Orang Sakit

by - July 26, 2008

HASAN yakin ia sedang berada di dalam sebuah rumah sakit besar, bersama para pasien, lengkap dengan keluhan-keluhan rasa sakitnya. Rumah sakit besar itu adalah kumpulan klinik. Semula ia tidak yakin soal itu. Tapi, setelah ia berbicaralah dengan sebagian besar manusia, barulah ia yakin.


Mula-mula ia mengajak tukang becak ngobrol-ngobrol. Ketika si tukang becak meng-goes dan ia duduk di dalamnya, sepanjang perjalanan dari pasar ke rumah, ia mencatat sekian banyak keluhan berkaitan rasa sakit yang diderita rakyat kecil. Si tukang becak mengeluh: "Bagaimana para anggota DPRD Lampung itu? Mereka cuma mengurus urusan pribadi, sibuk memperkaya diri. Mereka membicarakan soal bangunan yang tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bukan supaya peraturan dilaksanakan, tetapi agar mereka punya celah untuk "menggerogoti" pengusaha".


Suatu ketika ia berada di gedung DPRD Lampung, dan bercakap-cakap dengan beberapa wakil rakyat. Ia, kembali, mencatat keluhan-keluhan rasa sakit yang diderita para wakil rakyat. Rasa sakit berkaitan perilaku eksekutif, rasa sakit akibat perilaku pengurus partai politik, dan rasa sakit akibat perilaku kawan-kawan sesama legislatif. "Saya tidak mengerti mengapa recal tetap ada, padahal jelas melanggar hak asasi seseorang. Ini negara sedang menuju kehancuran. Itu akibatnya kalau pemimpin tak punya visi ke depan," keluh seorang anggota Dewan.


Beberapa jam kemudian, ia bertemu seorang pejabat pemerintah daerah. Sebutlah orang itu seorang kepala dinas, dan ia mendengarkan keluhannya. "Saya tidak mengerti apa isi kepala para anggota Dewan itu. Sebagai pejabat pemerintah, saya punya tanggung jawab untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), tetapi sebagian besar PAD itu malah untuk membayar gaji mereka. Ditambah perilaku para pengusaha yang selalu meminta dinomorsatukan dalam urusan pembagian proyek, sementara soal pembayaran pajak mereka meminta diposisikan di nomor ke sekian."


Saat itu ia mulai bingung. Selesai bertemu pejabat itu, ia pergi ke warung di komplek kantor pemerintahan daerah untuk mengopi. Di sini, Mpok Elwina, menyerbunya dengan sekian banyak keluhan. Sebetulnya Mpok Elwina tidak bermaksud membebani pikiran Hasan, tetapi ia merasa kurang segar kalau tidak mengungkapkan seluruh unek-uneknya.


Keluh Mpok Elwina: "Kurang ajar para pejabat di kantor ini. Sudah tahu pedagang kecil seperti saya modalnya cuma sedikit, masih juga utang. Eh, malah menyuruh anak buahnya yang bayar utang-piutangnya. Apa mereka tidak punya otak. Bagaimana pejabat seperti itu bisa memikirkan perekonomian rakyat, sementara yang di depan matanya saja tidak bisa dipahaminya?" Mpok Elwina masih berang, dan terlihat belum mau berhenti. "Kalau begini terus, bisa bangkrut aku. Pinjaman aku di bank bisa ndak terbayar."


Hasan diam saja sambil melihat seorang wartawan--Hasan mengenali lelaki itu--masuk warung. Belum duduk, si wartawan itu langsung mengeluh. "Dasar pelit. Dikira dia aku mengirim berita ke kantor pusat tanpa uang. Masa bodohlah! Tak kutulis berita dia ini. Apa kuputarbalikkan faktanya, biar tahu rasa dia...."


Masih banyak lagi yang dikeluhkan si wartawan itu, tetapi Hasan tidak mau mendengarkannya. Sebelum kopinya habis, Hasan pergi sambil menggerutu: "Ah, semua orang punya keluhan. Semua orang sudah jadi pasien." Seseorang yang berpapasan dengan Hasan dan mendengar ggerutuannya, menggeleng. "Sakit orang ini. Kasihan!"

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda