Ayah saya, Rencong P. Hutasuhut, seniman asli. Ia guruku, menyeretku pada rasa cinta yang hebat terhadap masyarakat (beserta segenap antropologi sosialnya). Seni rupa adalah bidangnya, tetapi karena kesibukannya sebagai birokrat pemerintah (Lurah), ia jarang berkarya. Sekali-sekali ia melukis, menciptakan papan-papan merek dan nama untuk mempercantik kelurahan. Ia membuat tugu di perempatan jalan menuju kelurahan. Keasyikannya menghias kelurahan membuat kelurahan kami selalu tampil sebagai kelurahan percontohan.
Sedang ibuku, seniman asli. Ia pengrajin manik-manik. Semua yang ia lakukan hanya untuk menginspirasi warganya agar memiliki mata pencaharian yang tetap. Tahun 1980-an, ibuku memulai usahanya merusak tradisi. Ia memotong-potong ulos dan mengubahnya menjadi berbagai peralatan rumah tangga, hiasan, dan seni kerajinan tangan. Mula-mula para hatobangon (pemuka adat) tak menyetujui, tapi setelah usaha itu diikuti banyak orang dan warga memiliki mata pencaharian tambahan, usaha itu akhirnya diterima masyarakat.
Dari tangan ibukulah kerajinan manik-manik berkembang menjadi seni kerajinan tangan.
Post a Comment
Terima kasih atas pesan Anda