Menolak Ahmadiyah di Daerah

by - March 04, 2011

Aksi-aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, yang kemudian disiarkan media massa secara berulang-ulang, telah menyebabkan organisasi ini selalu menjadi kelompok yang tersakiti. Selalu pula, organisasi sosial keagamaan berbasis Islam menjadi pihak yang menyakiti.



Komentar para pengamat, juga mereka yang menyebut diri sebagai pendukung hak asasi manusia, lalu memosisikan Ahmadiyah sebagai korban. Sebagai korban, Ahmadiyah kemudian mendapat advokasi dan fasilitasi untuk bisa bicara di depan public mengenai keberadaan mereka.

Publik pun melihat, puncak dari aksi di Cikeusik, mendorong Ahmadiyah menjadi public figure baru. Ahmadiyah punya waktu lebih dari cukup untuk memproklamirkan keberadaannya kepada para wakil rakyat di DPR RI. Mereka juga punya kesempatan luas untuk menyalahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga menggugat keberadaan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga meteri.

Semua pengakuan Ahmadiyah disiarkan media massa, lalu menyebar ke seantero negeri melalui jaringan-jaringan media massa. Publik media yang beragam, sudah tentu menafsirkan isi berita secara beragam. Ada yang prihatin dan mendukung Ahmadiyah, tidak sedikit yang mendukung pembubaran Ahmadiyah.

Namun, sampai hari ini public tak pernah mendengar ada pihak yang harus bertanggung jawab sesuai keadilan hukum yang berlaku atas kekerasaan yang diterima Ahmadiyah. Penegakan hukum di negeri ini hanya mampu bicara di hadapan orang-orang yang saat aksi terekam dalam berita media massa.

Sayangnya, tidak pernah terang bagaimana orang-orang itu bisa bergerak serentak sambil mengenakan atribut-atribut agama Islam. Yang justru terang, mereka selalu dikaitkan dengan organisasi-organisasi berbasis agama Islam. Seakan-akan otak dari segala aksi kekerasan yang dihadapi Ahmadiyah hanya satu organisasi.

Publik juga tidak melihat ada keputusan tegas terkait keberadaan Ahmadiyah. Publik hanya melihat, pasca Cikeusik, justru organisasi masyarakat berbasis Islam dituntut dibubarkan. Tuntutan pembubaran organisasi masyarakat berbasis Islam, telah menjebak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat berpidato di hadapan sejumlah wartawan saat perayaan Hari Pers Nasional di Kupang, Presiden SBY mengatakan “bisa dibubarkan” organisasi masyarakat yang melakukan kekerasan. Namun, oleh para pengelola media massa, kata “bisa dibubarkan” diubah menjadi “akan membubarkan”.


Pernyataan Presiden SBY ini membuat organisasi masyarakat berbasis Islam menjadi marah. Jika Presiden SBY membubarkan organisasi masuyarakat berbasis Islam, kekuasaannya diancam akan digulingkan.

Cerita tentang Ahmadiyah sendiri berhenti. Para penganut Ahmadiyah seperti sebelumnya, bersembunyi setelah berkoar-koar di gedung DPR RI menyalahkan banyak pihak atas kekerasan yang mereka terima.

Persoalan beralih menjadi persoalan mengancam Kepala Negara, yang mengundang komentar banyak kalangan. Sebagian besar menyudutkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai pihak yang mengancam mengulingkan Presiden SBY. Namun, soal ini pun kemudian berhenti tanpa kesimpulan yang jelas, termasuk soal pembubaran AHmadiyah.

Pemerintah pusat sendiri tetap merujuk pada SKB, yang sudah menegaskan banyak hal di dalamnya. Tetapi banyak kalangan, berusaha keras menentang SKB itu dengan alasan hak asasi manusia.

Setiap kali ada aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah, selalu saja SKB yang dipersoalkan. Keputusan yang muncul pun selalu sama, bahwa SKB sudah cukup jelas. Dan, sudah bisa ditebak bahwa persoalan kekerasan terhadap Ahmadiyah akan terus berulang.

Ahmadiyah ada dimana-mana di negeri ini. Namun, sebagian besar aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah hanya terjadi di Pulau Jawa. Ketidakjelasan keputusan dari setiap aksi kekerasan yang diterima Ahmadiyah, menjadi preseden buruk bagi banyak kalangan di daerah. Keberadaan Ahmadiyah di daerah dapat menjadi sumber kerasan baru, yang mesti diantisipasi sejak awal.

Namun, tidak adanya kejelasan dari pemerintah tentang pembubaran Ahmadiyah, memaksa pemerintah daerah untuk melindungi daerahnya dari segala bentuk kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah. Hal yang wajar bila pemerintah daerah kemudian mengeluarkan surat keputusan yang tidak bertentangan dengan SKB, yang intinya melarang keberadaan Ahmadiyah di daerah masing-masing.

Koordinator eksekutif Federasi Kontras Haris Azhar mengatakan pasca-Cikeusik, ada 11 kebijakan lokal baik dari level bupati hingga gubernur yang melarang adanya Ahmadiyah. Dan empat di antaranya, muncul dalam beberapa hari belakangan.

“Tren ini muncul dengan memelintir pernyataan SBY tentang pembubaran ormas-ormas anarkis. Pemerintah daerah cenderung dipolitisasi dan ditekan untuk mengeluarkan surat keputusan (SK). Pemerintah daerah lebih taat pada tekanan dari pada hak-hak kelompok minoritas,” kata Haris Azhar seperti disiarkan sejumlah media massa pada 1 Maret 2011.
.
Kesimpulan seperti ini memosisikan pemerintah daerah sebagai pihak yang tak bisa memahami SKB tiga menteri seperti Kontras memahami SKB tersebut. Artinya, ada upaya untuk memaksakan cara memahami SKB yang benar menurut Kontras.

Padahal, penerbitan surat keputusan pembubaran Ahmadiyah oleh sejumlah kepala daerah merupakan tindakan pencegahan terjadinya aksi kekerasan di daerah bersangkutan. Setiap kepala daerah harus memikirkan segala kemungkinan terburuk agar rakyatnya tidak menderita. Termasuk menutup kemungkinan bagi berkembangkan organisasi masyarakat yang dapat memicu terjadinya konflik sossial.

Dalam kasus Ahmadiya, sudah jelas bahwa penyebab kekerasan yang muncul adalah penolakan terhadap Ahmadiyah. Sebagai bagian dari pemerintah pusat, sudah tentu pemerintah daerah tidak akan mengambil dan membuat keputusan yang bertentangan dengan keputusan pemerintah pusat.

Jika para pengagum hak asasi manusia menilai SKB masih merupakan sumber konflik dan harus dievaluasi, biarlah pendapat itu mereka yang anut. Di zaman sekarang, kita tidak bisa memaksakan pendapat kita agar menjadi pendapat orang lain.

Setiap orang memiliki kemampuan dan kecerdasan untuk menganalisis persoalan yang sedang berlangsung. Dalam kasus Ahmadiyah, suatu yang wajar apabila pemerintah daerah tidak ingin daerahnya bergolak hanya karena keberadaan Ahmadiyah. Karena SKB sudah jelas, dan Ahmadiyah memang organisasi yang sesat. Wajar jika pemerintah daerah tidak menghendaki keberadaan organisasi yang sesat di daerahnya. ***

Dipublikasikan di Radar Lampung edisi Kamis, 3 Maret 2011

You May Also Like

0 #type=(blogger)