Sumbangan yang diberikan acap tidak cukup dalam bentuk dana segar, tetapi juga dalam bentuk proyek-proyek pembangunan fisik. Masih kental dalam ingatan public ketika kasus korupsi dana pengadaan mobil pemadan kebakaran merebak di daerah, dimana para tersangka merupakan kepala daerah yang juga elite partai politik tertentu. Tentu, public tidak akan melupakan kasus pengadaan kapal yang melibatkan elite partai politik tertentu. Semua ini membuktikan bahwa politik dan hukum tidak bisa dipisahkan dan dibicarakan secara terpisah di negeri ini. Setiap orang akan membicara hukum dalam semangat berpolitik dan setiap orang akan berpolitik dengan memanfaatkan hokum yang berlaku.
Yang terpenting adalah penegakan hukum terhadap pelaku tindak kriminalitas korupsi dibuat terang sehingga siapa pun bisa mengikuti dan mengawasinya. Jangan seperti saat ini, proses hukum sebuah kasus hanya diketahui segelintir orang di balik ruang tertutup. Publik dianggap tidak patut mengetahui dengan dalih memasuki materi hukum. Padahal ekpektasi public terhadap kemampuan penegak hukum sedang luntur.
0 #type=(blogger)