Sastra Modern (Berbahasa) Lampung
Kilu mahap nihan, kutulis esai inji. Dengan segala maaf, saya tulis esai ini.Saya sebenarnya telah "kena marah" oleh ulun tuha yang tentu lebih paham dengan apa yang mereka sebut sebagai sastra tradisi (dan karena itu biasanya dalam bentuk lisan) Lampung. Saya mungkin salah karena telah menulis kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia Momentum (2002).
Sayangnya mereka yang memarahi saya tidak menuliskan kemarahan mereka dalam bentuk tulisan. Tapi, hanya lewat lisan yang langsung atau tidak langsung saya dengar, baik di situasi formal maupun informal.
Ada beberapa sebab mengapa mereka memarahi saya. Pertama, saya secara sadar memakai huruf "r" untuk huruf "gh" atau "kh" yang selama ini diributkan masing-masing penganutnya. Padahal, menurut mereka, dalam bahasa Lampung tidak dikenal huruf r, tetapi gh atau kh.
Kedua, para tuha-tuha adat adat juga menganggap saya telah semau-mau menulis sajak. "Kamu itu benar-benar ngawur!" kata mereka. Sebab, sastra Lampung itu tidak begitu. Ada sanjak abab atau aaaa atau ..., coba lihat contoh konkrit berbagai jenis puisi Lampung lainnya (dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, dan lain-lain).
Ketiga, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa Lampung "tinggi" yang biasa dituturkan jelma Lappung dalam acara ghasan buhimpun (musyawarah adat) atau upacara adat lain. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Lampung sehari-hari yang sering saya pakai di Liwa, Lampung Barat. Ini, bisa jadi, mereka anggap merusak bahasa Lampung.
Keempat, sajak-sajak Lampung yang saya tulis hampir sama sekali tidak memuat nilai-nilai tradisi Lampung seperti pi'il pesenggiri (pi'il pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan). Saya malah menuliskan masalah-masalah kekinian (kontemporer) dalam bentuk puisi dengan bahasa sehari-hari dan seperti diucapkan sambil lalu saja. Bahkan, dalam beberapa sajak saya justru bersikap kritis terhadap apa yang "sudah dianggap tradisi" itu.
Saya memang sama sekali tak hendak mengindah-indahkan bahasa puisi saya, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia.Sayangnya, kritik atau "kemarahan" tuha-tuha adat ini tak pernah dituangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, sekian bulan saya berharap buku kumpulan sajak saya itu mendapatkan apresiasi yang memadai dari mereka yang katanya ingin mengembangkan seni-budaya Lampung. Tapi, saya pun harus segera maklum. Sebab, budaya tulis masih belum melekat dalam diri kita. Kita masih lebih suka dengan segala bentuk kelisanan, termasuk dalam sastra (berbahasa) Lampung yang sering disimpelkan dengan menyebutkan sastra tradisi Lampung.
Lalu, saya mendapat undangan untuk mengikuti sebuah acara bertajuk "Pertemuan Dua Arus", sebuah acara pembacaan karya oleh sastrawan tradisi dan sastrawan modern, 21 Juli 2004. Saat Direktur Jung Foundation Christian Heru Cahyo Saputro mengontak saya dan bertanya, "Anda memilih arus tradisi atau arus modern?" saya sempat berpikir, saya ini tergolong sastrawan tradisi atau modern. Tapi, agar tak terlalu berlarut-larut, saya segera menjawab saja, "Tradisi."
Malam itu bertemulah dua jenis karya sastra yang disebut tradisi dan modern. Dari arus modern berderet nama Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Sugandhi Putra, Budi P. Hatees, Dyah Indramertawirana, Panji Utama, Eddy Samudra Kertagama, Sugandhi Putra, Ahmad Julden Erwin, Iswadi Pratama, Dyah Indra Mertawirana, Arie Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, AM. Zulqornain, dan Inggit Putria Marga membacakan puisi atau cerpen modern (sastra berbahasa Indonesia).Sedang dari arus tradisi, ada Masnuna, Havisi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Dermawan Sutan, Sutan Purnama, Sutan Punyimbang Sutan, A. Roni Angguan, Johan Ratu Bahagia, Paksi Marga, Ria Gusria, Solihan, Rosila, Abas Sutan Oelangan, Andi, Yusnawati, Indra Bangsawan, Heri Junaidi, dan Nurdin Darsan melantunkan dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, termasuk lagu klasik Lampung.
Dua arus: tradisi dan modern bertemu saat itu. Sastra tradisi -- secara kebetulan -- hampir semua berbahasa Lampung. Sebaliknya, sastra modern -- secara kebetulan -- hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan saya? Kebetulan saya membacakan sajak hampir di penghujung acara ketika para apresiasian seni satu per satu meninggalkan pertunjukkan. Dalam bahasa Lampung, saya katakan, saya ingin membacakan sajak yang sebetulnya menurut saya modern. Cuma saya memilih menggunakan bahasa Lampung. Maka, saya bacakan dua sajak berbahasa Lampung: "Repa Nyak Dapok Lupa" (Bagaimana Mungkin Aku Lupa) dan "Kik Cawa Mak Tiregai Lagi" (Bila Kata Tak Dihargai Lagi) sebagaimana orang biasa membaca puisi. Sebabnya, saya memang tidak bisa membacakan puisi Lampung itu seperti para seniman Lampung lainnya melantunkan dadi, wayak, pisaan, dan berbagai bentuk puisi tradisi Lampung itu.
Terus terang sejak awal saya memang bingung, mau ditempatkan dimana puisi-puisi (berbahasa) Lampung saya. Tradisi atau modern? Kalau saya berkeras sajak saya modern, pendengarnya boleh dibilang mayoritas tidak mengerti apa yang saya katakan dalam bahasa Lampung. Terus kalau puisi saya tradisi -- toh akhirnya malam itu saya digolongkan sastrawan tradisi -- rasanya saya tidak meneruskan tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Saya "kayak" mengada-ada dan menyalahi "pakem" sastra (berbahasa) Lampung.
Belajar dari sastra (berbahasa) Indonesia, sampai kini toh masih ada pertanyaan, bahkan polemik tentang kapankah sastra (modern) Indonesia lahir. Ada pakar sastra Indonesia yang bilang, sastra Indonesia dimulai pada 1920. Tapi, ada juga yang mengatakan, sejak tahun 1870-an dengan ditandai dengan terbitnya puisi "Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi" (anonim)" yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).
Maka, berdebatlah A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana.Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga.
Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.Dengan tegas Braginsky menyatakan, "Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia. Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya." (lihat: Asep S. Sambodja, 2004).
Dengan acuan di atas, kita juga berhak bertanya, adakah sastra modern Lampung atau atau kapankah sastra modern Lampung lahir? Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang aneh karena kita telah menyaksikan sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang ada sekarang telah menjadi sastra modern.Ukuran modern memang relatif, tetapi dalam esai ini "sastra modern" lebih mengacu pada struktur atau bentuk karya sastra. Kalau dari segi isi atau tema, sastra modern bisa saja berisi nilai-nilai tradisi. Atau sebaliknya, sastra tradisi (biasanya lisan) berisi nilai-nilai modern.
Kalau orang bicara sastra (berbahasa) Lampung, maka yang segera disodorkan adalah bentuk-bentuk sastra tradisi Lampung yang karena masih tradisi, biasanya dituturkan secara lisan secara turun-temurun. Sastra tradisi lisan Lampung dengan begitu menjadi milik kolektif sebuah komunitas, katakanlah masyarakat adat Lampung di tempat-tempat tertentu. Biasanya juga sastra tradisi ini sering melekat dalam berbagai upacara adat Lampung.
Sastra tradisi lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung dan sebagai penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya.
Menurut pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi, sastra lisan Lampung dapat mendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik, memupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama, menunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung, dan menunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Dalam keterbatasan ruang tentu tidak pada tempatnya jenis-jenis sastra tradisi lisan Lampung ini dibahas satu per satu dan diberikan contohnya di sini. Tapi, dalam berbagai diskusi jenis-jenis sastra tradisi inilah dikhawatirkan punah. Penyebabnya, antara lain regenerasi penutur atau pembaca sastra sebut saja dadi yang sering dilantunkan Masnuna, seniman sepuh Lampung terlampau lambat kalau bukan hampir macet. Pertanyaannya kan, masih adakah yang bisa membawakan dadi selain Masnuna dan sedikit seniman lainnya?
Di sinilah, letak kegelisahan itu. Sastra tradisi lisan sebagaimana sebutannya, diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas adat, tidak pernah dituliskan, dan sering anonim. Kalau pun sekarang ada yang menuliskan, tentu yang menuliskan sastra tradisi itu tidak berhak mencantumkan namanya sebagai penulis atau pencipta karya itu. Sebab, itu bukan karya pribadinya. Soalnya, ia hanya menuliskan sastra lisan yang ia ingat dan pernah popular dalam masyarakat adat. Sastra tradisi milik kolektif dan tidak diketahui siapa penciptanya.
Dengan latar seperti itulah, saya kemudian mencoba menulis sajak-sajak modern (berbahasa) Lampung, yang kemudian antara lain terkumpul dalam buku: Momentum (2002). Sebetulnya, penerbitan buku itu memang ingin saya jadikan momentum bagi kebangkitan sastra modern Lampung. Maka, saya perlu mengucapkan terima kasih banyak kepada sahabat Kuswinarto, orang Metro yang kini tinggal di Malang, Jawa Timur dan Binhad Nurrohmat, penyair Lampung Timur yang bermukim di Jakarta; yang telah mengapresiasi buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia tersebut.
Sajak-sajak saya dalam buku itu memang sama sekali tidak lagi patuh pada tata aturan atau kaedah perpuisian (berbahasa) Lampung yang selama ini dikenal masyarakat (ulun) Lampung. Ya, saya ngawur seperti yang dituduhkan tuha-tuha adat. Dalam sajak-sajak, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia, saya mencoba lebih "bebas" (lengkapnya lihat Kuswinarto, 2003 dan Binhad Nurrohmat, 2003).
Dalam pengantar buku kumpulan sajak saya itu, saya tuliskan: inji ampai muwak ni. Artinya, saya masih berharap banyak pada perkembangan dan kemajuan sastra Lampung. Tradisi dan modern berjalan seiring. Lagi pula, tradisi atau modern dalam karya sastra terkadang sulit dipisahkan. Saya hanya mau menekankan bagaimana agar kehidupan sastra Lampung (dengan tekanan menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku) tetap berkembang dinamis dengan segala kreatifitas para pendukung sastra Lampung; sastrawan Lampung sendiri. Tegasnya, sastrawan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahan baku bagi proses kreatifnya. Mengapa tidak?
Meski agak basi karena terlalu sering diucapkan pejabat, terpaksa saya gunakan juga kalimat klise berbunyi: mak tanno kapan lagi, mak gham sapa lagi.Tabik.
BACAAN:
1. Asep S. Sambodja. Dua 'Kiblat' dalam Sastra Indonesia". Cybersastra, 03 September 20042.
2. Binhad Nurrohmat. "Kebangkitan Sastra Lokal". Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juni 2003.
3. Kuswinarto. "Sastra Lampung Merindukan Hujan Sastrawan". Cybersastra, 8 Januari 2002.
4. Kuswinarto. "Udo Z. Karzi dalam Peta Puisi (Berbahasa) Lampung". Cybersastra, 28 Mei 2003.5.
5. Udo Z. Karzi. "Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tak Merata". Cybersastra, 9 Januari 2002.
6. Udo Z. Karzi. "Sastra (Berbahasa) Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan". Teknokra, November 2003.
Esai ini ditulis Udo Z Karzie dan disiarkan di Koran Festival, Edisi Istimewa, Oktober 2004
Sayangnya mereka yang memarahi saya tidak menuliskan kemarahan mereka dalam bentuk tulisan. Tapi, hanya lewat lisan yang langsung atau tidak langsung saya dengar, baik di situasi formal maupun informal.
Ada beberapa sebab mengapa mereka memarahi saya. Pertama, saya secara sadar memakai huruf "r" untuk huruf "gh" atau "kh" yang selama ini diributkan masing-masing penganutnya. Padahal, menurut mereka, dalam bahasa Lampung tidak dikenal huruf r, tetapi gh atau kh.
Kedua, para tuha-tuha adat adat juga menganggap saya telah semau-mau menulis sajak. "Kamu itu benar-benar ngawur!" kata mereka. Sebab, sastra Lampung itu tidak begitu. Ada sanjak abab atau aaaa atau ..., coba lihat contoh konkrit berbagai jenis puisi Lampung lainnya (dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, dan lain-lain).
Ketiga, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa Lampung "tinggi" yang biasa dituturkan jelma Lappung dalam acara ghasan buhimpun (musyawarah adat) atau upacara adat lain. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Lampung sehari-hari yang sering saya pakai di Liwa, Lampung Barat. Ini, bisa jadi, mereka anggap merusak bahasa Lampung.
Keempat, sajak-sajak Lampung yang saya tulis hampir sama sekali tidak memuat nilai-nilai tradisi Lampung seperti pi'il pesenggiri (pi'il pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan). Saya malah menuliskan masalah-masalah kekinian (kontemporer) dalam bentuk puisi dengan bahasa sehari-hari dan seperti diucapkan sambil lalu saja. Bahkan, dalam beberapa sajak saya justru bersikap kritis terhadap apa yang "sudah dianggap tradisi" itu.
Saya memang sama sekali tak hendak mengindah-indahkan bahasa puisi saya, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia.Sayangnya, kritik atau "kemarahan" tuha-tuha adat ini tak pernah dituangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, sekian bulan saya berharap buku kumpulan sajak saya itu mendapatkan apresiasi yang memadai dari mereka yang katanya ingin mengembangkan seni-budaya Lampung. Tapi, saya pun harus segera maklum. Sebab, budaya tulis masih belum melekat dalam diri kita. Kita masih lebih suka dengan segala bentuk kelisanan, termasuk dalam sastra (berbahasa) Lampung yang sering disimpelkan dengan menyebutkan sastra tradisi Lampung.
* * *
Lalu, saya mendapat undangan untuk mengikuti sebuah acara bertajuk "Pertemuan Dua Arus", sebuah acara pembacaan karya oleh sastrawan tradisi dan sastrawan modern, 21 Juli 2004. Saat Direktur Jung Foundation Christian Heru Cahyo Saputro mengontak saya dan bertanya, "Anda memilih arus tradisi atau arus modern?" saya sempat berpikir, saya ini tergolong sastrawan tradisi atau modern. Tapi, agar tak terlalu berlarut-larut, saya segera menjawab saja, "Tradisi."
Malam itu bertemulah dua jenis karya sastra yang disebut tradisi dan modern. Dari arus modern berderet nama Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Sugandhi Putra, Budi P. Hatees, Dyah Indramertawirana, Panji Utama, Eddy Samudra Kertagama, Sugandhi Putra, Ahmad Julden Erwin, Iswadi Pratama, Dyah Indra Mertawirana, Arie Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, AM. Zulqornain, dan Inggit Putria Marga membacakan puisi atau cerpen modern (sastra berbahasa Indonesia).Sedang dari arus tradisi, ada Masnuna, Havisi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Dermawan Sutan, Sutan Purnama, Sutan Punyimbang Sutan, A. Roni Angguan, Johan Ratu Bahagia, Paksi Marga, Ria Gusria, Solihan, Rosila, Abas Sutan Oelangan, Andi, Yusnawati, Indra Bangsawan, Heri Junaidi, dan Nurdin Darsan melantunkan dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, termasuk lagu klasik Lampung.
Dua arus: tradisi dan modern bertemu saat itu. Sastra tradisi -- secara kebetulan -- hampir semua berbahasa Lampung. Sebaliknya, sastra modern -- secara kebetulan -- hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan saya? Kebetulan saya membacakan sajak hampir di penghujung acara ketika para apresiasian seni satu per satu meninggalkan pertunjukkan. Dalam bahasa Lampung, saya katakan, saya ingin membacakan sajak yang sebetulnya menurut saya modern. Cuma saya memilih menggunakan bahasa Lampung. Maka, saya bacakan dua sajak berbahasa Lampung: "Repa Nyak Dapok Lupa" (Bagaimana Mungkin Aku Lupa) dan "Kik Cawa Mak Tiregai Lagi" (Bila Kata Tak Dihargai Lagi) sebagaimana orang biasa membaca puisi. Sebabnya, saya memang tidak bisa membacakan puisi Lampung itu seperti para seniman Lampung lainnya melantunkan dadi, wayak, pisaan, dan berbagai bentuk puisi tradisi Lampung itu.
Terus terang sejak awal saya memang bingung, mau ditempatkan dimana puisi-puisi (berbahasa) Lampung saya. Tradisi atau modern? Kalau saya berkeras sajak saya modern, pendengarnya boleh dibilang mayoritas tidak mengerti apa yang saya katakan dalam bahasa Lampung. Terus kalau puisi saya tradisi -- toh akhirnya malam itu saya digolongkan sastrawan tradisi -- rasanya saya tidak meneruskan tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Saya "kayak" mengada-ada dan menyalahi "pakem" sastra (berbahasa) Lampung.
* * *
Belajar dari sastra (berbahasa) Indonesia, sampai kini toh masih ada pertanyaan, bahkan polemik tentang kapankah sastra (modern) Indonesia lahir. Ada pakar sastra Indonesia yang bilang, sastra Indonesia dimulai pada 1920. Tapi, ada juga yang mengatakan, sejak tahun 1870-an dengan ditandai dengan terbitnya puisi "Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi" (anonim)" yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).
Maka, berdebatlah A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana.Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga.
Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.Dengan tegas Braginsky menyatakan, "Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia. Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya." (lihat: Asep S. Sambodja, 2004).
Dengan acuan di atas, kita juga berhak bertanya, adakah sastra modern Lampung atau atau kapankah sastra modern Lampung lahir? Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang aneh karena kita telah menyaksikan sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang ada sekarang telah menjadi sastra modern.Ukuran modern memang relatif, tetapi dalam esai ini "sastra modern" lebih mengacu pada struktur atau bentuk karya sastra. Kalau dari segi isi atau tema, sastra modern bisa saja berisi nilai-nilai tradisi. Atau sebaliknya, sastra tradisi (biasanya lisan) berisi nilai-nilai modern.
* * *
Kalau orang bicara sastra (berbahasa) Lampung, maka yang segera disodorkan adalah bentuk-bentuk sastra tradisi Lampung yang karena masih tradisi, biasanya dituturkan secara lisan secara turun-temurun. Sastra tradisi lisan Lampung dengan begitu menjadi milik kolektif sebuah komunitas, katakanlah masyarakat adat Lampung di tempat-tempat tertentu. Biasanya juga sastra tradisi ini sering melekat dalam berbagai upacara adat Lampung.
Sastra tradisi lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung dan sebagai penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya.
Menurut pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi, sastra lisan Lampung dapat mendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik, memupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama, menunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung, dan menunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Dalam keterbatasan ruang tentu tidak pada tempatnya jenis-jenis sastra tradisi lisan Lampung ini dibahas satu per satu dan diberikan contohnya di sini. Tapi, dalam berbagai diskusi jenis-jenis sastra tradisi inilah dikhawatirkan punah. Penyebabnya, antara lain regenerasi penutur atau pembaca sastra sebut saja dadi yang sering dilantunkan Masnuna, seniman sepuh Lampung terlampau lambat kalau bukan hampir macet. Pertanyaannya kan, masih adakah yang bisa membawakan dadi selain Masnuna dan sedikit seniman lainnya?
Di sinilah, letak kegelisahan itu. Sastra tradisi lisan sebagaimana sebutannya, diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas adat, tidak pernah dituliskan, dan sering anonim. Kalau pun sekarang ada yang menuliskan, tentu yang menuliskan sastra tradisi itu tidak berhak mencantumkan namanya sebagai penulis atau pencipta karya itu. Sebab, itu bukan karya pribadinya. Soalnya, ia hanya menuliskan sastra lisan yang ia ingat dan pernah popular dalam masyarakat adat. Sastra tradisi milik kolektif dan tidak diketahui siapa penciptanya.
* * *
Dengan latar seperti itulah, saya kemudian mencoba menulis sajak-sajak modern (berbahasa) Lampung, yang kemudian antara lain terkumpul dalam buku: Momentum (2002). Sebetulnya, penerbitan buku itu memang ingin saya jadikan momentum bagi kebangkitan sastra modern Lampung. Maka, saya perlu mengucapkan terima kasih banyak kepada sahabat Kuswinarto, orang Metro yang kini tinggal di Malang, Jawa Timur dan Binhad Nurrohmat, penyair Lampung Timur yang bermukim di Jakarta; yang telah mengapresiasi buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia tersebut.
Sajak-sajak saya dalam buku itu memang sama sekali tidak lagi patuh pada tata aturan atau kaedah perpuisian (berbahasa) Lampung yang selama ini dikenal masyarakat (ulun) Lampung. Ya, saya ngawur seperti yang dituduhkan tuha-tuha adat. Dalam sajak-sajak, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia, saya mencoba lebih "bebas" (lengkapnya lihat Kuswinarto, 2003 dan Binhad Nurrohmat, 2003).
Dalam pengantar buku kumpulan sajak saya itu, saya tuliskan: inji ampai muwak ni. Artinya, saya masih berharap banyak pada perkembangan dan kemajuan sastra Lampung. Tradisi dan modern berjalan seiring. Lagi pula, tradisi atau modern dalam karya sastra terkadang sulit dipisahkan. Saya hanya mau menekankan bagaimana agar kehidupan sastra Lampung (dengan tekanan menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku) tetap berkembang dinamis dengan segala kreatifitas para pendukung sastra Lampung; sastrawan Lampung sendiri. Tegasnya, sastrawan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahan baku bagi proses kreatifnya. Mengapa tidak?
Meski agak basi karena terlalu sering diucapkan pejabat, terpaksa saya gunakan juga kalimat klise berbunyi: mak tanno kapan lagi, mak gham sapa lagi.Tabik.
BACAAN:
1. Asep S. Sambodja. Dua 'Kiblat' dalam Sastra Indonesia". Cybersastra, 03 September 20042.
2. Binhad Nurrohmat. "Kebangkitan Sastra Lokal". Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juni 2003.
3. Kuswinarto. "Sastra Lampung Merindukan Hujan Sastrawan". Cybersastra, 8 Januari 2002.
4. Kuswinarto. "Udo Z. Karzi dalam Peta Puisi (Berbahasa) Lampung". Cybersastra, 28 Mei 2003.5.
5. Udo Z. Karzi. "Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tak Merata". Cybersastra, 9 Januari 2002.
6. Udo Z. Karzi. "Sastra (Berbahasa) Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan". Teknokra, November 2003.
Esai ini ditulis Udo Z Karzie dan disiarkan di Koran Festival, Edisi Istimewa, Oktober 2004
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda