Lelucon dari Gedung DPR

by - April 16, 2012

Oleh Budi Hatees

Dipublikasi di Jurnal Nasional edisi 19 Januari 2012

SIDANG. Mari kita tidur
Hari-hari terakhir ini ada sebuah lelucon muncul dari DPR. Adalah Marzuki Ali, politisi dari Partai Demokrat, yang melontarkannya. Ketika pekerja media menanyakan perihal megaproyek pembangunan ruang Badan Anggaran DPR yang menghabiskan uang negara Rp20 miliar, ia menyalahkan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR Nining Indra Saleh.

Suaranya tegas, keras, dan mengandung ancaman: "Kalau ia (Nining Indra Saleh) masih menuduh DPR, saya akan memecatnya dari Setjen," katanya.

Nining Indra Saleh disebut Marzuki Ali dan para wakil rakyat lainnya sebagai orang yang memiliki "inisiatif sendiri" untuk membangun ruang Badan Anggaran DPR yang menelan dana APBN sebesar Rp20 miliar. Padahal, perempuan yang mendadak tenar itu tak tampak bertangan besi, orang yang punya kekuasaan untuk berinisiatif sendiri mengeruk uang negara.

Ia justru lebih tampak seperti si Gale-Gale, boneka kayu di Pulau Samosir yang seolah-olah dapat bergerak sendiri, padahal digerakkan seseorang dengan tali-temali yang ada di tubuhnya. Tapi ia boneka yang bisa bicara, yang menyampaikan kepada media bahwa megaproyek senilai Rp20 miliar itu tertera dalam APBD 2011 yang disahkan oleh DPR sendiri.

Sampai di sini, dapat kita bayangkan legislatif seperti apa yang tak tahu kalau ada uang negara senilai Rp20 miliar dicairkan guna membangun fasilitas mewah untuk ruang kerja mereka. Publik yang melek demokrasi dan politik, tak bisa tidak, akhirnya tergelak. Mengakak dengan maksud mencibir wakilnya di DPR, karena kecewa atas lelucon mereka yang tak lucu itu.

Marzuki Ali memang tidak sedang membuat lelucon. Tapi, lelucon yang terasa mengena ke urat syaraf tawa kita adalah lelucon yang disampaikan tidak untuk melucu. Karena lelucon pada akhirnya semacam pelarian, sebuah pembiasan dari persoalan, yang terkesan tidak masuk akal tetapi justru ketidakmasukakalannya itulah norma yang berlaku di dalamnya.

Menyalahkan Nini Indra Saleh, seorang PNS yang tak punya cukup tenaga untuk mengeruk dan memakai uang negara seorang diri, jelas sebuah pembiasan dari norma, etika, dan tata krama yang berlaku umum. Tapi wakil rakyat mencobausahakannya sebagai tata krama baru, norma baru, dan aturan baru yang sesungguhnya, sehingga publik memiliki "kambing hitam" untuk mengarahkan telunjuk dan menyemburkan ludah kekecewaan kepada Nini Indra Saleh.

Di sinilah lelucon itu sangat terasa. Suatu penyimpang atas hal-hal yang sudah umum, seperti ketika Sule yang pembantu dalam sinetron "Awas Ada Sule" menasehati tuannya, Kanjeng Mami, kita paham bahwa etika seperti itu memang inheren dengan sinetron yang dipersiapkan sebagai komedi. Ketika menyaksikannya, kita akan tergelak. Gelak yang sama kita alami ketika Nini Indra Saleh yang hanya seorang Sekretariat Jenderal DPR, sebuah jabatan yang diperuntukkan untuk melayani kepentingan-kepentingan anggota DPR, ternyata memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mendikte para anggota legislatif yang selama ini tak pernah mau didikte siapa pun.

Sayangnya, lelucon dari DPR ini muncul di zaman kita sekarang, di era ketika segala yang lucu sesungguhnya disiapkan untuk menipu. Maka, yang kemudian sangat terasa adalah pembohongan publik, pelanggaran konstitusional atas transparansi informasi publik, dan penyalahgunaan uang negara yang dapat menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk segera melibatkan diri di dalamnya. Berbekal satu pertanyaan bagaimana bisa uang negara Rp20 miliar dikeluarkan dari kas negara, aparat penegak hukum bisa melakukan kerja-kerja penyelidikan dan penyidikan sehingga menjadi jelas siapa yang menggerakkan tali-temali di tubuh Nini Indra Saleh.

Cuma, seperti biasa, tak boleh terlalu berharap kepada aparat penegak hukum. Lembaga-lembaga di negeri ini selalu merekrut para komedian, orang-orang yang bisa jadi sudah membaca tuntas Hegel. Filsuf itu percaya, lelucon tidak sekedar ajakan untuk tertawa setelah ia menikmati komedi-komedi yang ditulis Aristophanes. Dalam Lectures on the History of Philosophy, Hegel menyebut Aristophanes menyajikan “a freedom we would not dream of were it not historically authenticated.

Lelucon bagi Hegel memiliki signifikansi spiritual yang sama dengan kenegarawanan (statemenship), filsafat, dan tragedi. Bernard Freydberg dalam Philosophy & Comedy: Aristophanes, Logos, Eros (2008) menyebut karya Aristophanes dianggap penting karena tema-temanya, yakni tentang negara, filsafat, perang dan perdamaian, gender, dan relasi antara dewa-dewa dengan manusia, itu benar-benar substansial, sehingga komedinya bukan sekedar dan melampaui batas kelucuan dan hiburan belaka.

Mungkin memang Marzuki Ali dan para wakil rakyat sudah sampai setaraf Hegel. Konsepsi mereka tentang lelucon sudah melampaui konotasi koseptual kita tentang lelucon yang berlaku umum, yakni kejenakan seperti lawakan-lawakan yang mengata-katai kekurangan manusia di layar televisi. Lelucon yang membuat kita tak perduli ada atau tidak pesan di dalamnya, tetapi yang pasti kita bisa tergelak.

Sesungguhnya, lelucon paling pas merepresentasikan kehidupan mereka yang bukan berada di lapis atas dalam stratifikasi sosial. Mereka yang suka melucu, tulis Steve Neale dan Frank Krutnik dalam Popular Film and Television Comedy (1990), adalah mereka yang kuasanya terbatas dan lokal, dan yang adat, prilaku dan nilai-nilainya dianggap trivial atau vulgar atau kedua-duanya oleh tatanan kelas di atasnya.

Lelucon merupakan produk dari kebudayaan rakyat, mereka yang tinggal di wilayah lingkungan pedesaan,  yang muncul bersamaan dengan ritual-ritual musim kesuburan agraris. Lelucon milik mereka yang secara sosial tidak punya kekuasaan. Tapi di negeri ini, hampir tidak ada milik rakyat yang tak diambil oleh pemegang kekuasaan. Marzuki Ali sebagai representasi DPR, lembaga negara yang sejajar dengan lembaga presiden, merebut dan mengambil-alih lelucon dari tangan rakyat, dari orang-orang yang memberinya kepercayaan. Rakyat yang terbiasa dengan lelucon paham betul untuk apa lelucon dihadirkan, sama-sekali tidak untuk membela diri dan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam.

Sejarah lelucon di negeri ini setua usia rakyat. Selama itu pula rakyat membangun kebudayaannya dengan khazanah lelucon, yang menghadirkan sosok-sosok seperti Semar, Bagong, Petruk, Gareng (Jawa), Kabayan (Sunda), Pak Alang (Melayu di Medan), dan lain sebagainya. Setiap penganut kebudayaan yang ada di negeri ini memiliki tokoh dan khazanah lelucon masing-masing.

Setiap lelucon disampaikan rakyat terutama untuk menyikapi perilaku para elite, menertawakan dan mengejek perilaku buruk para penguasa itu. Disampaikan dari pedesaan untuk orang pedesaan agar mereka tak terlalu berduka memikirkan pemegang kekuasaan negara yang korup, yang aji mumpung, yang bermewah-mewah dengan uang rakyat justru ketika angka kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi.

Tapi, memang, lawakan Marzuki Ali dan para wakil rakyat yang menyalahkan Nini Indra Saleh,  terasa tak lucu dengan leluconnya. Mereka menempatkan lelucon sebagai bagian dari strategi politik untuk menjaga citra diri dan lembaganya, sekalipun public tahu bahwa mereka yand diseret ke meja hijau karena kasus korupsi pastilah orang-orang yang punya kaitan dengan partai politik di negeri ini. Bisa dipastikan juga, kasus-kasus korupsi itu tidak akan memenuhi rasa keadilan rakyat, seperti yang  kita saksikan dari drama penangkapan Nazarudin. ***

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda