Lampung

by - December 17, 2016



MALAM itu, Sabtu (24 Juni 2006), saya berada di tengah-tengah orang-orang yang terbiasa berbicara dalam metafora, para sastrawan Lampung, orang-orang yang secara nasional banyak menghasilkan puisi dengan kualitas mencengangkan. Tetapi, di dalam acara Bilik Jumpa Sastra yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung, para penyair yang terbiasa bekerja dengan kata sebagai alat operasionalnya, bagai kehilangan kemampuan berbahasanya. Saya juga kehilangan kemampuan berbahasa, karena tidak mengerti dengan makna yang hendak dikomunikasikan oleh sajak-sajak berbahasa daerah itu.

Adalah Udo Z. Karzi--satu-satunya penyair di Provinsi Lampung yang memilih bahasa Lampung sebagai alat ekspresi sastranya--baru saja membacakan puisi-puisinya dalam acara tersebut. Khalayak (sebagian besar penyair), menyaksikan kata-kata dari bahasa Lampung dalam puisi-puisi yang dibacakan Udo Z. Karzi, bagai gumaman yang tak memberi makna apa pun. Selaksa burung, puisi-puisi berbahasa Lampung itu membangun sarang dalam kepala setiap hadirin, entah apa yang akan menetas dari telur-telur yang dititipkan dalam sarang itu.

Namun, bisa dipastikan puisi-puisi Udo Z. Karzi itu seperti juga riwayat bahasa Lampung itu sendiri, segera dilupakan begitu acara pembacaan puisi selesai. Sebab, bagi masyarakat Lampung, bahasa Lampung bukan bahasa yang dapat dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Tak seperti masyarakat Sunda, Batak, Padang, Palembang, Jawa, dan lain sebagainya, yang masih sering mengunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, yang diterima secara luas di lingkungan masyarakatnya. 

Orang Tionghoa tidak akan menggunakan bahasa Cina ketika belanja di pasar-pasar di Kota Palembang, tidak seperti orang Lampung yang justru akan menggunakan bahasa Jawa saat belanja di pasar-pasar di Kota Metro.

Realitas ini sangat mungkin terjadi, karena jumlah penduduk asli Lampung (ulun Lappung) yang menetap di Provinsi Lampung, seperti data di Bappeda Lampung, lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat pendatang, cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Budaya dan Agama (Pusaka) Lampung pada 2005, dari 32,25% ulun Lappung, sekitar 10% berkomunikasi dalam bahasa Lampung, terutama dalam acara-acara berbau tradisi. Bahasa Lampung lebih banyak dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam acara adat (gawi adat), karena ada keyakinan acara adat hanya dianggap sah jika dikerjakan semirip mungkin seperti apa yang dilakukan leluhur budaya, dan dilaksanakan dalam bahasa asli (bahasa Lampung). 

Meskipun demikian, tidak semua bahasa Lampung yang dipergunakan dalam gawi adat dapat dimengerti semua ulun Lappung, karena struktur bahasa Lampung sangat beragam sesuai struktur budaya yang mengayomi marga-marganya. Artinya, tak akan banyak pembaca puisi-puisi berbahasa Lampung itu, yang akhirnya membuat sastra makin berjarak dengan publik pembacanya yang ada di Provinsi Lampung. Sebab, puisi dalam bahasa Indonesia saja, menurut Goenawan Mohamad, merupakan dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia, konon lagi puisi yang ditulis dalam bahasa lokal. Apa yang diuraikan di atas menjadi bukti terjadi alienasi bahasa Lampung oleh ulun Lappung sendiri.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 5 Juli 2006

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda