22 Januari 2012. Salihara mengenang Teuw |
DULU, sekitar tahun 1947 sampai 1950, ada seorang bernama Andries Teeuw. Ia seorang doctor dari Universitas Utrecht di Belanda, seorang filolog.
Filologi berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “cinta kepada sastra dan pengetahuan”. Filologi itu menelaah bahasa dalam kaitannya dengan sastra dan sejarah.
Pada periode awal setelah kemerdekaan Republik Indonesia itu, setiap orang muak terhadap segala yang berbau Belanda. Begitu juga terhadap orang Belanda. Tapi tidak terhadap Andries Teeuw. Ia diterima mengajar di Universitas Indonesia. Dunia sastra kita kemudian mengenal nama itu sebagai A. Teeuw.
Teeuw mendapat predikat sebagai kritikus sastra, terutama setelah terbit bukunya, Voltooid Voorspel (Pokok dan Tokoh). Isi buku itu tentang para sastrawan Indonesia modern dan karya-karya mereka.
Orang menyebut tulisan-tulisan dalam buku itu sebagai karya kritik sastra. Tapi, kalau buku itu kita baca hari ini, kita akan menolak menyebutnya kritik sastra. Kita akan lebih bersepakat menyebutnya apresiasi karya sastra.
Sezaman dengan Teeuw, dunia sastra kita mengenal HB Jassin. Ia juga menulis tentang para sastrawan dan karya mereka. Tulisan itu memiliki gaya penulisan seperti tulisan Teeuw. Tapi tulisan Jassin disebutnya kritik sastra, dan kemudian diterbitkan dalam tiga jilid kumpulan Kritik dan Esei.
Salah satu karya kritik sastra Teeuw yang dianggap berhasil adalah tentang sajak-sajak Goenawan Mohamad dalam kupulan Asmaradana. Orang menyebut Goenawan Mohamad menulis sajak dari mitos subkultur yang khas Indonesia. Tapi, Teeuw yang bukan orang Indonesia, berhasil mengupas kandungan sajak-sajak itu.
Padahal pendekatan Teeuw sangat khas buku Pokok dan Tokoh—karya sastra dikait-kaitkan dengan sosok penulisnya. Sebuah pendekatan klasik dalam teori kritik sastra.
Pendekatan seperti itu, digugat dalam pembicaraan tentang teori sastra di dunia. Tapi di Indonesia, tidak sedikit sastrawan kita mengaku menulis kritik sastra, namun yang dihasilkan hanya karya apresiasi sastra.
***
Cerita tentang Teeuw, juga kesuksesannya membuat kritik atas karya-karya para satrawan kita, bukan lantaran ia memakai teori dan kritik sastra pribumi. Cerita ini penting diingat hari ini, karena belakangan semakin banyak yang mempertanyakan: kenapa tidak ada teori dan kritik sastra khas Indonesia yang diciptakan?
Kenapa? Pertanyaan ini diajukan karena perkembangan sastra kita belakangan semakin bersemangat memuat lokalitas, sehingga teori-teori Barat dikhawatirkan tak mampu memahami ruh lokal itu. Tentu, alasan itu tidak ilmiah karena galibnya teori-teori lahir untuk menjawab persoalan-persoalan universal.
Teori Barat, apapun disiplinnya, relevan dipakai dimana saja. Teori tidak mengenal wilayah negara. Tidak punya kartu tanda penduduk.
Tapi, kenapa pertanyaan itu selalu diajukan, dan sudah menjadi persoalan sejak lama. Meskipun demikian, hingga hari ini kita tidak mendapat jawaban memadai tentang kenapa kita membutuhkan teori dan kritik sastra pribumi?
Saya tak akan menjawab pertanyaan itu. Saya hanya tahu, setiap kali karya ktirik sastra muncul, pijakan yang dipakai para pengkritiknya selalu saja teori dan kritik sastra dari luar Indonesia. Bisa dibilang, tidak sedikit kritik sastra itu yang berhasil memperkaya kandungan karya sastra bersangkutan. Bahkan, para penulis kritik mampu mengungkap dunia batin khas Indonesia di dalam karya itu, sekalipun alat yang dipakai untuk mengungkapkannya bukan teori dan kritik sastra asli Indonesia.
Artinya, tidak ada yang dilanggar soal pemakaian teori dan kritik satra Barat itu. Kritik-kritik sastra itu tetap dibaca, menjadi bahan pembelajaran bagi generasi kritikus sastra. Hingga hari ini, teopri dan kritik sastra Barat tetap dipakai.
Kalau saya diminta membuat sebuah kritik atas karya sastra, saya pun akan memakai teori dan kritik sastra dari Barat. Bahkan, kalau saya diminta mengkritik pantun yang khas Melayu, tidak ada larang bila saya memakai teori kritik sastra dari luar.
Jadi, persoalan sesungguhnya bukan pada “tidak ada kritik sastra asli Indonesia”, tetapi apa yang sesungguhnya kita harapkan dengan merumuskan teori dan kritik sastra khas Indonesia. Padahal, karya-karya sastra kita, terutama yang lahir pada awal dekade 2000, bicara tentang Indonesia sebagai bagian dari warga dunia.
Makudnya, manusia di dalam kesusastraan kita tidak berbeda dengan manusia di luar negeri, kecuali kewarganegaraannya. Manusia Indonesia dalam novel Pulang karya Laila S. Chudori, hidup sebagaimana orang luar negeri dengan nilai-nilai yang jauh dari moral kolektif warga negara Indonesia.
Dalam dunia sajak pun, kita tidak pernah bertemu manusia Indonesia yang khas Indonesia. Yang ada cuma manusia yang hidup dalam peradaban global. Sebut saja manusia moderen dalam sajak-sajak Afrizal Malna. Bicara tentang sajak-sajak Afrizal Malna, sudah tentu hanya bisa dilakukan jika seseorang memakai teori kritik sastra dari luar.
***
Kembali pada Teeuw, orang Belanda yang hidup dengan nilai-nilai peradaban Barat, ternyata pula punya kemampuan luar biasa membaca sajak-sajak Amir Hamzah. tanpa harus mengabaikan ruh Melayunya.
Teeuw tahu kebudayaan Melayu, mengerti pantun. Ketika HB Jassin menyebut Amir Hamzah membawa kekhas tradisi Melayu, Teeuw melihat lebih dari sekadar Melayu pada sajak-sajak Amir Hamzah. Bagi Teeuw, sajak-sajak Amir Hamzah mampu mengatasi keterbatasan bahasa dalam tradisi pantun Melayu. Amir Hamzah, kata Teeuw, menciptakan puisi yang mengejutkan dan kaya karena bunyi asonansi, aliterasi, dan rima yang mendadak di tengah-tengah.
Jadi, sesungguhnya, buka teori dan kritik sastra asli Indonesia yang harus dipersoalkan. Tapi, apakah kemampuan seorang kritikus itu mampu membuat sebuah karya lebih mudah dipahami, lebih kaya makna, dan atau sebaliknya sangat buruk sehingga si sastrawan bisa disebut gagal.***
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda