Buruk Muka, Pers Diboikot

by - April 16, 2012

Oleh Budi Hatees

Dipublikasi di Harian Medan Bisnis edisi Selasa, 6 Maret 2012

Sulit membayangkan institusi partai politik memboikot pers justru pada saat mereka sangat membutuhkan media untuk melancarkan strategi politik menjelang perhelatan Pemilu 2014. Tapi itulah yang dilakukan Partai Demokrat manakala Ketua Bidang Hukum dan HAM Partai Demokrat Jemmy Setiawan mengimbau seluruh kader agar memboikot media massa yang dianggap mengadu domba internal partai dan selalu mendiskreditkan SBY.

Pilihan keliru ini didasarkan pada asumsi yang berkembang di tubuh Partai Demokrat. Bagi Partai Demokrat yang sedang dihantam tsunami politik pasca terbongkarnya kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games oleh Muhammad Nazaruddin, asumsi terhadap pers saat ini sama persis seperti dikeluhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya ketika memeringati Hari Pers Nasional 2012 di Jambi.  "Pers," kata Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu, "harus seimbang."

Di era konglomerasi pers yang sedang melanda negeri ini, sebaiknya keinginan Presiden SBY itu disampaikan di hadapan para calon wartawan saat pelatihan jurnalistik. Galib diketahui semua pekerja  pers,  bahwa seimbang dalam pemberitaan merupakan kewajiban yang tak bisa ditolak karena berkaitan dengan Kode Etik Jurnalistik. Kalau pun ternyata konten isi pers tak menampakkan penghormatan terhadap Kode Etik Jurnalistik itu, persoalannya bukan pada pekerja  pers yang tak paham atas makna kata "berimbang".

Persoalan sesungguhnya terletak pada dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang oleh Presiden SBY dipolakan untuk hanya memosisikan pers sebagai medium penggelembung citra pribadi. Di era Presiden SBY, pers  tak lebih dari medium advertorial yang memaksa pekerja pers untuk tidak lagi melakukan kerja-kerja jurnalistik yang melelahkan dan memakan banyak biaya. Setiap pekerja pers dikondisikan oleh iklim pemberitaan media untuk hanya fokus pada kebaruan dan kecepatan. Variabel dari kedua konsep itu tergantung pada situasi yang ada.

Kerja-kerja pers yang melelahkan, yang mensyaratkan penggalian data dan pengungkapan fakta mendalam dan konprehensif, diasumsikan tidak sesuai lagi dengan iklim pemberitaan tersebut. Ini sangat memanjakan pekerja pers karena mereka akhirnya hanya memburu kegiatan-kegiatan serimonial berupa  jumpa pers, yang memaksa mereka lebih banyak berkumpul di dalam ruangan media (press room) berpenyejuk penuh fasilitas kerja sambil menunggu para narasumber muncul untuk menyodorkan alat perekam tanpa harus mengeluarkan satu pertanyaan pun. Bekerja dengan santai sambil membicarakan gossip tentang gaya hidup dan merancang rencana untuk menikmati akhir pekan di salah satu objek wisata.

Para pekerja pers bukan intelektual yang berpikir secara  kualitatif dalam menyajikan berita. Berita-berita yang mereka dapat di lapangan hampir tak memiliki tesis atau gagasan yang mengendalikan (controlling idea) atas persoalan yang dipersoalkan dalam berita. David Skwire dalam bukunya Writing with a Thesis (1976) menyebut, tesis dalam menyajikan berita adalah semacam penalaran, serupa sense of purpose guna melenyapkan hal-ihwal yang tak berjejak. Tesis merupakan perspektif yang diambil seorang pekerja pers dalam melihat dan menganalisis sebuah persoalan, sehingga pekerja pers itu memiliki dasar intelektual yang kuat dan tidak bisa didikte oleh para redaktur yang hanya bekerja di belakang meja.

Sebab itu, kuantitatif berita menjadi tujuan utama para pekerja pers saat ini, terutama mereka yang bekerja untuk stasiun-stasiun televisi. Kuantitatif berkaitan erat dengan penghasilan mereka karena sebagian besar para pekerja di stasiun televise merupakan koresponden (stranger) yang tak diikat oleh manajemen media dengan kontrak kerja dan saleri yang jelas sesuai upah minimum yang berlaku. Satu-satunya pendapatan mereka secara ekonomi diukur berdasarkan kuantitatif berita yang dipublikasikan stasiun televisi.

Realitas informasi dalam televisi dengan pekerja pers yang tak memiliki tesis dalam menggarap berita, rentan untuk direkonstruksi oleh para produser yang hanya duduk di belakang meja. Para presenter berita di studio merupakan pihak yang kemudian menjadi juru sampai dari hasil rekonstruksi fakta yang dikirimkan para stranger dari lapangan. Alhasil, tidak jarang berita yang muncul di stasiun televisi berbeda dengan realitas yang diliput pekerja pers di lapangan. Karena pekerja pers sendiri lebih memikirkan kuantitas beritanya, soal konten dan perubahan fakta di dalam berita tidak terlalu menjadi masalah.

Pada tataran ini kita tidak bisa mengabaikan teori agenda setting yang dipergunakan para pengelola stasiun televisi dalam mengemas informasi. Mereka memberi pemaknaan baru atas realitas media yang menguntungkan posisinya sebagai pelaku usaha. Apabila stasiun televisi bersangkutan dimiliki konglomerat media yang juga terlibat dalam dunia politik praktis, sangat mungkin realitas dalam media akan dikonstruksi menjadi realitas yang memosisikan lawan politiknya sebagai entitas yang pantas dicemooh.

Tentu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pengawas penggunaan frekuensi penyiaran, tak punya taji untuk sekadar menggertak pengelola stasiun televise agar tak memonopoli frekuensi penyiaran dengan kegiatan-kegiatan partai politik yang sangat terkait dengan kepentingan segelintir pemilik institusi media. Pasalnya, mereka yang duduk di KPI bukan para professional media televise yang punya pengalaman mengelola frekuensi penyiaran dengan strategi bisnis yang hanya ingin meraup sebanyak-banyaknya keuntungan.

Sudah tentu semua ini terjadi karena buruknya regulasi yang mengatur persoalan frekuensi penyiaran televisi, selain regulasi tentang pendidrian institusi televisi. Artinya, pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur munculnya institusi media televisi yang tak professional dalam menyejahterakan karyawannya. Sayang, pemerintah seolah-olah tak punya kemampuan membuat regulasi berkaitan tenaga kerja di bidang media massa.

 Regulasi berkaitan kesejahteraan para pekerja media disamakan dengan regulasi yang diarahkan untuk kepentingan tenaga kerja secara luas, yakni penetapan upah minimum.  Pekerja pers adalah kaum professional yang tidak bisa disejajarkan dengan para buruh pabrik. Karena itu, sistem pengupahan para pekerja pers mesti dibedakan dengan system pengupahan para pekerja lainnya.  Sebab itu, sangat wajar apabila hasil kerja para pekerja pers rentan untuk diputarbalik oleh pemilik media. Banyak kepentingan yang bisa seseorang di stasiun televisi mengubah fakta yang dikumpulkan pekerja pers di lapangan menjadi bertolak belakang dengan realitas yang sebenarnya.

Itulah yang menyebabkan Partai Demokrat yang sedang "luka parah" karena hantaman kasus korupsi yang menyeret para elitenya, dibuat semakin limbung dan kebingungan menghadapi realitas politik yang ada. Inilah bukti bahwa partai politik lain berhasil memanfaatkan kejatuhan Partai Demokrat dengan semakin mempurukkan partai tersebut. Media ada di dalamnya dan menjelma sebagai alat politik.

Penulis adalah pekerja pers, peneliti di Matakata Institute.

Link http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2012/03/06/84839/buruk_muka_pers_diboikot/#.T1WPIIcf5rc

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda