MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Recall dan PKB Kini


Tajuk Lampung Post edisi 4 Maret 2011 berjudul “Choirie dan Lily Korban Koalisi” sangat tendensius dan menyudutkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Di tengah-tengah kerja keras DPW PKB Lampung dalam membangun citra sebagai “partai politik yang letih berkonflik”, Lampung Post malah ingin memelihara agar masyarakat konstituen tidak memercayai hal itu.

Disebut tendensius karena Lampung Post menyebut pemecatan Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid untuk menyelamatkan muka Ketua DPP PKB, Muhaimin Iskandar, dari cemoohan semua anggota koalisi partai dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Kesimpulan seperti ini jelas mengabaikan kontrak-kontrak politik yang disepakati PKB dengan para anggota legislatifnya. Kontrak politik yang mengharuskan setiap kader partai yang duduk di legislative agar menjaga nama baik PKB dalam situasi apapun.
Sampai tahap ini, Lampung Post harus melihat bahwa keberadaan Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid di DPR erat kaitannya dengan eksistensi PKB. Karena itu, segala keputusan setiap anggota legislative dari PKB dalam mempergunakan dan melaksanakan hak-hak konstitusionalnya seharusnya mencerminkan visi dan misi parpolnya. Berseberangan dengan kehendak PKB, berarti pembangkangan. Sudah tentu, kepada setiap yang melawan kebijakan parpol, ada sanksi yang harus dijatuhkan.
Me-recall Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid bagian dari sanksi yang diberikan PKB kepada kader yang tidak mengikuti garis parpol. Tentu, sanksi ini bukan tanpa pertimbangan matang. Ini sanksi kesekian setelah sebelumnya kedua politisi PKB ini juga melakukan pembangkangan terhadap keputusan parpol dalam kasus hak angket Bank Century.
Keputusan me-recall Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid bukan keputusan yang diambil dalam waktu singkat. Bukan pula keputusan untuk menjaga nama baik Ketua DPP PKB Muhaimin Iskandar. Keputusan ini keputusan PKB sebagai institusi partai politik yang seluruh program dan kebijakannya diambil secara konstitusi parpol.
*
Kebijakan PKB me-recall Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid tidak bisa dibandingkan dengan kebijakan yang diambil parpol lain terhadap kadernya yang juga berhianat saat Paripurna DPR tentang hak angket mafia pajak. Banyak kalangan memang menyayangkan keputusan ini. Sebagian menilai PKB telah melakukan kekeliruan membuang keduanya dari DPR, padahal keduanya memiliki pengalaman luar biasa yang bermanfaat untuk menaikkan citra parpolnya.
Tentu, soal ini bisa diperdebatkan. Sebagai politisi gaek, keduanya seharusnya memahami, bahwa keputusan partai adalah visi dan misi yang mesti diperjuangkan para kader yang menjadi anggota legislatif. Kenyataannya justru sebaliknya, karena kedua politisi yang sangat mengenal PKB ini justru membelot. Mereka masuk ke dalam barisan anggota DPR yang menyetujui hak angket pajak, berseberangan dengan kebijakan PKB yang sudah digariskan sebagai anggota koalisi.
Sebelum Paripurna DPR, hal ini sudah ditekankan berkali-kali. Bahkan, Ketua Fraksi PKB di DPR, Marwan Ja’far, mengingatkan tentang sikap PKB sebagai sebuah partai anggota koalisi. Sayang, kedua politisi PKB ini acap tak aktif dalam berbagai kegiatan partai. Dari sini sudah terbaca, bahwa sesungguhnya Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid sudah punya niat sejak awal untuk berseberangan.
Alasan itu lebih dari cukup untuk mengambil keputusan recall. Sesuai konstitusi yang ada, recall merupakan wewenang parpol. PKB berhak mengganti anggota legislatifnya dengan kader lain. Hak inilah yang ditagih oleh public konstituen PKB, karena mereka juga menilai keberadaan Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid secara perlahan-lahan menjelma seperti duri dalam daging.
Jika recall bukan pilihan PKB, keberadaan keduanya akan membangun preseden buruk bahwa PKB sesunguhnya belum lepas dari masalah “konflik internal”. Bukan tak mungkin, public konstituen akan menilai bahwa Efendy Choirie dan Lily Chadidjah Wahid yang memang dekat secara pribadi dengan Abdurrahman Wahid, memang berniat menumbuhkan kembali konflik internal.
Disebut menumbuhkan kembali karena sesungguhnya secara konstitusional tidak ada lagi konflik di tubuh PKB. Parpol peserta Pemilu 2009 dengan nomor urut 13 ini, dinyatakan tak berkonflik dan boleh ikut pesta demokrasi. Meskipun selama beberapa bulan seblum Pemilu 2009 digelar, partai ini babak-belur dihajar konflik internal. Perhatian seluruh kader partai terpecah, kehilangan focus untuk memenangi Pemilu 2009. Dalam situasi seperti itu, ada upaya dari partai lain untuk memanfaatkan konflik internal PKB dengan merangkul massa Nahdliyin.
Pasca Pemilu 2009, PKB ternyata masih memiliki suara di DPR RI. Di sejumlah daerah, suara PKB memang turun drastis. Untungnya, beberapa DPW PKB yang sempat dibekukan bias bekerja tangkas dan lekas ketika dihidupkan kembali. Meskipun mereka kesulitan mengambil hati kader-kader lama, ternyata banyak DPW PKB yang mampu memiliki fraksi sendiri di legislatif, termasuk Fraksi PKB di DPRD Lampung.
Karena dampak konflik sangat besar, pasca Pemilu 2009 PKB berusaha memulihkan diri dengan meminimalisasi hal-hal yang dapat memicu konflik internal. Seluruh kader di DPW PKB Lampung menyadari pentingnya membangun partai tanpa konflik. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan sejumlah DPC PKB di Provinsi Lampung menggelar musyawarah cabang dengan memilih pengurus secara aklamasi (baca berita Lampung Post edisi 28 Februari 2011 dengan judul “6 Ketua DPC PKB se- Lampung Terpilih Aklamasi”).
*
Kondisi yang kondusif dan tetang dalam semangat berdemokrasi ini, sudah tentu akan berdampak positif terhadap masa depan PKB. Pada akhirnya, kondisi ini juga akan menjadi indicator bahwa dunia politik di Provinsi Lampung tidak identik dengan konflik. Sebab itu, tajuk yang merupakan sikap Lampung Post atas persoalan internal PKB, kentara sekali kurang menghargai kerja keras yang dilakukan kader-kader PKB. ***