"Dibunuh" Harga Produksi, "Dibunuh" Jurnalipstik
BISNIS media cetak kini bagai berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Sosoknya tidak jelas, tetapi pengaruhnya sangat kuat, yakni kenaikan harga minyak dunia. Ini memicu kenaikan biaya produksi sejumlah industri, pada hulu sampai hilir, terutama industri pulp yang memproduksi kerta koran.
Bahan baku utama kertas koran merupakan produk yang dibeli dari pengusaha di luar negeri. Dalam sepekan terakhir, sejumlah industri pulp terpaksa menaikkan harga kertas karena biaya produksi meningkat 100% akibat kenaikan harga minyak dunia.
Fakta ini membuat Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) menggelar rapat khusus. Para pengelola media cetak itu menyepakati, pemerintah mesti menghapus biaya impor kertas dan menghapus pajak kerta. "Untuk mencerdaskan bangsa dengan memberi rakyat bacaan yang murah," kata Leo Batubara.
Betulkah?
Sejak kapan pengelola media cetak memikirkan mencerdaskan bangsa? Ketika harga kertas murah, mereka menerbitkan media cetak yang 60% berisi iklan, 40% beris berita. Berita dalam media cetak sebagaian besar didisain dengan semangat mengaflikasikan metoda jurnalipstik---bukan jurnalistik.
Jurnalipstik adalah metoda jurnalisme yang intinya menulis berita yang "memuja-puji" narasumber dengan harapan mendapat sharing iklan. Artinya, meskipun isi media cetak 60% iklan, tetapi 40% lainnya tetap berisi berita lipstik.
Karena itu, keinginan para pengelola media cetak tidak harus diterima begitu saja. Mereka harus mengubah konsep dan strategi bisnisnya untuk tidak cuma memeikirkan satu hal, yakni tanggung jawab terhadap profit.
Kenakan harga kertas adalah momentum menyelesaikan media cetak, dan biarkan harga kertas tetap tinggi agar kualitas pemberitaan lebih bagus.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda