Kata “kritik” di negeri kita, terlanjur dimaknai secara keliru sebagai upaya mengungkapkan kesalahan yang dilakukan orang lain.
Itu sebabnya, setiap kali mendengar kata kritik, kita langsung jengah dan mengasumsikannya sebagai serangan.
Dengan serta-merta kita lantas membangun benteng untuk menampik serangan itu.
Kita mempertahankan diri karena tidak ingin terlihat punya kelemahan, seakan-akan kita manusia super.
Tidak jarang, kita malah mengada-ada. Memaksa membangun benteng dari material yang tak sepenuhnya kokoh, tapi mengesankannya seakan-akan sangat kokoh.
Sesungguhnya kita tidak membutuhkan benteng, karena tidak ada satu pun yang dihasilkan manusia yang tanpa kekurangan. Manusia tidak perlu berpura-pura sempurna. Punya kekurangan justru sangat manusiawi.
Meminjam ucapan filsuf Descartes, kita bisa berteriak: “Saya ada karena saya penuh kekurangan.”
Manusia lahir seperti sebuah benda yang kosong.
Masa hidupnya habis untuk mengisi kekosongan demi kekosongan itu. Dalam proses mengisi itu, manusia cenderung tak bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Setiap nilai mengandung relativitas.
Walter Benjamin dalam sebuah esainya, Theses on the Philosophy of History (1940), mengatakan, kemajuan manusia dalam mengisi kekosongan itu tidak lain hanyalah akumulasi reruntuhan masa lalu, yang tegak berdiri di atas tumpukan korban yang terbungkam.
Milan Kundera menyebut hidup manusia tidak lebih dari perjuangan ingatan dalam melawan lupa.
Manusia, lahir sebagai sebuah benda kosong, pada akhirnya akan tetap kosong. Tidak ada yang final soal nilai.
Inilah ajaran para filsuf dunia, seperti Imanuel Kant, yang akhirnya mengembalikan segala sesuatu dalam urusan manusia kepada hal-hal yang theologis.
Kaum tasawuf di negeri ini barangkali akan menyimpulkan realitas hidup manusia di dunia ini dengan analogi seorang tukang parkir.
Dia bertanggung jawab atas banyak kendaraan, dan ia bisa saja memakai salah satu kendaraan yang ada sesuka hatinya, tetapi dia tetap harus menyadari, para pemilik kendaraan itu suatu saat akan datang mengambil kembali kendaraannya.
Manusia adalah tukang parkir. Memiliki banyak hal, tetapi sifatnya hanya dititipkan.
Manusia dinilai dari apakah dia mampu memanfaatkan titipan itu dengan sebaik-baiknya urusan, terutama untuk meningkatkan ibdahanya kepada Sang Penitip.
Manusia tidak sempurna. Sebagai mahluk tak sempurna, manusia membutuhkan manusia lain, salah satunya untuk mengingatkan tentang apa yang sedang dilakukannya.
Dengan logika seperti ini, kita bisa mensejajarkan kritik sebagai cara manusia lain untuk mengingatkan sesamanya. Sebab itu, kritik harus dibiarkan.
Bila perlu, kritik harus difasilitasi agar sesame manusia bisa saling mengingatkan.
Begitu juga dalam dunia sastra. Mereka yang punya hasrat besar untuk memberikan kritik sastra (menulis karya kritik sastra), mesti diberi ruang yang lebih istimewa. Karena kritik tak akan pernah muncul tanpa laku membaca. Laku membaca adalah budaya positif. Dengan membaca, manusia memperoleh informasi (pengetahuan).
Dengan pengetahuan, manusia bisa memainkan peran sebangai pengingat kepada sesama manusia.
Di era postmoderenisme saat ini, ketika teknologi informasi dan telekomunikasi berkonvergensi, laku membaca tergusur oleh laku bicara.
Banyak orang tidak membutuhkan membaca, tapi justru malah banyak bicara.
Dalam hal ini, kita bisa memahamai, membaca adalah laku mencari dan memperoleh informasi, sedangkan bicara adalah laku memproduksi informasi.
Bisa dibayangkan, apa jadinya jika orang lebih sibuk memproduksi informasi tetapi tidak jelas dari mana sumber informasi itu diperolehnya.
Manusia seperti itu sudah dibayangkan Walter J Ong, ahli komunikasi asal Irlandia, sezaman dengan Marshal McLuhan, membicarakan perkara itu dalam bukunya, Orality and Literacy, The Technologizing of the Word (1982).
Seharusnya, laku membaca (literacy) dan laku bicara (orality) saling mendukung. Ong sampai pada simpul, munculnya laku membaca tidak serta-merta meniadakan laku bicara, atau sebaliknya, bahkan dalam laku membaca akan memunculkan laku bicara ”lapis dua” (secondary orality).
Kritik sastra, upaya memproduksi informasi (pengetahuan). Produksi informasi yang hanya bisa dilakukan setelah membaca karya sastra.
Sebab itu, kritik sastra bisa digolongkan sebagai laku bicara lapis dua untuk memproduksi pengetahuan yang bisa menjamin adanya sebuah makna tentang kepastian pada kita.
Makna itu berupa teks yang terbentuk melalui jalinan huruf yang membentuk kalimat dan ujaran yang bermakna, memberikan rasa kepastian kepada kita. Suatu pengertian yang pra-teks (seperti pikiran yang ada di benak kita, atau percakapan longgar dalam sebuah diskusi) biasanya tak stabil. Agar suatu pengertian bersifat stabil, dibutuhkanlah teks sebagai “baju” yang memberikan bentuk yang kurang lebih pasti terhadap kekaburan makna pra-tekstual.
Artinya, kritik sastra bisa berakhir sebagai sebuah teori sastra, yang akan menjadi panduan bagi siapa saja pembaca karya sastra. Bukankah sejarah teori dalam ilmu pengetahuan berangkat dari penelusuran atas tiga hal subtansial dari filsafat ilmu pengetahuan: epistemology, ontology dan aksiologi.
Kritik sastra salah satu cara untuk menjawab tiga hal itu. Misal, kritik sastra lahir dari upaya menjawab aksiologi karya sastra terhadap kita.
Cuma, tidak semua orang akan berusaha memahami apakah kritik sastra ditulis berdasarkan tiga subtansial dalam filsafat ilmu pengetahuan itu atau tidak, sehingga buru-buru melakukan benteng untuk menampik apa yang diyakininya sebagai serangan.
Kritik bukan serangan yang syarat atas kebencian, tapi penguatan atas nilai-nilai yang sedang diperjuangkan karya sastra.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda