Kasta PNS, Priyayi bagi Rakyat

by - March 30, 2010

Pegawai negeri sipil (PNS) di provinsi ini hanya bisa dibicarakan dalam perspektif sosiologis dengan mengedepankan paradigma stratifikasi sosial. PNS telah menjelma menjadi semacam kasta dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Tumbuh menjulang bagai meninggalkan realitas kehidupan rakyat sebagai kasta paling rendah.


Pekerjaan PNS idealnya memosisikan seseorang sebagai pelayan rakyat (pelayan public dalam bahasa politik demokrasi), dan karenanya mengabdikan diri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, tetapi kini telah berubah menjadi priyayi bagi rakyat. PNS tidak lagi melayani, melainkan dilayani rakyat. Seperti raja, PNS kita menuntut banyak hal dari rakyat.

Ketika rakyat ingin dilayani masalah perizinan, misalnya, maka PNS kita akan menuntut agar rakyat memberi sesuatu yang bisa memperlancar urusan tersebut. Jika rakyat terlihat cerdas, maka PNS akan membuka sekian banyak buku peraturan daerah yang membuat rakyat menjadi sangat tidak menguasai dan begitu bodoh, sehingga semakin kuat alasan untuk menuntut rakyat agar memberi sesuatu.

Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSU) Abdoel Moelok, misalnya, batas antara PNS sebagai priyayi rakyat dengan pasien sebagai rakyat sangat tegas. PNS sebagai priyayi berada dalam ruangan-ruangan yang adem dan rakyat selaku orang yang mintas dilayani jaminan kesehatan keluarga miskinnya berada di lain ruangan. Hubungan antara PNS sebagai priyayi dengan rakyat cuma sebatas lobang kecil di bagian bawah sekat kaca, satu-satunya tempat bagi rakyat untuk menyampaikan berkas-berkasnya.

Di tempat-tempat pelayanan perizinan lainnya, kedudukan PNS sebagai priyayi sangat menonjol. Ketika rakyat hendak mengembangkan perekonomian keluarga dengan membangun sebuah perusahaan, rakyat diubah menjadi bola pimpong yang harus bolak-balik dari satu meja ke lain meja meskipun cuma sekedar mengharapkan tanda tangan dari seorang PNS priyayi. Pada setiap meja yang didatangi, rakyat harus mengiba kepada PNS priyayi dan menyertakan amplop di dalam map agar prosesnya berjalan lancar.

anak PNS jadi PNS

Karena PNS adalah priyayi, maka semua hal dalam kehidupan mereka adalah priyayi. Ketika seseorang menjadi PNS sekian puluh tahun dan mencapai standarisasi jabatan paling tinggi, sudah berarti bahwa orang itu hidup dengan kasta paling tinggi sebagai priyayi public. Karena itu, anak dan keturunannya pun dengan sendirinya mewarisi darah kasta priyayi itu, sehingga tidak ada hal yang bisa melarang anak-anak PNS priyayi untuk menjadi PNS.

Seorang anak PNS seperti sudah menjadi takdirnya untuk diterima sebagai PNS. Apapun alasannya, takdir itu tidak bisa dihalangi. Fakta ini mengedepan dalam kasus Sally Budi Utami, seorang anak PNS yang masih mahasiswa Universitas Lampung. Entah bagaimana caranya, Sally Budi Utami kemudian dinyatakan lulus dalam ujian penyaringan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) di Pemda Kota Bandar Lampung.

Betapa ajaib, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bandar Lampung meluluskan mahasiswa itu, padahal posisi PNS yang diincarn ya hanya diperuntukkan bagi seorang sarjana. Belakangan diketahui, ternyata mahasiswa itu lulus CPNSD Kota Bandar Lampung karena berstatus sarjana Universitas Lampung dengan nomor ijazah 01490/38.5.S1/2008.

Tentu, kelulusan Sally Budi Utami sebuah pukulan telak bagi system rekrutmen CPNSD di Kota Bandar Lampung. Sistem yang sejak awal telah dicurigai public sebagai sebuah siklus dimana para PNS priyayi mendulang keuntungan dari proses sogok-menyogok dan suap-menyuap, kini terbukti kebenarannya.

Kondisi seperti ini hanya akan muncul karena rakyat terlanjur memosisikan PNS sebagai kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat. Menjadi PNS bagi sebagian besar generasi muda seperti Sally Budi Utami adalah pilihan hidup paling realistis, karena seseorang bisa langsung naik derajat dan kastanya. Tidak ada pekerjaan lain di dunia ini yang dapat membuat seseorang mendadak menjadi sangat terhormat di lingkungan sosialnya selain menjadi PNS.

Alasan itu pula yang membuat para orang tua akan melakukan apa saja agar anak keturunannya menjadi PNS. Seandainya disuruh membayar ratusan juta rupiah hanya untuk memastikan nama anaknya muncul dalam daftar para CPNSD, hal itu akan dilakukan meskipun harus menjual seluruh harta benda yang ada.

pelajaran berharga

Kasus Sally Budi Utami mestinya menjadi otokritik bagi kesiapan pemerintah daerah dalam menggelar rekrutmen PNS. Kasus ini menunjukkan system rekrutmen yang menempatkan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dalam kedudukan paling sentral, ternyata tidak cukup jeli dalam menyeleksi berkas-berkas para peserta.

Sampai pada tataran ini, sudah tentu muncul kecurigaan bahwa sesungguhnya para PNS di BKD tidak bekerja secara professional dalam menyeleksi berkas para peserta. Ini terjadi karena orientasi para PNS di BKD bukan untuk menjadi seorang professional, tetapi menjadi PNS priyayi yang ingin dilayani oleh rakyat. Ketika menemukan fakta bahwa Sally Budi Utami adalah anak seorang PNS yang sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia birokrasi pemerintahan daerah, sudah dengan sendirinya hal itu menjadi jaminan bahwa Sally Budi Utami tidak akan menimbulkan masalah besar seperti sekarang.

Sebab itu, pola dan system rekrutmen CPNSD harus dirombak dan diperbaharui, sehingga kasus-kasus seperti Sally Budi Utami tidak lagi muncul. Yang terpenting, rekrutmen CPNSD mampu merekrut sumber daya manusia yang betul-betul dibutuhkan dalam manajemen birokrasi pemerintahan daerah, sehingga kinerja pemerintahan daerah sebagai pelayan public bisa lebih dikedepankan.

Semoga kasus Sally Budi Utami menjadi pelajaran bagi semua pihak yang terlibat rekrutmen CPNSD. Seseorang yang mendaftar sebagai CPNSD tidak mesti dilihat apakah orang itu anak keturunan PNS atau bukan, karena yang terpenting adalah kapasitas dan profesionalisme kerja.

Namun demikian, aparat hokum tetap harus mengusut kasus ini untuk membuktikan bahwa Universitas Lampung tidak ada kaitannya dengan pemalsuan ijazasah. Sebagai institusi pendidikan tinggi yang paling bergengsi di provinsi ini, Unila harus memberi sanksi tegas terhadap semua upaya untuk menjatuhkan kridibilitas dunia pendidikan nasional. *

You May Also Like

1 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda