Dari Mayoritas ke Minoritas
Dimana-mana di dunia ini dan dalam hal apa saja, pasti terjadi perbedaan. Konon pula mengenai etnis, ras, kelompok, budaya, dan agama, persoalan-persoalan yang syarat ditandai dengan simbol. Perbedaan-perbedaan itu mengerucut sebagai mayoritas dan minoritas.
Dan selalu, minoritas dalam posisi lemah, terdiskriminasikan, diperlakukan tidak adil, dikambing hitamkan dan bahkan dikuasai oleh mayoritas. Posisi itu makin minor apabila minoritas senantiasa berpikir bahwa mereka selalu menjadi nomor dua. Sedangkan mayoritas senantiasa berpikir bahwa mereka selalu harus menjadi nomor satu.
Mereka yang minoritas, karena merasa selalu berada di bawah bayang-bayang mayoritas, tidak seharusnya menyemangati diri untuk senantiasa ingin menunjukkan eksistensi dengan cara apa saja. Sedangkan mayortitas, tidak perlu terus-menerus berupaya apa saja agar tetap dalam posisi mayoritas.
Dalam realitas yang penuh perbedaan, terlalu memikirkan soal minoritas dan mayoritas hanya akan menimbulkan persoalan krusial. Sebab, adanya mayoritas dan minoritas sudah menunjukkan perbedaan. Dalam perbedaan itu, sulit mendudukkan kesetaraan. Karena itu, segala bentuk upaya untuk mengungkit-ungkit perbedaan yang ada hanya akan menimbulkan ketidaksenangan demi ketidaksenangan. Artinya, ancaman konflik senantiasa membayang.
Dunia selalu berputar sesuai mekanisme roda. Mereka yang mayoritas, tidak selamanya akan menjadi mayoritas. Begitu juga sebaliknya, yang monoritas tidak selamanya minoritas. Apalagi jika kita meyakini bahwa realitas hidup sangat beragam dan syarat akan sekian banyak perbedaan. Pada sisi tertentu, sekelompok masyarakat tampil sebagai mayoritas. Namun, pada sisi lain, mereka yang mayoritas ternyata juga tidak bisa tampil.
Sebab itu, cara kita dalam memahamai mayoritas dan minorotas mesti diubah. Kita tidak bisa melihat segala sesuatu dari satu sisi yang menunjukkan kita berada dalam posisi mayoritas. Ada baiknya kita juga melihat sisi lain dimana kita menjadi minoritas.
***
Seperti masyarakat dunia, masyarakat di Provinsi Lampung juga memiliki banyak perbedaan. Tulisan berikut menjadikan masyarakat di provinsi ini sebagai contoh dalam melihat persoalan mayoritas dan minoritas.
Sejak lama Provinsi Lampung merupakan daerah penyebaran masyarakat berkebudayaan Lampung. Masyarakat ini sendiri terdiri dari dua subbudaya, Pepadun dan Peminggir. Dalam kehidupan sosial budaya, baik Pepadun maupun Peminggir hidup dalam perbedaan mayoritas dan minoritas itu. Masyarakat Pepadun seolah lebih banyak secara kuantitas dibanding masyarakat Peminggir, sehingga Pemadun seolah mayoritas dengan Peminggir sebagai minoritas.
Pada tataran yang lebih luas, masyarakat yang menjadi mayoritas di Lampung adalah masyarakat Lampung. Sedangkan kelompok minoritas adalah masyarakat di luar penganut kebudayaan Lampung seperti Jawa, Sumatra Selatan, Banten, Batak, Bali, dan lain sebagainya. Kondisi awal memang masyarakat Lampung merupakan mayoritas di provinsi ini. Tapi, data pada Bappeda Lampung menunjukkan, masyarakat yang kini menjadi mayoritas di provinsi ini adalah masyarakat Jawa.
Meskipun secara kuantitas masyarakat Jawa merupakan mayoritas, namun pada sisi lain dalam realitas kehidupan di provinsi ini masyarakat Jawa tetap menjadi minoritas. Di lingkungan pemerintahan daerah, sebagian besar elite pejabat pemerintah mayoritas merupakan masyarakat Lampung. Para kepala daerah di kabupaten sebagian besar merupakan masyarakat Lampung.
Meskipun masyarakat Lampung mayoritas menjadi elite pejabat pemerintah, namun para pejabat ini menjadi minoritas dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan dinamika pemerintahan daerah. Sebab, sebagian besar pelaksana kegiatan sehari-ahri pemerintah daerah bukanlah mayoritas masyarakat Lampung. Dilihat dari jumlah pegawai negeri sipil di provinsi ini, mayoritas merupakan masyarakat Jawa. Komposisi ini hampir sama dengan komposisi penduduk Lampung secara budaya.
Begitu juga halnya dengan kelompok masyarakat lain yang secara komposisi demografi merupakan minoritas. Sebut saja masyarakat Tionghoa di Lampung. Meskipun jumlah mereka sangat minim dan merupakan minoritas, tetapi mereka menjadi mayoritas jika berkaitan dengan realitas dunia bisnis dan usaha.
Artinya, mereka yang menjadi mayoritas di satu sisi, namun dalam bidang-bidang tertentu justru menjadi minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas namun dalam hal tertentu menjadi mayoritas di tengah-tengah kelompok mayoritas itu sendiri.
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, dalam hal tertentu justru tidak dominan, katakanlah dalam hal ekonomi, dimana etnis Cina merupakan kelompok minoritas, tetapi hampir 80 % menguasai perekonomian Indonesia. Di Jayapura komunitas Kristen merupakan kelompok mayoritas, sedangkan komunitas non-Kristen merupakan kelompok minoritas, namun mereka sebagai pendatang secara ekonomi sedikit lebih baik dari kelompok Kristen.
***
Mayoritas dan minoritas bukan suatu persoalan bila masyarakat dapat membangun kebersamaan. Tentu saja tidak sulit bila masyarakat menjadikan perbedaan sebagai suatu kekuatan baru dalam menjaga harmoni.
Dalam masyarakat plural seperti di Lampung, isu-isu etnik, ras, dan agama rentan dan paling mudah menjadi pemicu munculnya prasangka. Prasangka adalah salah satu rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka, tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka itu sudah mencekam, orang tidak akan dapat berfikir obyektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilainya secara negatif. (Effendi, 1981).
Makanya, bagi masyarakat yang plural toleransi dan hidup rukun sangatlah diperlukan untuk meningkatkan rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Bila sikap toleransi yang muncul tidak dilandasi nilai-nilai yang lahir atas kesadaran yang tulus, dapat menjadi bom waktu dikemudian hari. Untuk itulah dibutuhkan interaksi sosial antar kelompok yang berbeda.
Bentuk interaksi yang paling efektif adalah melakuka komunikasi yang terus menerus diantara setiap kelompok, baik melakukan kegiatan bersama atau melalui dialog lintas budaya. Sayang, komunikasi antarabudaya jarang kita temukan di Lampung. Setiap kelompok budaya seolah menjadi eksklusif antara satu dengan lainnya. Masing-masing membentuk wadah yang hanya diisi satu kelompok masyarakat saja. Padahal, dibutuhkan wadah yang menggabungkan semua budaya yang ada di Lampung, sehingga terjadi satu kesatuan diantara perbedaan yang ada.
Kesatuan dalam banyak budaya tidak akan pernah menggabungkan budaya menjadi satu budaya, karena setiap budaya berbeda. Artinya, masyarakat Jawa yang masuk dalam komunitas budaya dimana isinya bukan hanya orang Jawa, tidak akan pernah berubah menjadi orang Lampung, Batak, Sunda, Bali, dan lain sebagainya. Sebaliknya, sangat mungkin akan terjadi asimilasi budaya melalui proses pernikahan antarpasangan berbeda latar belakang budaya, yang justru akan berdampak positif terhadap makin eratnya komunikasi antarabudaya.
Dalam situasi seperti ini, interaksi sosial akan mengalami proses dinamis. Proses tersebut dapat berlangsung dengan adanya pertukaran sosial dalam rangka meningkatkan relasi diantara pihak satu dengan yang lainnya, baik itu pertukaran infomasi, kerjasama, penyatuan persepsi dan kesamaan bertindak. Sangat mungkin, masyarakat seperti ini bisa diharapkan ikut berperan dalam meningkatkan kualitas pembangunan daerah. ***
Dan selalu, minoritas dalam posisi lemah, terdiskriminasikan, diperlakukan tidak adil, dikambing hitamkan dan bahkan dikuasai oleh mayoritas. Posisi itu makin minor apabila minoritas senantiasa berpikir bahwa mereka selalu menjadi nomor dua. Sedangkan mayoritas senantiasa berpikir bahwa mereka selalu harus menjadi nomor satu.
Mereka yang minoritas, karena merasa selalu berada di bawah bayang-bayang mayoritas, tidak seharusnya menyemangati diri untuk senantiasa ingin menunjukkan eksistensi dengan cara apa saja. Sedangkan mayortitas, tidak perlu terus-menerus berupaya apa saja agar tetap dalam posisi mayoritas.
Dalam realitas yang penuh perbedaan, terlalu memikirkan soal minoritas dan mayoritas hanya akan menimbulkan persoalan krusial. Sebab, adanya mayoritas dan minoritas sudah menunjukkan perbedaan. Dalam perbedaan itu, sulit mendudukkan kesetaraan. Karena itu, segala bentuk upaya untuk mengungkit-ungkit perbedaan yang ada hanya akan menimbulkan ketidaksenangan demi ketidaksenangan. Artinya, ancaman konflik senantiasa membayang.
Dunia selalu berputar sesuai mekanisme roda. Mereka yang mayoritas, tidak selamanya akan menjadi mayoritas. Begitu juga sebaliknya, yang monoritas tidak selamanya minoritas. Apalagi jika kita meyakini bahwa realitas hidup sangat beragam dan syarat akan sekian banyak perbedaan. Pada sisi tertentu, sekelompok masyarakat tampil sebagai mayoritas. Namun, pada sisi lain, mereka yang mayoritas ternyata juga tidak bisa tampil.
Sebab itu, cara kita dalam memahamai mayoritas dan minorotas mesti diubah. Kita tidak bisa melihat segala sesuatu dari satu sisi yang menunjukkan kita berada dalam posisi mayoritas. Ada baiknya kita juga melihat sisi lain dimana kita menjadi minoritas.
***
Seperti masyarakat dunia, masyarakat di Provinsi Lampung juga memiliki banyak perbedaan. Tulisan berikut menjadikan masyarakat di provinsi ini sebagai contoh dalam melihat persoalan mayoritas dan minoritas.
Sejak lama Provinsi Lampung merupakan daerah penyebaran masyarakat berkebudayaan Lampung. Masyarakat ini sendiri terdiri dari dua subbudaya, Pepadun dan Peminggir. Dalam kehidupan sosial budaya, baik Pepadun maupun Peminggir hidup dalam perbedaan mayoritas dan minoritas itu. Masyarakat Pepadun seolah lebih banyak secara kuantitas dibanding masyarakat Peminggir, sehingga Pemadun seolah mayoritas dengan Peminggir sebagai minoritas.
Pada tataran yang lebih luas, masyarakat yang menjadi mayoritas di Lampung adalah masyarakat Lampung. Sedangkan kelompok minoritas adalah masyarakat di luar penganut kebudayaan Lampung seperti Jawa, Sumatra Selatan, Banten, Batak, Bali, dan lain sebagainya. Kondisi awal memang masyarakat Lampung merupakan mayoritas di provinsi ini. Tapi, data pada Bappeda Lampung menunjukkan, masyarakat yang kini menjadi mayoritas di provinsi ini adalah masyarakat Jawa.
Meskipun secara kuantitas masyarakat Jawa merupakan mayoritas, namun pada sisi lain dalam realitas kehidupan di provinsi ini masyarakat Jawa tetap menjadi minoritas. Di lingkungan pemerintahan daerah, sebagian besar elite pejabat pemerintah mayoritas merupakan masyarakat Lampung. Para kepala daerah di kabupaten sebagian besar merupakan masyarakat Lampung.
Meskipun masyarakat Lampung mayoritas menjadi elite pejabat pemerintah, namun para pejabat ini menjadi minoritas dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan dinamika pemerintahan daerah. Sebab, sebagian besar pelaksana kegiatan sehari-ahri pemerintah daerah bukanlah mayoritas masyarakat Lampung. Dilihat dari jumlah pegawai negeri sipil di provinsi ini, mayoritas merupakan masyarakat Jawa. Komposisi ini hampir sama dengan komposisi penduduk Lampung secara budaya.
Begitu juga halnya dengan kelompok masyarakat lain yang secara komposisi demografi merupakan minoritas. Sebut saja masyarakat Tionghoa di Lampung. Meskipun jumlah mereka sangat minim dan merupakan minoritas, tetapi mereka menjadi mayoritas jika berkaitan dengan realitas dunia bisnis dan usaha.
Artinya, mereka yang menjadi mayoritas di satu sisi, namun dalam bidang-bidang tertentu justru menjadi minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas namun dalam hal tertentu menjadi mayoritas di tengah-tengah kelompok mayoritas itu sendiri.
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, dalam hal tertentu justru tidak dominan, katakanlah dalam hal ekonomi, dimana etnis Cina merupakan kelompok minoritas, tetapi hampir 80 % menguasai perekonomian Indonesia. Di Jayapura komunitas Kristen merupakan kelompok mayoritas, sedangkan komunitas non-Kristen merupakan kelompok minoritas, namun mereka sebagai pendatang secara ekonomi sedikit lebih baik dari kelompok Kristen.
***
Mayoritas dan minoritas bukan suatu persoalan bila masyarakat dapat membangun kebersamaan. Tentu saja tidak sulit bila masyarakat menjadikan perbedaan sebagai suatu kekuatan baru dalam menjaga harmoni.
Dalam masyarakat plural seperti di Lampung, isu-isu etnik, ras, dan agama rentan dan paling mudah menjadi pemicu munculnya prasangka. Prasangka adalah salah satu rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka, tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka itu sudah mencekam, orang tidak akan dapat berfikir obyektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilainya secara negatif. (Effendi, 1981).
Makanya, bagi masyarakat yang plural toleransi dan hidup rukun sangatlah diperlukan untuk meningkatkan rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Bila sikap toleransi yang muncul tidak dilandasi nilai-nilai yang lahir atas kesadaran yang tulus, dapat menjadi bom waktu dikemudian hari. Untuk itulah dibutuhkan interaksi sosial antar kelompok yang berbeda.
Bentuk interaksi yang paling efektif adalah melakuka komunikasi yang terus menerus diantara setiap kelompok, baik melakukan kegiatan bersama atau melalui dialog lintas budaya. Sayang, komunikasi antarabudaya jarang kita temukan di Lampung. Setiap kelompok budaya seolah menjadi eksklusif antara satu dengan lainnya. Masing-masing membentuk wadah yang hanya diisi satu kelompok masyarakat saja. Padahal, dibutuhkan wadah yang menggabungkan semua budaya yang ada di Lampung, sehingga terjadi satu kesatuan diantara perbedaan yang ada.
Kesatuan dalam banyak budaya tidak akan pernah menggabungkan budaya menjadi satu budaya, karena setiap budaya berbeda. Artinya, masyarakat Jawa yang masuk dalam komunitas budaya dimana isinya bukan hanya orang Jawa, tidak akan pernah berubah menjadi orang Lampung, Batak, Sunda, Bali, dan lain sebagainya. Sebaliknya, sangat mungkin akan terjadi asimilasi budaya melalui proses pernikahan antarpasangan berbeda latar belakang budaya, yang justru akan berdampak positif terhadap makin eratnya komunikasi antarabudaya.
Dalam situasi seperti ini, interaksi sosial akan mengalami proses dinamis. Proses tersebut dapat berlangsung dengan adanya pertukaran sosial dalam rangka meningkatkan relasi diantara pihak satu dengan yang lainnya, baik itu pertukaran infomasi, kerjasama, penyatuan persepsi dan kesamaan bertindak. Sangat mungkin, masyarakat seperti ini bisa diharapkan ikut berperan dalam meningkatkan kualitas pembangunan daerah. ***
0 #type=(blogger)