Jurnalisme Munafik, Aliran Baru Jurnalistik (1)
MARET 2008, pada suatu hari yang cerah. Ketika saya masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi Lampung Post, mereka ada di sana: Djadajat Sudrajat, M. Natsir, Iskandar Zulkarnain, dan Sabam Sinaga. Keempat orang inilah yang akan saya ceritakan sebagai penemu aliran baru dalam dunia jurnalistik, “jurnalisme munafik”.
Tak ada lagi nama yang cocok, saya sudah berusaha mencarinya.
Keempatnya tidak tersenyum. Dingin, kaku, dan seolah-olah tak akan terjadi apa pun. Inilah simbol-simbol fisik yang sering ditemukan dalam diri para munafik, orang-orang yang dengan segera mencari alasan-alasan rasional agar dirinya tidak menjadi martir di mata orang lain. Orang-orang yang seperti itu dilukiskan dengan sangat bagus oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya, “Munafik Ismail”.
“Silahkah, Bud?” Djadjat Sudrajat, wartawan yang pernah sangat disanjung konglomerat Surya Paloh, orang yang menyembunyikan sepak-terjangnya di balik kumis tebal dan rambut dipotong blow, memberi isyarat. Sebuah senyumnya merekah, tetapi begitu hambar.
Hanya ada satu kursi kosong, berada di hadapan mereka. Kursi itu sengaja ditaruh di sana, mirip posisi kursi para terdakwa. "Duduki saya, kau akan jadi tersangka, seolah begitu kursi itu bicara." Saya teringat salah satu adegan dalam cerpen Budi Darma, “Kritikus Adinan”. Meskipun kepala saya tidak langsung menjadi kosong.
Menjadi jurnalis di era Orde Baru membuat saya terbiasa dengan situasi yang tertekan secara psikis, makanya saya cepat melarut di dalamnya. Pengalaman sejak 1994 di dunia jurnalistik mengajarkan, saya tidak boleh hancur oleh “teror” psikis. Ketika saya duduki, kursi stenlis itu dingin. Saya sudah menduga ada hal besar yang akan terjadi, tetapi saya tidak terlalu merisaukannya. Saya tersenyum sambil menatap wajah mereka satu per satu. Saya hanya ingin menangkap pesan-pesan yang disampaikan mimik mereka.
Bagi saya, komunikasi yang terjalin lewat mimik jauh lebih mudah dimengerti ketimbang komunikasi verbal. Verbalisasi adalah alat para munafik, mimik adalah kemurnian. Saya pun paham, mereka sedang merencanakan sesuatu kepada saya. Karena tidak seorang pun berani menatap mata saya. Semua menunduk. Menunduk. Hm. Aiiii, mendadak mereka berubah jadi beruk. Saya tertawa dalam hati. Saya berpikir sudah menguasai keadaan. Saya teringat pada seorang perempuan paroh baya yang selalu setia menjadi penasehat saya.
“Kalau kau bertemu dengan seseorang yang kira-kira akan mencelakakanmu, jangan pernah mau kalah oleh mata mereka. Kuasai mata itu, kau akan menguasai mereka,” katanya.
Ini pelajaran psikologi yang bisa diterapkan siapa pun dan kepada siapa pun. Bahkan, seeor ular dapat ditundukkan apabila matanya dipandangi terus-menerus. Maka, pada mata keempat orang itu, segala sesuatu menjadi semakin jelas.
“Ada apa ini,” kata saya, “sepertinya ada sesuatu yang sangat penting ingin disampaikan kepada saya? Silahkan!”
Djadjat Sudradjat kembali tersenyum, tetapi begitu hambar. Kemudian ia berkata dengan mimik yang luar biasa kadar teaterikalnya. Maklum, ia orang yang tak asing dengan dunia teater, mengawali karier di jurnalistik sebagai penulis sajak (bukan penyair). Beberapa tahun lalu ketika masih menjabat sebagai Deputi Pemberitaan Media Indonesia, ia bermain ketoprak bersama sejumlah pejabat. Baik dirinya, maupun para pejabat itu, terlihat begitu piawai bermain. Mungkin, karena mereka sudah terbiasa dengan akting, terutama saat memainkan peran sebagai pejabat negara. Kali ini ia memainkan akting yang baru.
“Kami mau dengar langsung dari kau soal opini yang kau kirim ke Lampung Post." Ia menunjuk setumpuk kertas berisi opini saya berjudul “Pers Lampung Anti-Masyarakat”, sebuah penelitian atas realitas pers di Lampung yang menjadikan Lampung Post dan Radar Lampung sebagai sample.
Opini yang saya tulis dalam kapasitas sebagai peneliti di Penelitian dan Pengembangan Lampung Post itu, mengupas ihwal kelemahan-kelemahan content Lampung Post selama bertahun-tahun, yang membuat koran tertua di Lampung itu tampak begitu tua dan kelelahan. Saya masukkan dalam blog ini tulisan yang menjadi alasan mengadili saya dengan judul “Pers Kami di Lampung”.
Sebetulnya tulisan itu tidak hebat betul. Semua isinya kompilasi dari hasil analisis isi (content analysis) dalam kapasitas saya sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan Lampung Post. Ketika jabatan itu diberikan kepada saya pada April 2007---saat itu Ade Alawi merupakan Pemimpin Redaksi Lampung Post---dengan bijakasana Ade Alawi bilang: “Kami membutuhkan analisis atas terbitan Lampung Post, makanya kau kami tempatkan di sana.”
Ternyata, setelah tiga bulan analisis saya yang saya beri nama Salam Kreatif berjalan, justru membuat jajaran redaksi Lampung Post gerah dan merah padam. Saya disebut terlalu kasar dan keras. Setiap kali ada orang yang berkesimpulan "terlalu kasar dan keras", saya selalu menyimpulkan bahwa mereka "tidak suka apa yang saya sampaikan."
Saya bekerja melakukan analisis isi atas semua berita yang diterbitkan Lampung Post setiap hari. Setiap halaman, setiap rubrik, setiap berita, dan setiap kata, saya baca satu per satu.
Modal saya berupa stylebox Lampung Post tentang Bahasa Indonesia Jurnalistik, hasil perpaduan dengan stylebox Media Indonesia, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kode Etik Jurnalistik, dan setumpuk teori serta model dalam kajian ilmu komunikasi. Kebetulan, saya mengajarkan mata kuliah Teori Komunikasi, Komunikasi Massa, dan Teknik Jurnalistik, Publisitas, di beberapa kampus di Provinsi Lampung.
Saya tak terlalu andal dalam kajian, tetapi karena orientasi kajian itu untuk menjaga konsistensi agar Lampung Post tetap dalam rating yang tinggi di pasar pembaca, jadi tinggal menyesuaikan produk yang terbit setiap hari dengan berbagai rumusan yang sudah disepakati insan pers di Lampung Post.
Meskipun gerah, saya terus diminta menganalisis. Karena tugas, pekerjaan itu terus saya lakukan. Saya juga membutuhkan hasil pekerjaan saya untuk mempelajari pers di Lampung. Sayang, apapun yang saya sarankan, misalnya, mengenai content Lampung Post yang mulai menyimpang, soal Bahasa Indonesia Jurnalistik yang lewah, logika berpikir berita yang ruwet dan kusut, dan penyajian yang kurang menyadari siapa pembaca Lampung Post yang sesungguhnya, tak ditanggapi. Tak jadi soal, toh pada tingkat wartawan Salam Kreatif dibaca dan jadi rujukan.
Lampung Post tetap saja hadir dengan sekian banyak salah cetak, salah kutif, berita ganda, salah huruf, salah disain, salah perspektif, salah melulu.
Sulit bagi saya yang terbiasa blak-blakan untuk menjadi kalem. Karena, bagi saya tak perlu seseorang bersikap kompromi (kalem) untuk sebuah produk bisnis yang rusak parah secara jurnalistik. Itu hanya berarti kompromi pada keburukan. bersambung
2 #type=(blogger)
banyak jalan menuju roma bang budi..., biarlah anjing-anjing menggonggong, bang budi tetaplah berkarya.... hehehe...
ReplyDeletesalut buat dikau... (soemandjaja)
mana bang lanjutannya??
ReplyDeleteTerima kasih atas pesan Anda