Membaca Sajak-Sajak Okky Sanjaya
BEBERAPA tahun lalu, seorang buruh sebuah pabrik di Tangerang, diseret ke meja hijau. Sepotong sandal butut menjadi penyebabnya. Laki-laki lemah dan kurus itu, terhenyak mendengar vonis jaksa penuntut. Tak menyangka niat luhurnya mendirikan salat Zuhur di musalah pabrik akan berakhir di jeruji besi.
Ia dituduh mencuri sandal butut itu, padahal ia hanya memakai sandal itu saat mengambil wudhuk.
Kisah buruh dan sandal butut, menyasar ke relung-relung medan kehidupan kita sebagai potret kelam dari kemiskinan, kelemahan, dan ketertindasan manusia. Si buruh personifikasi yang kalah di hadapan hagemoni kapitalis, diktator baru di zaman komersialisasi yang mengemas keangkuhannya menjadi pasar dan menegasikan etika serta moralitas social. Sandal butut itu, yang seharusnya menjadi sampah, menjadi alat pembunuh nilai kemanusiaan.
Metamrfosa sandal dalam sajak Okky bukan pada wilayah medan makna idiomatic, melainkan pada ranah pribadi Okky sendiri, dimana ia memanfaatkan kekuasaan akan kemerdekaan personal untuk membebaskan sandal dari kungkungan makna. Jika kapitalis pemilik pabrik membebaskan sandal butut dari makna sebagai barang usang yang layak jadi sampah menjadi barang luar biasa yang dapat menjebloskan seorang buruh ke penjara atau mencabut hak asasi manusia, maka Okky membebaskan makna yang mengekang sandal dari sesuatu yang diterima sebagai alas kaki menjadi hal-hal lain di luar fungsi yang disandang sandal selama ini.
Berbeda dengan pemilik barik, Okky memberi ruang sebebas-bebasnya bagi sandal untuk menjadi apa saja. Sandal tak perlu mesti manut, hanya mengusung makna tunggal, menggadang-gadang makna itu, dan memaksakan diri agar segala bentuk penafsiran berakhir dengan makna yang tunggal itu. Tidak ada otoritas dan karenanya tidak ada sikap otoriter untuk memaksakan makna tunggal. Yang ada cuma kebebasan dan kemerdekaan, sesuatu yang diidam-idamkan ummat manusia. Dengan kebebasan dan kemerdekaan, pembaca akan dibawa pada medan makna yang lebih kaya saat membaca sajak-sajaknya. Medan makna yang membebaskan pembaca dari segala ketakbebasan selama ini.
SANDAL bisa menjadi apa saja yang pembaca inginkan. Kita baca sajak “Bila Sandalku Telah Tiba”: bila sandalku telah tiba, dinda, hadapi saja_dunia yang serba ingin/tetap tertulis bersih. Sebagai tamu, nantinya kau akan mengerti pergi. /beranjak dari sekian tema, dari sekian kepiting kembara. Tak ada/salak anjing malam ini. Purnama belum tiba. Reranting mangga/tak terdengar patah di ujung seketika. Kecuali bila kau anggap/ini setia.
Sandal berada pada kedudukan metaforis. Diksi ini akrab dengan keseharian pembaca. Tapi, orang pasti membela diri bahwa setiap sajak memang tumpukan metafora, karena hakikat bahasa sesunguhnya metaforis. Sambil mengutif Roland Barthes dalam “The Death of the Author”, orang akan memberi pembenaran bahwa makna yang diniatkan seorang penyair dalam sajak-sajaknya, belum tentu akan diamini pembaca. Pembaca punya kebebasan besar untuk menafsir teks berdasarkan ranah pengetahuan, pengalaman, dan kebudayaan yang membentuknya. Mereka berhak memaknai apa pun tanpa harus dibayang-bayangi sosok penyair.
Tapi, sulit mengabaikan bahwa tafsir dan tradisi menafsirkan teks sastra akan memerdekakan manusia. Tafsir merupakan bentuk lain dari penjajahan terhadap manusia, dimana manusia mesti taklit dan patuh pada teori-teori tafsir sehingga mengabaikan kemungkinan-kemungkinan metaforis lain dalam berbahasa. Orang tidak sepenuhnya menjadi merdeka dalam menafsirkan teks sastra, mereka membiarkan diri dijajah oleh konvensi penafsiran. Mereka akan mengutif Barthes, Foucault, Saussure, Derrida, dan para pembawa post-strukturalis. Lebih usang lagi, mereka akan mengungkit sejarah bahasa, lalu sampai pada khazanah paling tradisional dari bahasa yang mantra.
Dalam sejarahnya, bahasa (kata) adalah penjajahan terhadap manusia. Aktivitas manusia dalam berbahasa merupakan penyakit pikiran. Manusia berusaha menamai benda-benda di sekitarnya, lalu penamaan itu menjadi konvensi. Manusia mewariskan konvensi itu tanpa reserve, manut dan tunduk. Tidak boleh ada makna lain di luar konvensi. Melanggar konvensi bahasa dituduh sebagai kegiatan yang hanya dilakukan orang yang tak waras. Padahal, tuduhan tidak waras lebih tepat ditujukan kepada manusia yang terlalu manut pada konvensi.
Maka, kata sandal diterima manusia sebagai alas kaki. Tapi, makna itu dimasabodohkan dalam sajak Okky. Sandal bukan cuma alas kaki. Konvensi bahasa bukti bahwa manusia belum merdeka sepenuhnya, hidup dalam alam keterkekangan. Manusia moderen adalah mahluk yang dilahirkan ke bumi sebagai individu yang terjajah. Begitu seorang bayi lahir ke dunia, saat itu juga ia menjadi mahluk yang dijajah. Mahluk yang taklit pada konvensi bahasa, membiarkan dirinya menjadi primitif, percaya pada kandungan magi setiap kata. Padahal kata mengalami diakronis, perkembangan dan perubahan dari masa ke masa memiliki pengaruh yang besar terhadap masa depan bahasa. Maka sandal, sebagai alas kaki, mengandung makna yang lebih dari sekedar alas kaki.
Diakromis bahasa hanya terjadi dalam situasi merdeka. Kata mesti dimerdekakan, karena hal itu berarti memerdekan manusia selaku pemiliknya. Di zaman Orde Baru, gejala eufemisme (penghalusan) bahasa telah menghasilkan entitas yang tidak manut pada konvensi, dimana bahasa dimerdekakan dari beban makna. Bahasa (kata) menjadi kaya makna. Kata “kiri”, misalnya, lebih dipahami dalam logika nasionalisme kebangsaan, bukan logika personal. Secara perlahan, kata “kiri” identik dengan sesuatu yang mesti dihindarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau pemikiran Derrida dipakai, maka cara berbahasa Okky menemukan relevansinya. Makna dalam kata tidak sepenuhnya mampu menggambarkan realitas. Sebab itu, dalam berbahasa, kita mesti membebaskan diri dari “logosentris”. Artinya, penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking). Sementara tulisan, merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Apa yang dikemukakan Paul de Man, seorang teoritikus terkemuka dari Yale University, tentang bahasa sebagai teks sastra, layak dimunculkan di sini. De Man berpendapat bahwa ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.
Okky merupakan generasi baru kepenyairan Lampung. Mengawali keterlibatannya dalam khazanah kesusastraan sebagai pembaca puisi yang serius (ia sering mendapat penghargaan karena kemampuannya “membaca” puisi begitu luar biasa), Ia membaca Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan penganut renaisan Barat sampai Sutardji Calzoum Bachri yang memberi makna baru pada mantra (magis kata). Ia juga membaca Isbedy Stiawan ZS yang menjadi ikon sastra kontemporer Lampung sampai Udo Z. Karzi yang tampil sebagai ikon sastra tradisi Lampung. Semua sajak yang dibacanya, membawa Okky pada simpul bahwa “penyair bukan entitas yang merdeka”. Nilai berbeda ia berikan pada Sutardji Calzoum Bachri. Kerja keras Suratdji membebaskan kata dari medan makna, sedikit banyak memengaruhi cara Okky berbahasa.
Dari “membaca” sajak-sajak, Okky menulis sajak. Sajak-sajak itu diperlihatkan kepada para penyair Lampung, tetapi karena cara berbahasanya melesat dari konvensi berbahasa para penyair kontemporer Lampung, tidak jarang pilihan diksi Okky dipersalahkan. Diksi-diksi dalam sajak terlalu konvensional. Terlalu banyak aturan. Teralu banyak tidak boleh. Terkekang. Tidak merdeka. Sastra, yang memerdekakan itu, di tangan para penyair Lampung justru sangat mengekang, sangat tidak memerdekakan.
Tapi, ketika Lampung Post membuka ruang Klinik Sastra pada decade awal 2000-an, Okky datang membawa sajak-sajaknya. Udo Z. Karzi yang mengasuh ruang yang dipersiapkan Lampung Post sebagai konsultasi sastra dalam rangka meregenerasi sastrawan di Lampung, kemudian menerbitkan sajak-sajak itu bersama dengan kritik pendek. Sejak itu, Okky makin sering menulis sajak, mengirimkannya ke sejumlah media dan kemudian menjadi bagain dari sastrawan Lampung.
Sayang, ruang Klinik Sastra tak muncul lagi. Kehadirannya yang sebentar, mampu merangsang kelahiran regenerasi sastrawan Lampung, yang memiliki kemerdekaan penuh atas aktivitas berkesusastraan. Beberapa nama dari generasi muda Klinik Sastra, kemudian bermetamorfosis, tak sedikit yang gagal. Okky termasuk yang bermetamorfosis, karena aktivitas berkesusastraan baginya tidak semata kegiatan menulis. “Apakah seorang penyair itu seorang filsuf?” tanyanya kepada saya.
Saya paham pertanyaan itu berangkat dari Subagio Sastrowardoyo dalam Simponi (1973) yang mengatakan “puisi adalah filsafat”. Tapi George Boas dalam ceramahnya yang terkenal, Philosophy and Poetry mengatakan “pemikiran dalam puisi biasanya basi”. Namun, upaya menjawab pertanyaan itu akhirnya membawa Okky pada sejarah pemikiran, yang membuatnya menyadari bahwa aktivitas berkesusastraan harus membuat seseorang memiliki sikap hidup intelektual: selalu mencari, selalu mengkaji, dan selalu tidak puas.
TAK puas pada sajak yang berangkat dari konvensi bahasa, membuat sajak Okky memiliki cara ungkap yang berbeda dari kebanyakan penyair Lampung saat ini. Ia tidak ikut hanyut dalam keseragaman pola ucap lirik naratif, yang diwariskan secara turun-temurun dari tradisi bersastra a la Unit Kegiatan Mahasiswa Bahasa dan Seni (UKMBS) Universitas Lampung. Komunitas yang menjelma sebagai “sekolah seni” di Lampung ini, banyak menghasilkan penyair , tetapi para “siswanya” selalu membawa ciri khas dari almamaternya. Sebuah sikap yang pasrah atas konvensi UKMBS, yang membuat menulis sajak hanya sebuah aktivitas kebersamaan, dan jangan bicara kemerdekaan di sana.
Penyair Lampung muncul dalam semangat pewaris konvensi yang membuat mereka bagai plagiator, Okky muncul dengan kesadaran penuh untuk memerdekakan penyair dari kekangan konvensi berbahasa itu. Mari kita baca sajak “Mengikat Pinggul Gorden”: cahaya apalagi yang kau persilahkan masuk/bukankah sejak tadi kita tak mematikan lampu,/mematikan gigi palsu?/ Apakah kau tak ingin ikut/melihat rembulan? Tidak. Aku takut cemburu. Atau sajak “Bertemu di Bukit Sandal”: kita diawali pergi, dan mencoba saling mengunjungi/mengetuk atau menjejak statusmu sebagai pencuri.
Satu hal yang bias ditangkap dari sajak-sajak itu, sebuah anjuran yang pernah dikeluhkan Alan A. Stone dan Sue Smart Stone dalam The Abnormal Personality Through Literature. Kita mesti memperlakukan sastrawan (pengarang) sebagai kolega, yakni orang yang dengan kerja keras berusaha mengungkapkan pengalaman hidupnya. Sastrawan adalah juru bicara realitas, tetapi tidak ada masyarakat yang memberi aplaus atas usaha mereka. Bahkan, para sastrawan sendiri sering saling mengejek, seolah-olah pekerjaan yang dilakukan sastrawan lain hanyalah kesia-siaan.
Hal ini terjadi karena sastrawan sebetulnya bukan orang yang merdeka. Mereka hidup dalam lingkungan yang dijajah oleh konvensi. Keterkekangan membuat mereka berpandangan sempit, dan menilai karya sastra orag lain bukan karya sastra. Sebab itu, mari kita rayakan kemerdekaan kreatif dari penindasan konvensi.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda