Dana Kesenian, Dana Publik
1
Dua "seniman" Lampung, Isbedy Stiawan ZS dan M. Arman AZ--kebetulan keduanya berasal dari dunia sastra--berbicara tentang kesenian di Lampung selama tahun 2009 (Lampung Post edisi 31 Desember 2009 dan edisi 3 Januari 2010). Seperti sudah bersepakat, keduanya saling mendukung, terutama bicara tentang anggaran dalam APBD Lampung untuk memajukan kesenian.
Keduanya, meratap dan nyaris merengek mengenai minimnya anggaran dalam APBD untuk kesenian. Kesimpulan yang dibuat, pemerintah daerah kurang perduli terhadap perkembangan kesenian di Lampung.
Tulisan kedua sastrawan itu mengacu pada hasil diskusi tentang kesenian di Bilik Jumpa Sastra, forum yang digelar UKMBS Universitas Lampung. Tentu, sudah ada penambahan di sana sini, sehingga mengesankan bahwa persoalan anggaran untuk kesenian itu menjadi ahwal yang sangat penting.
Sekarang kita balik logika berpikir kedua seniman itu. Selama ini, sejaka Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, sudah banyak anggaran APBD yang dialokasikan untuk menghidupkan lembaga yang dikelola para seniman ini. Ratusan juta setiap tahun anggaran digelontorkan, lalu pengurus DKL membagi-bagikannya untuk dikelola berbagai devisi.
Dana untuk DKL itu adalah dana publik, dana dari APBD. Galibnya dana publik, sudah tentu akuntabilitasnya harus jelas. Bagaimana dana itu dikelola. Untuk kegiatan apa saja dana itu? Lantas, apa hasil yang diperoleh? Ada atau tidak pengaruhnya terhadap perkembangan kesenian di provinsi ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab. Setiap elemen masyarakat yang mempergunakan uang rakyat (uang negara) mesti jelas pertanggung jawabnnya. Tapi, publik di Lampung tidak pernah mendengar DKL mempertanggungjawabkan dana publik itu secara transparan.
2
Seniman, dimana subtansi kesenimanan itu.
Saya berteman dengan para seniman yang duduk di kaki lima, di kawasan sebuah lorong di Kota Bandar Lampung. Setiap kali ngobrol dengan mereka--sambil mengeluarkan rokok dan memesan kopi di warung--kami senantiasa membicarakan bagaimana caranya agar hasil kerja mereka dilirik pengusaha-pengusaha, lalu diproduksi massal sebagai barang kesenian.
Mereka, seniman yang murni ini, tiap hari saya temukan berkarya. Semua yang disebut sampah--potongan kertas, kardus bekas, pecahan kaca nako, pasir laut, kerikil, potongan kayu, daun-daun kering--menjadi karya seni di tangan mereka. Lem yang diberi warna, bisa berubah jadi lukisan yang indah.
Semua karya itu mereka jajakan di kaki lima. Pembelinya tak banyak. Hasilnya pun tak cukup. Mereka tetap berkarya. Istri dan anak mereka tertawa. Di dalam rumah mereka yang tak standar dan higenis, suara tawa senantiasa pecah.
"Kami acap berpikir dunia ini tidak suka karya seni. Kapasitas kami bukan memikirkan itu, tetapi berusaha menghasilkan karya seni sehingga dunia ini berubah menjadi menyukai seni."
Saya tidak bilang menjadi seniman harus menjadi kere. Tapi, saya menolak menjadi semiman harus menjadi cerewet dan suka mengemis APBD.
Seniman adalah orang kreatif. Seorang kawan seniman, Bambang Suroboyo--perupa yang tidak pernah lelah memarketing diri dan orang lain, bahkan berusaha belajar jurnalistik agar mampu membuat tulisan yang bagus tentang karya seni--suatu hari mengundang semua seniman dari lorong itu. Mereka, para seniman, diberi pelatihan manajemen, marketing, dan peningkatan kualitas hasil karya.
Saya, kebetulan sebagai fasilitator dalam kegiatan itu, berbicara tentang bagaimana mereka memanfaatkan media untuk mempromosikan karyanya.
Selama proses pelatihan, juga setelah pelatihan dan dalam berbagai pertemuan, tidak ada seorang pun diantara mereka yang mencereweti dana APBD. Mereka tidak pernah memikirkan soal itu. Yang banyak dipersoalkan justru "karya apa lagi yang harus dihasilkan".
Bambang Suroboyo memperkenalkan kepada mereka industri kerajinan. Mereka memahami membuat produk-produk kerajinan yang sangat kreatif, mulai dari gantungan kunci, pin, pamplet, bingkai foto, sampai figura lukisan yang berkelas mewah. Belakangan saya menemuka karya mereka, terutama figura buatan mereka, sudah dipajang di beberapa hotel bintang. Mereka yang membuat figura, tidak lantas menjadi sombong dan mendesak pemerintah untuk mengalokasikan dana APBD. (bersambung)
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda