MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Pemilukada


DALAM waktu dekat, tiga daerah otonomi baru (DOB)—Kabupaten Pringsewu, Tulangbawang Barat, dan Mesuji--akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada). Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai panitia penyelenggara sudah memulai tahapan-tahapan penyelenggaraan. Rakyat pun sudah tahu, sebagian mulai kasak-kusuk membicarakannya, dan tak sedikit yang sibuk mencari sosok siapa yang bisa didukung.


Meskipun ini merupakan Pemilukada pertama bagi masyarakat tiga DOB tersebut, tetapi mereka sudah tak asing dengan peristiwa politik ini. Belum lama ini mereka mengikuti Pemilihan Gubernur Lampung periode 2009-2015, Pemilihan Umum 2009, dan pemilihan kepala desa pada beberapa desa. Pengalaman mereka sudah lebih dari cukup untuk memahami bahwa Pemilukada untuk menggodok sosok kepala daerah yang paripurna.

Sangat diharapkan pengalaman itu mampu meningkatkan kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Jika tidak, rakyat akan salah pilih. Ini berdampak serius terhadap masa depan DOB bersangkutan. Ketiga DOB ini akan terpuruk sepanjang masa, kesulitan merealisasikan cita-cita pendiriannya.


SAYANGNYA, pengalaman masyarakat dalam berdemokrasi sering tidak selalu sejalan dengan cita-cita etis demokrasi itu sendiri. Bagi masyarakat, Pemilukada yang merupakan praktik langsung dari “politik sebagai seni merebut kekuasaan”, telah berubah menjadi kompetisi yang tidak selalu berjalan transparan. Pertarungan yang tak sehat, penuh kecurangan, syarat penyuapan, dan serbarremang-remang.

Dalam situasi seperti itu, Pemilukada bukan lagi kompetisi politik yang berjalan sebagaimana seharusnya. Sebaliknya, tidak ada lagi kompetisi di sana. Kompetisi itu sudah selesai sebelum Pemilukada digelar, ditandai maraknya politik uang (money politic). Rakyat yang terlanjur kesulitan ekonomi dan mengalami masalah kesejahteraan dalam keseharian, tidak menutup diri terhadap kemungkinan untuk mendapat keuntungan materi. Demokrasi yang dipuja-puji itu, kenyataannya di negeri kita, telah menjadi sebuah paradok.

Sistem politik demokratis tidak bekerja sebagaimana seharusnya. Lingkungan yang memungkinkan demokrasi dapat bekerja adalah lingkungan yang transparan. Dalam lingkungan itu, relasi kekuasaan dan transaksi politik berlangsung terukur, terlihat, tepercaya, dan terawasi. Dengan begitu, sistem konstitusi dapat bekerja. Kecenderungan adanya kecurangan, akan mudah diidentiufikasi untuk kemudian diselesaikan sesuai konstitusi yang berlaku.


BANYAK kasus konflik pasca-Pemilukada yang ditangani Mahkamah Konstitusi selama ini mengindikasikan bahwa Pemilukada membawa masalah baru. Pertarungan para calon kepala daerah yang seharusnya final dalam Pemilukada, justru berlanjut di tingkat Mahkamah Konstitusi. Pertarungan lanjutan ini hanya terjadi apabila ada kecurigaan akan telah berlangsungnya kecurangan secara wajar selama Pemilukada.

Kecurangan dalam Pemilukada dapat diukur. Namun sebelumnya, jauh lebih layak untuk mempertanyakan bagaimana mungkin kecurangan dapat terjadi? Bukankah semua pihak yang terlibat menyukseskan Pemilukada sudah bekerja serius? Ataukah sebaliknya, KPU beserta para pengawas, tidak menjalankan tugas-tugasnya secara benar.

Akibatnya, keputusan politik tidak menggambarkan aneka kepentingan dan rasa keadilan public. Setiap keputusan dalam Pemilukada belum tentu final. Segala sesuatunya bisa dengan mudah dimanipulasi dan diubah dengan cara yang sulit dimengerti akal sehat. Mereka yang seharusnya memenangi kompetisi, karena satu dan lain hal dapat menjadi pecundang. Sebaliknya, pecundang menjadi warga terhormat yang disanjung-sanjung.

Pada tataran inilah, kita harus mengabaikan Pemilukada sebagai momentum berjalananya rasionalitas. Kita harus merelakan, dalam Pemilukada tidak bias diandalkan etika politik. Karena ihwal etika sudah tersingkir sejak KPU mengumumkan rencana Pemilukada, yang kemudian disambut para elite partai politik dengan memasang tarif tertentu untuk sebuah kursi atas nama parpol bersangkutan.

Parpol hanya akan mendukung calon kepala daerah yang memiliki modal uang tidak sedikit. Alasannya sangat sederhana, bahwa politik membutuhkan biaya (politic money). Parpol akan mempergunakan dana yang dimiliki calon kepala daerah untuk menjalankan program-program sosialisasi ke lingkungan masyarakat konstituen. Meskipun kenyataan yang kita lihat, tariff yang dipasang parpol dan dibayarkan oleh calon kepala daerah, sesungguhnya tidak dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan kampanye.

Pemilukada bagi parpol akan selalu menjadi momentum penting untuk mempertebal pundi-pundi. Kondisi seperti ini berlanjut terus selama undang-undang yang ada masih memberi porsi besar bagi parpol terkait pencalonan kepala daerah. Sesuatu yang saat ini menjadi merisaukan banyak pihak, karena besarnya biaya politik berjalan lurus dengan munculnya watak korupsi.

*

DALAM situasi seperti itu, hanya kedewasaan masyarakat yang bias diharapkan untuk lebih mengutamakan etika dalam berdemokrasi. Rakyat memiliki posisi tawar yang tinggi untuk memilih siapa saja. Namun, tetap harus dicamkan bahwa Pemilukada bertujuan memilih kepala daerah untuk jangka waktu lima tahun. Selama lima tahun, banyak hal yang bias dilakukan seorang kepala daerah dalam meningkatkan kualitas pembangunan daerah. Makanya, rakyat harus memilih kepala daerah yang memiliki komitmen untuk membangun daerah. ***