Cerita
Sinopsis. Berkisah tentang Ibram (Bram), punya ibu seorang konglomerat asal Lampung, yang sibuk keluar negeri. Bram tak pernah merasa menjadi anak orang kaya raya, malah marasa sebagai anak malang yang pantas dikasihani. Punya ayah, Syarifuddin, seorang pengangguran dan petualan politik, yang hidupnya senantiasa dipenuhi pengandai-pengandaian untuk menjadi sesuatu.
BAGIAN 1
Di dalam bus yang membawanya meninggalkan Terminal Kampung Rambutan, pemuda itu termenung. Ia menatap keluar melalui kaca jendela. Tidak ada satu Bennynyda yang tertangkap matanya. Antara otak dan syaraf matanya tidak berkaitan. Otaknya mengembara. Matanya menatap sayu.
Bus melesat di jalan tol. Ia berharap semuanya tinggal bersama keberangkatannya. Ia sandarkan punggung di kursi yang tak empuk, berusaha memejamkan mata untuk melupakan semua hal yang membuat pikirannya sangat kacau.
“Ibu punya rencana agar kamu tinggal di Lampung,” tergiang lagi ucapan ibu. “Ibu dan ayah sepakat, kau perlu mengetahui kenyataan lain dari kehidupan ini.”
Masih banyak hal disampaikan ibu. Ia mendengarnya seperti pemBennynyarkan. Tapi ia tidak menyimaknya. Ia terlanjur kecewa karena keputusan itu begitu mendadak. Tak ada pembicaraan awal. Lebih kecewa lagi karena alasan itu terdengar mengada-ada: “mengetahui kenyataan lain dalam hidup”.
Ia berpikir kenyataan lain seperti apa yang diharapkan ibu. Awalnya ia mencoba mendebat. “Apakah saya begitu membebani ibu dan ayah selama ini?”
Ibu tidak setuju dengan istilah itu.
“Kami tak merasa dibebani. Kami hanya ingin agar kau belajar tentang kehidupan orang-orang lain. Kehidupan yang berbeda 100 derajat dari apa yang kau alami saat ini.”
“Apa perlunya?”
“Bagimu tidak, tetapi bagi ibu.” Ibu bicara dengan nada suara yang lembut. “Kau satu-satunya pewaris bisnis-bisnis kita. Ibu harus mempersiapkanmu untuk mengelola....”
“Sudahlah, Bu, saya tidak tertarik menjadi penerus bisnis ibu. Saya punya cita-cita sendiri,”
“Bram.” Ibu meninggikan volume suaranya. “Tolong beri Ibu kesempatan untuk mewujudkan cita-cita ibu.”
“Cita-cita!? Bagaimana dengan saya. Apakah ibu pernah bertanya apa yang saya inginkan. Apa cita-cita saya?”
“Ibu mengerti.” Ibu tersenyum. “Tapi, kau tidak paham banyak hal, termasuk kestabilan cita-cita seorang anak seusia dirimu. Hari ini kau ingin jadi penerbang, besok kau ingin jadi pembalap, besoknya lagi kau ingin jadi yang lain. Terlalu banyak hal hebat yang kau ingin berada di dalamnya.”
“Ibu tidak pernah bertanya. Bahkan saya merasa ibu tidak pernah ingin tahu.”
“Tidak ada yang melarangmu untuk mencapai keinginanmu.”
“Bagaimana saya bisa mencapai keinginan saya. Ibu memaksakan kehendak agar saya jadi seperti keinginan ibu.”
“Tidak, Bram, jangan berpikir begitu. Kau bisa meraih impian-impianmu. Kau bisa berusaha mencapai cita-citamu. Ibu sadar kau punya harapan yang kau bangun sendiri. Tapi, kau tidak pernah cerita soal itu kepada ibu. Ibu tidak tahu apa harapanmu, cita-citamu....”
“Bagaimana saya bisa bercerita. Ibu tidak pernah punya cukup waktu untuk mendengarkan saya.”
“Ayah kan ada.”
“Ayah!?” Ia mencibir. “Tak ada bedanya. Ibu dan ayah terlalu sibuk untuk punya sedikit waktu menanyakan keinginan-keinginan saya.”
“Waktu ibu habis untuk memikirkan masa depanmu.”
“Masa depan. Seperti kata ibu, seusia saya belum berpikir tentang masa depan. Yang terpenting hari ini. Ini saja sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa masa depan saya tidak akan jauh lebih baik.”
“Jangan berkata begitu.”
“Sekarang saja saya tidak menikmati apa yang ibu pikir saya nikmati.”
“Bram!” Volumen suara ibu naik lagi. “Semua ini untuk kamu. Ibu melakukannya untukmu.”
“Bagaimana ibu bisa melakukan sesuatu untuk saya, sementara ibu tidak pernah bertanya apa yang saya inginkan.”
“Maafkan ibu!” Tiba-tiba ibu melembut. “Ibu baru sadar ternyata kau sudah dewasa. Ibu....”
“Sudahlah, Bu.” Ia memotong. “Pelajaran seperti apa yang ibu harapkan jika saya tinggal di Lampung?”
Ibu menarik nafas. Wajahnya tampak gelisah. “Ibu jadi ragu apakah hal ini bagus untukmu.”
“Ragu? Kenapa?”
“Tanpa harus ke Lampung, ibu lihat kau sudah punya sikap. Itu yang ibu inginkan.”
Ia mendesah, mengangkat kepala dari sandaran kursi. Menoleh ke luar melalui jendela bus. Segala yang ingin ditinggalkannya bukan saja tak mau tinggal, tapi mengendap dalam pikirannya. Menjadi pikiran itu sendiri. Berlintasan seolah di hadapnnya ada sebuah layar lebar. Seolah ia sedang menonton pesawat televisi, di sana semua berlangsung begitu jelas. Potongan-potongan gambar itu, adegan-adegan itu… ah, semua yang tampak adalah ayah.
Ayah tak ikut mengantarnya sampai ke Terminal Kampung Rambutan. Bahkan tidak terlihat ketika ia hendak meninggalkan rumah. Mungkin ayah merasa tak enak. Ia juga tak menginginkan itu, meskipun ia tak menyimpan keBennynycian kepada ayah.
Hanya ibu yang mengantar, dan sepanjang perjalanan dari rumah ke terminal, berkali-kali ibu menyayangkan keputusannya karena menolak diantar sopir sampai ke Lampung. “Tidak usah. Saya bisa sendiri,” katanya.
Ia juga menolak ketika ibu mau mengantarnya sampai ke dalam bus. “Sampai di sini saja,” kata dia.
Ibunya tampak berat. Tidak. Ia melihat ibunya lebih tampak tidak percaya bahwa ia bisa berangkat sendiri ke Lampung. Banyak hal dikhawatirkan ibu, tetapi ia selalu mampu mementahkan segenap kekhawatiran ibu.
“Kau bisa bawa satu mobil ke Lampung. Kenapa kau tidak mau?” kata ibu. Masih banyak hal yang dikatakan ibu, semua tentang kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Ia menganggap bukan sekedar kekhawatiran. Lebih tepat sebagai ketidakyakinan, lebih parah lagi, sesungguhnya ibu tidak Bennynyar-Bennynyar yakin ia sudah cukup dewasa untuk bepergian seorang diri.
“Saya tidak sendirian di dalam bus, ibu,” katanya. “Ada sopir, ada juga penumpang lainnya.”
“Kau…,” ibu mencoba tersenyum, “kau masih mencoba bercanda.”
“Saya hanya ke Lampung, tapi ibu memperlakukan saya seolah-olah saya tidak akan pernah kembali.”
Ibu mengangguk. “Ibu menyayangimu.”
“Sudahlah, Bu, kita sudah membicarakan semua itu.”
“Tapi, sayang.”
Ia memberi isyarat agar ibu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia dan ibu sudah membahas hal itu sejak lama. Segalanya. Tentang kasih sayang, masa depan, harapan, keinginan, dan…. Semuanya memberi kesan terlalu berlebihan.
“Saya akan baik-baik saja seperti kata ibu.” Ia tersenyum. Ia tahu ibu masih belum rela. Ia tidak perduli. Naik bus dan memilih tempat duduk. Ia coba membuang bayangan tentang ibu. Ia pejamkan mata. Ia tidak melirik lagi ke luar, ke tempat dimana ibu masih berdiri. Ketika bus bergerak meninggalkan terminal, barulah ia buka mata.
***
“BRAM itu anak baik, Nyonya,” kata Rustam. “Maaf kalau saya ikut campur.”
Rustam, sopir pribadi yang berusia 45 tahun itu, berbicara sambil melirik kaca sepion, memastikan reaksi Nyonya Wardhani. Kalimat itu diucapkannya dengan sangat hati-hati, dan sudah dirancangnya sejak bertolak dari Terminal Kampung Rambutan. Keberaniannya untuk bicara baru muncul ketika mobil mulai memasuki mulut jalan tol, ketika Nyonya Wardhani terlihat sangat kehilangan.
Nyonya Wardhani menatap keluar melalui jendela mobil. “Ia tidak cocok dengan ayahnya. Saya takut ia menjadi durhaka kepada orang tuanya.” Suara Nyonya Wardhani sangat lembut. “Saya kira ini jalan terbaik, tapi saya merasa ada yang hilang dari diri saya ketika Bram naik bus itu.”
“Itu perasaan wajar. Tidak seorang ibu pun yang rela melihat anaknya pergi sekalipun untuk kebaikan.”
“Berapa anakmu?” Nyonya Wardhani mengalihkan pembicaraan.
“Empat. Dua kuliah, satu masih SMA, dan yang bungsu duduk di kelas dua SMP.”
“Dengan empat anak, kau punya pembanding antara anak yang satu dengan anak lainnya. Saya cuma punya satu, cuma Bram. Saya sangat takut kehilangan dia, apalagi kalau terjadi sesuatu pada dirinya.”
“Nyonya mestinya bersyukur. Bram itu bukan tife anak muda yang bersikap aneh.”
“Bersikap aneh apa maksudmu?”
“Banyak anak muda seusia Bram yang hidup tidak karuan di Jakarta ini. Orang tua tidak bisa mengontrol mereka setiap hari karena sibuk bekerja dan mengurusi urusan lain. Anak sulung saya misalnya. Saya betul-betul pusing menghadapinya.”
“Kenapa dengan anakmu.”
“Dia tidak pernah menyadari posisinya sebagai anak seorang sopir. Sikapnya seolah-olah ia anak orang kaya, semua kesenangan anak muda harus dinikmati sehingga ibunya yang dipaksa memenuhi keinginan-keinginannya. Ada banyak anak muda seperti anak sulung saya, tapi Bram tidak.”
“Maksudmu.”
“Sepengetahuan saya Bram itu baik. Sama sekali tidak nakal. Memang, dalam usia seperti sekarang, dia butuh perhatian lebih dari orang tuanya.”
“Saya memperhatikannya.”
“Maaf, Nyonya. Mungkin belum cukup.”
Nyonya Wardhani mengangguk. “Saya memang terlalu sibuk. Mestinya perhatian lebih dia dapat dari ayahnya, tapi ayahnya pun tampaknya sangat sibuk.”
“Anak-anak lain yang berada dalam posisi Bram pasti akan menjadi anak broken home. Berbeda dengan Bram, dia tidak.”
“Kau banyak memperhatikannya.”
“Kadang saya kasihan melihatnya. Dia kesepian, Nyonya.”
“Apa yang harus saya lakukan?”
“Dengan mengirimnya ke Lampung saya yakin Bram akan mendapatkan semua yang diinginkannya.”
“Saya juga berharap. Tapi, Bram sepertinya tidak senang.”
“Itu sementara saja, Nyonya. Dalam waktu singkat Bram pasti sudah bisa memaklumi kenapa Nyonya memilih mengirimnya ke Lampung.”
“Bagaimana kalau tidak?”
“Nyonya harus memberinya kepercayaan. Bram itu anak yang baik. Dia berbeda dengan kebanyakan anak muda seusianya.”
“Terima kasih. Percakapan ini membuat saya sedikit lega.”
“Nyonya harus bersyukur. Nyonya termasuk sukses mendidik Bram meskipun hampir tidak punya waktu untuk memperhatikan perkembangannya.”
“Tunggu seBennynytar, saya mau menelepon suami saya,” kata Nyonya Wardhani.
Rustam melirik kaca sepion. Nyonya Wardhani tampak mengeluarkan handphone dari tasnya. Dia memencet kipet pada handphone. “Hallo, Pa. Bram sudah berangkat.”
“Dia baik-baik saja?”
“Sedikit agak kecewa.”
“Tidak apa-apa, nanti juga dia sudah melupakannya. Saya sudah menelepon Bang Rahman di Lampung. Dia senang betul.”
“Syukurlah.”
“Kita sama-sama berdoa semoga Bram dapat pengalaman berharga.”
***
“Akhirnya Bram yang menanggung semua,” Supardi marah. “Kasihan anak itu.” Laki-laki paroh baya itu meninggalkan kamar Siti. Dua pembantu lainnya, Laila dan Denok, masih di kamar itu. Mereka berusaha menenangkan hati Siti yang baru saja dimarahi Supardi.
Dari luar kamar, masih terdengar suara Supardi. “Kita tidak punya siapa-siapa lagi. Semua karena kamu.”
“Sudahlah, Pak!” teriak Laila. “Siti juga tidak menginginkan seperti ini. Siti Cuma mengikuti kemauan Tuan Syarifuddin.”
“Kalian bersekongkol.”
“Siapa yang bisa menolak?” Laila keluar kamar dan menghampiri Supardi. “Bapak sendiri tidak bisa menolak.”
“Tapia pa akibatnya. Bram menganggap semua itu Bennynyar. Dia kecewa, dia….”
“Aku juga kecewa.” Laila memotong. “Semua kecewa.”
“Kenapa Kalian menurut?”
“Bagaimana kami menolaknya. Kami takut diberhentikan.”
“Siti juga akan diberhentikan.”
BAGIAN 2
DI dalam bus yang melajut di jalan tol, Bram menebar tatapan. Mula-mula matanya tertumbuk pada laki-laki gendut dengan kumis acak-acakan di belakang setir. Sopir itu tampak bagai seorang tahanan yang baru saja kabur dari penjara dengan cara menyogok sipir penjaga, sementara di belakangnya satu pleton brigadir mobil mengejar dengan kegilaan yang sama. Bus melaju pada kecepatan tinggi. Dari mulut sopir itu berbual-bual asap rokok. Ia tampak tak berbeda dengan cerobong asap pabrik-pabrik yang ada sepanjang jalan tol, yang terlihat dari jendela bus seolah berkejar-kejaran.
Di belakang sopir itu, seorang perempuan muda dengan kerudung warna hijau toska. Ia duduk gelisah. Seakan ada jarum di kursinya. Berulang-ulang ia kibaskan jemari agar asap rokok tak terhirup. Sekali-sekali terdengar suara batuknya, bagai dipaksakan untuk mencari perhatian. Tentu tidak ada yang perduli. Bahkan, pemuda yang duduk di sampingnya, mungkin teman dekatnya, hanya melepas tatapan ke luar jendela. Barangkali pemuda itu perokok berat juga, jadi tidak terlalu masalah baginya kalau asap rokok si sopir menghambur begitu liar. Seandainya tak ada tulisan “Dilarang Merokok” di depannya, tepat di sandaran kursi sopir, barangkali ia akan merokok juga.
Semestinya perempuan berkerudung itu tidak bertahan di kursinya, tetapi pindah ke kursi lain karena masih banyak kursi kosong. Atau, setidaknya ia menegur sopir itu agar tidak merokok. Tapi ia tidak melakukannya. Mungkin ia punya alasan lain untuk tetap bertahan di bangku itu, hanya dirinya yang tahu. Mungkin ia menyukai pemuda di sampingnya. Mungkin ia kenal laki-laki itu, tetapi hubungan mereka sedang bermasalah, sehingga mereka duduk bersebelahan seolah-olah tidak saling mengenal. Pemuda itu duduk sambil menatap ke luar, menerawang, entah membayangkan apa. Barangkali pemuda itu sedang memikirkan kalimat terakhir yang diucapkannya kepada perempuan itu, yang kemudian membuat perempuan itu tersinggung, lalu mereka perang mulut. Mungkin, awalnya mereka saling bercanda, lalu canda mereka menjadi keterlaluan. Lantas, seperti sekarang, mereka saling mendiamkan. Perempuan itu duduk sambil mengibas-kibaskan jari-jemarinya, juga terlihat seperti menerawang.
Siapa tahu pula sesungguhnya perempuan itu menyukai asap rokok, atau mungkin ia seorang perokok, tetapi ia berpura-pura tidak bisa terkena asap rokok. Toh, setiap orang punya alasan sendiri untuk tetap mempertahankan pendiriannya. Kalau ia sangat terganggu dengan asap rokok sopir itu, ia bisa melancarkan protes. Apalagi di Jakarta ada peraturan daerah yang memberi sanksi bagi orang yang merokok di tempat umum. Bukankah Gubernur Sutiyoso sudah menyosialisasikannya dengan gencar? Kalau toh setelah peraturan daerah itu berlaku, dan sosialisasi sudah dilakukan dengan gencar lewat berbagai jenis media, ternyata masih saja ada orang yang merokok di tempat umum, pastilah orang itu sedang menantang keseriusan pemerintah dalam menegakkan hukum yang berlaku.
Sejak sebelum bus berangkat, sopir itu sudah memperlihat gelagat akan merokok dalam bus. Seperti juga laki-laki bercelana jins ketat dengan warna biru yang memudar, yang menjadi kenek bus. Ia sibuk mengacak-acak tempat compac dick disusun, di atas kepala sopir, entah mencari apa. Sementara asap dari rokok yang terselip di sudut bibirnya berbual-bual. Televisi 14 inci di atas kepalanya menampilkan seorang penyanyi perempuan dengan lirik lagu yang begitu sendu. Tetapi kenek itu terlihat tidak suka dengan lagu itu, mungkin juga dengan penyanyinya, dan berniat menggantinya. Cuma, pekerjaannya tertunda ketika sopir yang perokok itu memberi isyarat agar ia jangan mengganti lagu itu.
Sambil menggerutu kenek itu pergi ke belakang. Ia menghitung jumlah penumpang, semuanya delapan orang. Sepasang muda-mudi duduk di jejeran ke enam, asyik bercakap-cakap. Dari percakapan pasangan itu ketahuan mereka hendak mengunjungi keluarga si perempuan di Banten untuk membicarakan rencana pernikahan mereka. Mereka begitu berbahagia. Mungkin juga sambil membayangkan bahwa mereka sudah menikah, mempunyai beberapa orang anak, dan…. Seorang laik-laki paroh baya dengan wajah berminyak, duduk pada bangku di belakang pasangan yang mau menikah itu, berusaha untuk bisa tertidur. Tentu saja ia gagal karena deru mesin sangat serak. Tiga orang lagi, sepasang suami istri dengan seorang anak laki- laki usia tiga tahun yang wajahnya sangat memelas. Anak itu pasti menderita suatu penyakit sehingga ia sebentar-sebentar menangis. Suaranya serak dan memuakkan. Matanya besar dengan kelopak yang mengkirut. Kedua orangtuanya tidak berusaha menyuruh anak itu diam. Mereka terlibat percakapan yang menegangkan tentang situasi pernikahan mereka yang bagai telur di ujung tanduk. Berkali-kali si istri mengulang-ulang kalimat yang sama, yang intinya menuduh si suami berselingkuh dengan perempuan lain. Si suami tidak terima dituduh, balik menuduh si istri sering melirik tetangga mereka. Masing-masing bersitegang. Semakin tinggi volume suara mereka, semakin kencang tangis anak yang penyakitan itu.
Tiba-tiba kenek muncul dari belakang dan menegur pasangan yang bertengkar itu. “Maaf, Pak, Bu, tolong anaknya didiamkan.” Seharusnya kenek itu hanya mengatakan itu, tetapi dia masih melanjutkan kalimatnya. “Suara tangisnya mengganggu kenyamanan penumpang lain.”
Mendengar kalimat terakhir itu, si suami malah ngotot. “Apa urusannya dengan kamu.”
Seharusnya kenek itu menyadari kalau si suami itu sedang emosi, dan memutuskan tidak usaha meladeninya. Tapi, kenek itu malah tersinggung karena diBennynytak begitu. Suaranya meninggi, dia mengancam akan menurunkan si suami itu. Si suami tambah marah dan berusaha memukul si kenek. Si kenek sekarang betul-betul marah dan memberi isyarat kepada sopir untuk menghentikan mobil, lalu mobil berhenti.
“Kau keluar!” teriak kenek. “Kami tidak butuh penumpang yang mengancam keselamatan penumpang lain.”
Si suami itu masih ngotot dan tak mau turun.
“Aku bilang turun!”
Ketegangan itu membuat penumpang lain bangkit. Sopir yang bertubuh besar itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Si kenek berteriak menyuruh si suami itu turun. Si suami itu mendadak melemah, dia meminta istrinya untuk ikut turun. Tapi istrinya menolak.
Setelah laki-laki itu turun, si sopir berkata pada keneknya: “Kupotong gaji kau seharga ongkos orang yang kau suruh turun.”
Kenek itu menggerutu, kembali ke bangku yang semula. Ia masih menggurutu saat duduk di bangkunya.
Ia melirik kenek itu, gantian melirik perempuan yang baru ditinggalkan suaminya itu. Wajah perempuan itu tampak berseri ketika berusaha membujuk anaknya agar tidak menangis. Terlihat bahwa ia sangat mensyukuri kepergian suaminya. Mungkin ia sudah berusaha menyuruh suaminya agar tak ikut, tetapi suaminya ngotot tetap ikut. Sepanjang perjalanan mereka bertengkar. Pertengkaran itu mungkin sudah berlangsung sejak mereka keluar rumah. Bisa jadi mereka sudah tidak serumah lagi, dan laki-laki itu berusaha mengajak rujuk, tetapi perempuan itu menolak.
Sebetulnya, kalau saja si kenek tidak menegur, ia berniat menegur pasangan yang aneh itu. Pertengkaran mereka sangat mengesalkan. Tetapi ia tidak berani menegur pasangan itu agar menghentikan pertengkaran mereka, meskipun di dalam hati sudah dirancangnya potongan-potongan kalimat yang intinya sangat menjaga agar pasangan itu tidak tersinggung bila ia minta mereka agar berhenti bertengkar. Cuma, kalimat-kalimat yang sudah dirancang itu tidak kunjung keluar dari mulutnya, sekalipun telinganya semakin lama semakin panas. Ia berusaha tidak perduli, berusaha tidak mendengar pertengkaran pasangan itu. Ia pandang ke luar, mencoba mengalihkan pikirannya. Gagal. Ia merasa sangat terganggu. Tiba-tiba ia bangkit, lalu pindah ke bangku lain, di belakang. Setelah merebahkan kepala ke sandaran, ia merasa sedikit lebih ringan. Perlahan, matanya terpejam. Saat itulah kenek datang menegur pasangan aneh itu.
Laju bus semakin kecang, melesat pesat menguber tiba lebih cepat di Serang. Di kota ini selalu ada kemungkinan bagi sopir bus untuk menambah penumpang, itu kata kenek. Lewat jendela, rumah-rumah sepanjang jalan terlihat berkejaran. Tanpa Bennynytuk. Awan memecah-pecah jadi gegumpal kapas yang ditabur. Melayang-layang dalam sunyi. Di dalam bus, sunyi berwajah para penumpang yang mengatupkan mata. Lelap dan tidak lelap dalam lelah dan memasrahkan diri kepada sopir. Laki-laki gendut itu, terkadang terdengar suaranya mengikuti lirik lagu dangdut. Serak dan tidak memberi rasa nikmat. Kenek merokok di jejeran bangku paling belakang.
Ketika bus tiba di Serang, dua perempuan paroh baya masuk. Keduanya bertubuh gendut, berpakaian rok yang membuat keduanya terkesan tidak begitu perduli dengan penampilan mereka. Apalagi keduanya begitu jorok dengan tembakau terselip di bibir.
Salah seorang duduk di sampingnya, yang satu lagi duduk di bangku sejajar. Mereka hanya dipisahkan jarak antarbangku selebar 40 cm. Begitu duduk, berkali-kali mereka meludah ke lantai bus. Aroma keringat mereka menyengat, menguapkan bau adukan sejumlah pasar tradisional. Mereka bercakap-cakap begitu serius membicarakan suasana di pasar yang baru mereka tinggalkan, dan beberapa pedagang yang menjadi pelanggan mereka. Dari percakapan itu, jelas mereka bekerja sebagai pemberi kredit kepada para pedagang di pasar-pasar tradisional, lalu menagihnya tiap akhir pekan sampai si pedagang dapat melunasi hutangnya, meskipun akhirnya mereka membayar tiga kali lipat dari jumlah uang yang diterima.
Suara kedua perempuan itu begitu keras dan berat. Di dalam bus itu, percakapan mereka dominan, mengalahkan raung mesim Mercedes tua yang kepayahan dihela sopir pada kecepatan mendekati seratus km per jam. Tapi, ketika salah seorang bercerita pengalamannya yang menyeramkan saat menemui salah seorang nasabahnya karena nasabah itu menghampirinya sambil membawa parang, ia tertarik untuk menyimak.
Kata perempuan itu, ia tidak akan tinggal diam atas perlakuan nasabahnya. Besok pagi ia akan mendatangi nasabah itu bersama centeng-centengnya. Kata dia, nasabah seperti itu harus dikasih pelajaran. Kawannya menimpali, dan mengatakan kalau nasabah seperti itu dijebloskan saja ke penjara. Tapi perempuan itu membantah dan mengatakan hutang nasabahnya masih banyak. Ia khawatir nasabah itu tak bisa membayarnya.
Mendengar percakapan itu, ia teringat pada ibu. Berbeda betul dengan apa yang dijalankan ibu. Tapi, ah, ia sedang tak ingin mengingat ibu. Ibu meninggalkan beban yang memberati kepalanya. Tiba-tiba kepalanya mendenyut. Diantara percakapan kedua perempuan itu, wajah ibu selalu muncul, apalagi wajah ayah. Wajah orang-orang yang hanya mengasah kemarahannya, wajah orang-orang yang....
Ayah telah menjelma bayangan bagi tubuhnya. Seolah-olah ia berada di sebuah tempat dengan cahaya yang selalu memunculkan bayangan tubuh. Bayangan itu berwajah ayah, lengkap dengan segala hal pada dirinya yang terus memelihara dan menjaga keBennynycian terhadapnya.
Lalu peristiwa itu…ah. Ia yakin, keputusan ibu mengirimnya untuk tinggal di Lampung berawal dari peristiwa itu. Ayah pasti telah menceritakannya kepada ibu. Entah apa yang disampaikan ayah sehingga ibu menjadi penurut. Mungkinkah ayah memutarbalikkan fakta, menyalahkannya atas semua peristiwa itu.
Dan, mendadak, suara keras itu memenuhi telinga. Prak! Ayah sudah berdiri di hadapannya. Seluruh tubuh ayah dijilati api. Api itu keluar dari seluruh pori-pori di tubuhnya, dan bersumber di ubun-ubunnya. Matanya menyala. Lidah api berkobar-kobar dari bola mata itu. Menjilat-jilat. Ia undur beberapa langkah. Tak sadar, ia menabrak guci keramik kesayangan ibu. Suara guci pecah memenuhi ruang tamu. Para pembantu ketakutan dan megunci diri dalam kamar masing-masing. Bennynyda-Bennynyda yang ada di ruangan, semuanya barang antik koleksi ibu, memantul-pantulkan suara pecah itu.
Ia tidak perduli pada guci keramik, melangkah ke sofa. Ayah mendekat beberapa langkah. Ia undur untuk menjaga jarak. Tak ingin api itu menjilatinya. Ia tahu rasa panasnya sangat dasyat. Ia sudah sering dijilati. Tubuhnya bukan saja terbakar, tetapi berdarah-darah. Terpelanting. Jatuh. Bangun. Jatuh lagi. Begitu berulang-ulang. Ia sudah sering dibuat gosong oleh api itu. Api yang lebih panas dari api apa saja.
Ia lihat jari-jari tangan ayah mengepal. Ayah mulai menggumpalkan api dengan tangannya. Lama kelamaan api itu akan memBennynytuk sebuah bola yang besar dan menyala. Begitu ayah merasa bola api itu cukup besar, ayah akan melemparkannya. Ia sudah berpengalaman, tidak akan memperpendek jarak dengannya. Dengan begitu, ayah tidak akan bisa melemparkan bola api itu ke arahnya. Tapi ayah melangkah lagi. Ia undur lagi. Ayah mendekat, ia menjauh. Ayah memberi isyarat dengan jemarinya agar ia diam. Ia tetap menjauh. Ketika berjarak dua meter dari pintu keluar, ia langsung kabur. Ayah berteriak. Ia tidak perduli. Ayah mengancam dan melarangnya kembali. Ia tidak perduli. Ia berlari sekencang-kencangnya.
Ia baru sadar sudah berada di rumah Bennyny. Bennyny teman akrabnya, sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Ia beri isyarat agar Bennyny tidak banyak bertanya. Kawannya itu memang tak banyak bertanya akhirnya. Mereka saling memahami. Ia pun rebahan di tempat tidur Bennyny, mencoba melupakan betapa menyeramkannya ayah. Bennyny asyik bermain game di komputernya. Berkali-kali terdengar berteriak kesal.
Ia diam. Matanya menatap langit-langit kamar Bennyny. Ada burung dari kertas tergantung di sana. Bennyny menyukai burung. Menurut Bennyny, burung adalah personifikasi dirinya. Seperti burung, ia bisa mengembara kemana saja yang diinginkannya. Tidak ada tempat yang tidak bisa didatanginya. “Mau main?” Bennyny menawarkan game di tangannya.
Ia tidak memberi reaksi apapun. Ia coba memejamkan mata. Ia ingin melupakan kejadian barusan. Ia tidak bisa, mungkin, tak akan pernah bisa. Wajah ayah, beserta kemarahannya yang membabi buta, selalu muncul. Kemarahan yang tidak beralasan. Kemarahan yang seharusnya….
Semua berawal ketika ia memergoki Siti menangis sesegukan di kamarnya. Pembantu itu ditemani pembantu lainnya, Laila, Denok, Supardi, dan Sanif. Mereka berusaha menenangkan hati Siti, memintanya bersabar. Ketika ia masuk ke kamar itu, mendadak mereka diam. Ia bertanya ada apa. Semua tertunduk. Ia tidak bisa menahan diri dan memBennynytak.
“Siti hamil, tuan.” Suara Supardi nyaris tidak terdengar. Ia pikir Supardi akan melanjutkan kalimatnya, tetapi ternyata Supardi diam.
“Apa yang salah dengan hamil?”
“Siti masih gadis, belum punya suami.”
Ia terhenyak. Nada suaranya diperlembut. Ia dekati Siti. “Bennynyar kau hamil?”
Takut-takut Siti mengangguk. Ia mencari ketulusan pada bola mata Siti. Mata itu digenangi air. “Siapa yang menghamilimu.”
Siti menangis. Ia bertanya kepada Supardi. Supardi menunduk. Ia tanya yang lainnya. Semua menunduk. Ia bilang pada Siti: “Katakan siapa?”
Siti tetap diam. Lama mereka tidak bicara. Tidak berani terus terang. Ia mendesak. Supardi akhirnya mengaku.
“Bapak yang melakukan!?” Supardi terlihat ketakutan.
“Bapak? Siapa?”
Supardi menyebut ayah dengan cara takut-takut. Ia meledak tak percaya. Ia menuduh Supardi mengada-ada. Ia tanya keBennynyarannya kepada Siti. Siti mengangguk.
“Kapan kejadiannya?” Ia mendesak Siti.
Masih takut, Siti gemetar. Ia lembutkan nada suara. Siti agak tenang. Agak lama Siti diam seperti berusaha mengembalikan ingatannya. Kemudian Siti bercerita dengan nada bicara yang terputus-putus. Kata Siti, kejadiannya berulang-ulang. Siti tidak tahu persis berapa kali. Tapi, awalnya, pada suatu malam ayah tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar Siti dan langsung menutupnya. Siti kaget bukan main, tetapi tidak berani memberontak.
Ia terhenyak mendengar cerita itu. Antara percaya dan tidak. Tapi, karena hubungannya dengan ayah begitu renggang, mau tidak mau ia teracuni juga.
***
Ia menatap keluar dari jendela bus. Angkasa terlihat bagai sepotong senyuman yang kecut. Seperti perasaannya. Kosong. Bus mulai memasuki Banten. Tak lama kemudian berhenti di Merak. Dari sini ia akan naik kapal penyeberangan ke Bakauheni. Ia bisa saja memilih kapal cepat, tetapi ia memilih naik kapal rool on rool off. Ia ingin menikmati gelombang Selat Sunda. Ia ingin membiarkan angin laut menampar wajahnya. Ia ingin melihat ikan-ikan berenang bebas. Ia ingin semua ini jadi permulaan baru dalam hidupnya.
Hiruk-pikuk para kenek bus, cakil, dan agen kendaraan umum menyambutnya setelah turun dari bus. Sejauh pandang ia lepas, orang-orang terlihat begitu sibuk. Pedagang-pedagang sepanjang koridor menuju tempat penjualan tiket, berkali-kali mencegat dan menawarkan dagangannya. Berkali-kali ia menolak.
Ia berhenti seBennynytar di koridor yang seperti jembatan menuju ke arah dermaga. Berdiri di pagar koridor menatap laut lepas di hadapannya. Kesibukan kapal-kapal memuat berbagai jenis kendaraan. Kapal-kapal itu seolah menelan mobil-mobil ke dalam lambungnya. Beberapa petugas mengarahkan para sopir. Sekali-sekali terdengar lengking piluit memanjang. Lalu mobil-mobil tertelan. Laut biru dengan gelombang kecil tak ubah permadani. Tetapi semua itu tidak lama. Ia harus cepat-cepat naik ke kapal.
Di lambung kapal, pengap bukan main. Karbon dioksida dari knalpot mobil-mobil, ditambah aroma amis orang kencing sembarangan. Ini kapal tua dengan dinding-dinding baja yang keropos. Hantaman air garam terus-menerus mengalahkan baja-baja itu. Ia sering membaca di koran, kapal-kapal yang dipergunakan di Selat Sunda rawan kecelakaan. Sering menghantam karang, terdampar di pulau, dan.... Tapi, ini hanya persaingan bisnis. Bukankah di dunia bisnis semua orang bisa menghalalkan apa saja. Seperti kata ibu, semua boleh dalam bisnis.
Dari lambung kapal, ia menaiki tangga ke geladak. Berimpitan dengan orang-orang yang punya tujuan sama. Di geladak, tak ada bangku. Orang-orang mengambil tempat duduk di dekat pagar pembatas, bersandar ke dinding kapal, melepaskan tatapan ke pelabuhan dan Selat Sunda yang akan ditempuh. Angin laut bertiup kecang. Ia membiarkannya. Di bawah kapal, di air laut yang biru, puluhan anak-anak berenang. Rambut mereka merah kehilangan pigmen. Air garam telah merontokkan warna hitam rambut mereka. Berkali-kali anak-anak itu berteriak, meminta penumpang kapal menjatuhkan uang logam. Beberapa orang tertarik, meleparkan logam. Warna perak uang logam terlihat jelas jatuh ke air. Turun zig zag dan tertangkap tangan kecil anak-anak itu.
Pemandangan ini betul-betul keajaiban. Untuk sementara, ia bisa melupakan semua. Dari anak-anak yang berenang, ia menebar tatapan. Semuanya terlihat memesona. Laut yang terbuka, dan langit menganga. Sebuah perpaduan yang indah. Dan orang-orang yang memancing di dermaga. Lalu akhirnya, tiba juga waktu berangkat. Piluit panjang menyentak. Di koridor dermaga, orang-orang melambai-lambai. Seseorang di dalam kapal, mungkin kerabat mereka, juga melambai-lambai. Kapal bergerak menjauhi dermaga. Ia ikut-ikutan melambai. Apa salahnya.
Selat Sunda seperti juga laut dimana pun, nyaris tidak ada beda. Ia sudah mengunjungi banyak laut. Baru kali ini ia menyeberangi Selat Sunda. Ia menyukainya. Ada sesuatu yang lain dari laut. Laut adalah tempat dimana semua sungai bermuara. Bersama semua sampah. Tetapi laut tidak pernah tumpah. Andai ia seperti laut. Ah...tidak, pengandaian itu mengada-ada. Ia tersenyum sendiri. Ada kesenangan baru mengandaikan diri sebagai hal-hal lain. Lagipula pengandaian itu tidak terlalu keliru. Ia memang seperti laut selama ini. Ia biarkan ayah menjadikannya sebagai muara dari seluruh persoalannya. Ia biarkan ibu berlaku sama. Ia menampungnya. Ia tidak memuntahkan kepada siapapun. Kepada teman-teman, ia bercerita serba sedikit. Dan itu, cerita-cerita serba sedikit itu, bukan untuk membocorkan rahasia keluarga. Seperti ombak di laut, yang memang harus ada. Itu membuktikan ia tidak tinggal diam. Ia prihatin dengan keluarganya. Ia mendambakan sebuah keluarga yang berbeda, yang meneduhkan hati. Ia tidak mungkin larut dalam persoalan ini. Ia hanya bagian kecil di dalamnya. Ayah dan ibu, mereka yang punya kendali. Mereka yang bisa mengubah segalanya.
Ingatan itu senantiasa membayang. Ingatan itu tidak bisa ditinggal meskipun ia berusaha melakukannya.
Semua orang tahu, hubungannya dengan ayah sudah renggang sejak lama. Itu sebabnya ia selalu berupaya agar tidak bermuka-muka dengan ayah. Entahlah! Selalu ada rasa marah yang membakar dada setiap kali berada dalam satu ruangan bersama ayah. Rasa yang sangat menyakitkan. Rasa yang ingin diledakkan.
Ia seperti sepucuk pestol dengan peluru di dalamnya. Pestol yang berada di tangan seseorang. Pestol yang selalu meminta agar pemeganggnya memencet picunya setelah mengarahkan moncongnya kepada ayah. Ia tersiksa oleh perasaan itu. Setiap hari, kalau sedang berada di rumah dan kebetulan ada ayah, ia menjadi tidak betah. Ia lebih banyak di kamar. Mengunci diri di dalamnya. Ia khawatir ayah akan masuk, lalu.... Tapi, untungnya ayah tidak pernah masuk kamar. Ayah seolah tahu kalau ia tidak disukai. Ia juga tahu kalau ayah tidak menyukainya.
Ia akhirnya agak jarang di rumah. Lebih banyak di rumah Bennyny. Sering juga di rumah Tom, Rio, Sam, dan kawan-kawan lainnya. Mereka tidak keberatan. Malah selalu mengatakan, “Pintu rumah gue terbuka buat elu, kapan saja.” Tetapi ia lebih menyukai berada di rumah Bennyny. Ada pelajaran yang ia dapat di rumah itu, terutama dari hubungan Bennyny dengan ayahnya. Hubungan yang tidak seperti seorang ayah dengan anaknya, tetapi seperti dua kawan karib. Hubungan seperti yang ia jalin dengan Bennyny.
Ia mendambakan hubungan seperti itu dengan ayah. Mereka bisa bercakap-cakap dengan akrab, seperti dengan kawan karib. Mereka saling berbagi. Saling mengisi. Saling mengajari. Bercanda. Tukar pikiran. Berdiskusi tentang hal-hal yang kami saksikan.
Begitulah Benny dengan ayahnya. Ia sering iri. Bennyny tahu perasaannya. Ia selalu berusaha menghibur, begitu juga dengan ayah Bennyny. Mereka senantiasa memotivasi. Terutama ayah Bennyny, ia terlihat seperti orang tua yang sangat berpengalaman dengan posisinya. Ayah Bennyny bicara seolah-olah mereka sebaya. “Kau harus berusaha mengerti tentang ayahmu. Tidak seorang pun laki-laki di dunia ini yang siap diposisikan bukan sebagai kepala rumah tangga,” kata ayah Bennyny.
Ia mengerti maksud ayah Bennyny. Tapi, ia sulit untuk menerimanya. “Bukankah ayah sangat beruntung? Ia tidak perlu lagi mencari nafkah, memikul tanggung jawab rumah tangga, dan.... “
“Tidak sesederhana itu. Seorang suami terlahir dengan tanggung jawab yang tidak bisa diemban orang lain sekalipun istrinya.”
“Ini keegoisan.”
“Kau masih melihat posisi seorang suami dari kaca mata yang sempit. Saya kenal ayahmu. Ia seorang pekerja yang ulet.”
“Ayah seorang pengangguran.”
“Kau keliru. Ayahmu tidak mengenal istilah pengangguran dalam hidupnya. Aku mengenal ayahmu sejak mahasiswa, aku tahu persis orang seperti dirinya sering membuat mahasiswa lain merasa bukan apa-apa.”
Ia tertegun meskipun tak begitu paham. “Sebetulnya saya dengan ayah tidak ingin saling mengganggu. Saya tidak perduli urusan-urusan ayah. Sebaliknya, ayah pun begitu. Kami saling membiarkan. Saling mengabaikan. Semua orang tahu permusuhan kami,” katanya.
“Bagaimana dengan ibumu?” Tanya ayah Bennyny.
“Ibu pun tahu, tetapi tidak perduli. Ibu lebih sibuk dengan urusannya di kantor. Ibu selalu punya banyak pekerjaan, selalu punya banyak waktu untuk pekerjaan-pekerjaan itu. Tidak untuk saya, tidak untuk keluarga, tidak untuk ayah.” Ia diam dan menelan ludah yang terasa bagai sekam. “Ibu penyebab semua ini.”
“Jangan kau limpahkan semua kesalahan kepada ibumu.”
“Kesibukannya sebagai presiden direktur pada sejumlah perusahaan, membuat ibu melupakan hal-hal penting berkaitan keluarganya. Waktunya banyak habis di luar rumah. Ia banyak di luar negeri atau di luar kota. Tiap seBennynytar ia bertolak ke Penang, Kucing, Serawak, Singapur, Taiwan, Muang Thai, Makassar, Palembang.... Sering ia menetap sepekan di London, acap ia tinggal beberapa hari di Missisipi, Iowa, Bremen, Munchen, Barcelona, dan...”
“Semua itu untukmu.”
“Ibu hanya memikirkan bisnisnya, hanya memikirkan perusahaan-perusahaannya. Bahkan, beberapa perusahaannya di luar negeri, yang sebetulnya sudah dipercayakan pengelolaannya kepada beberapa koleganya, masih saja harus didatangi.”
“Itulah yang menyatukan ibumu dengan ayahmu. Mereka punya pandangan yang sama tentang keuletan dalam hidup.”
“Maksudnya.”
“Sejak masih mahasiswa mereka sudah memiliki apa yang tidak dimiliki mahasiswa lain.”
“Saya hanya tahu bahwa mereka aktivis mahasiswa yang ulet. Saya tahu dari orang lain. Saya tidak akan memercayainya.”
“Kau tak percaya padaku?”
“Aku tidak pernah menemukan semua itu dalam keseharian mereka. Apalagi pada keseharian ayah. Untuk merangkulku saja ia seperti tidak punya konsep.”
Ayah Benny tertawa. “Kau masih melihat dari sudut pandang yang salah tentang ayahmu. Coba kau ganti perspektifmu.”
Ia masih tak mengerti arah percakapan dengan ayah Bennyny. Tapi ia tahu, ada sesuatu tentang ayah yang tidak diketahuinya, juga tentang ibu. Tapi, bagaimana ia bisa tahu sedang keduanya begitu tidak perduli.
Ia lihat keluar kapal. Laut tenang. Ombak kecil-kecil, memukul dinding kapal. Buih putih-putih. Sesekali melayang ikan. Ikan-ikan kecil, bagai disapu atau dioles perak. Seperti ratna, seperti manikam cahaya memantul-mantul. Di kejauhan, dermaga tinggal sepotong. Bukit-bukit di belakangnya penuh rumah-rumah yang terlihat seperti tumpukan kotak korek api.
***
Hampir Magrib ia tiba di rumah Uwa Rahman. Sebuah senyum terukir di bibir Uwa Rahman demi melihatnya berdiri di pintu. “Rasanya baru kemarin Uwa melihat ketika kau dilahirkan,” katanya.
Uwa Rahman merentangkan tangan, menerima tubuh kemenakannya itu. Tangan kanan Uwa Rahman masih di pundak kemonakannya sambil mengajak ke sofa. “Bagaimana kabar ayah dan ibumu?”
Uwa Rahman begitu lembut. Tak pernah ia bayangkan selembut itu. Ia malah menduga hampir tidak beda dengan ayah. Sebagai kakak dengan adik. Ternyata ia keliru. Uwa Rahman cepat merasa akrab. Mendadak ia merasa seperti Bennyny dengan ayahnya. Begitu dekat. Kenapa ayah tidak bisa bersikap sehangat Uwak Rahman?
Uwa Rahman banyak menanyakan kabar ayah dan ibu. Ia ceritakan segala yang baik tentang mereka. Ia bilang, “Ayah berkirim salam.” Ia berdusta soal berkirim salam. Tapi, ada baiknya juga. Ia tebar tatapan. Rumah yang nyaman. Sejuk. Meskipun tak sedasyat rumahnya di Jakarta. Ada lukisan kaligrafi di dinding. Isinya Ayat Qursi seperti di ruang kerja ibu. Foto-foto ditata rapih di dinding. Perabotan-perabotan ditata dengan selera sarat keindahan. Ditata tangan yang berjiwa seni.
Uwa Rahman bukan pebisnis seperti ibu. Ia hanya seorang PNS bergolongan sedang. Itu istilah Uwa Rahman. Padahal jabatannya sangat tinggi, seorang kepala dinas dengan golongan pada level tertinggi di jajaran birokrasi pemerintahan.
Ia masih mengajak bicara. Nadanya begitu bersahabat. Ayah tak pernah bicara dengan nada sedemikian lembut. Malah lebih meledak dari petir. Uwa Rahman tidak, ada kehangatan dalam ucapannya. Begitu bertolak-belakang. Agak mengherankan juga. Kenapa perbedaan antara Uwa Rahman dengan ayah begitu nyata? Bukankah mereka kakak-adik. Lahir dari rahim ibu yang sama?
Uwa Rahman anak tertua dalam keluarga ayah. Mereka ada empat bersaudara, dua lagi perempuan. Kedua perempuan, Tante Nani dan Tante Rosa, kini tinggal di lain kota. Tante Nani di Manokwari, ikut suaminya yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Jayapura. Oom Syafruddin, suami Tante Nani, seorang hakim. Ia sering membaca berita tentang bagaimana Oom Syafruddin bekerja. Orang-orang selalu memuji cara kerjanyanya. Ia mengkliping berita itu. Di dalamnya disebut Oom Syafruddin membuat putusan yang fenomenal terhadap seorang pejabat yang mem-backing kejahatan illegal loging. Keputusan yang membuat keselamatan keluarganya terancam. Keputusan yang dipolitisir orang menjadi persoalan rasial. Ia kagum pada Oom Syafruddin. Sekali-sekali ia hubungi lewat telepon, hanya untuk mendengar suara dari orang yang cara kerjanya dipuji banyak orang itu. Sering Tante Nani yang mengangkat, dan Tante Nani selalu menanyakan kapan ia bisa ke Manokwari. Ia bilang ada niat untuk itu, tetapi belum bisa memastikan. Tante Nani menyarankan agar ia datang saat liburan. Ia setuju. Tapi, sampai sekarang, ia belum pernah ke sana. Suatu saaat... ya, suatu saat ia yakin akan sampai ke sana.
Berbeda dengan Tante Nani, Tante Rosa seorang dosen di Universitas Lampung. Ia tinggal di Lampung, tetapi sejak beberapa tahun lalu Tante Rosa mengambil gelar doktor di sebuah universitas di Utrecht, Belanda. Ia membawa keluarga dan suaminya, Oom Ichlasul. Ia sering menghubungi mereka lewat telepon. Tante Rosa selalu bercerita tentang Belanda, tentang kota-kota di setiap provinsinya.
Dari Tante Rosa ia tahu Belanda, sebuah negara di barat laut Eropa. Di sebelah timur berbatasan dengan Jerman, di sebelah selatan dengan Belgia dan di sebelah barat, di seberang Laut Utara dengan Inggris. Ia membayangkan suatu hari berada di Negeri Kincir Angin itu. “Kenapa tidak,” kata Tante Rosa, suatu hari, setelah ia ungkapkan niat itu. “Datanglah!”
Hm. Boleh juga. Bukankah segalanya akan indah di sana.
Uwa Rahman menepuk bahunya. “Apa yang kau pikirkan?”
Ia tersipu. Bayangan itu, keindahan itu. Haruskah ia ungkapkan kepada Uwa Rahman? Ia pandang mata Uwa Rahman. Teduh. Mata seorang ayah. Mata yang menenangkan. Mata yang membuat seorang anak merasa betah tinggal di dalamnya. Tapi, tiba juga saat itu, azan Magrib bergema. Siang telah berganti warna. Uwa Rahman membawanya ke sebuah kamar. “Ini kamarmu. Uwa sudah siapkan. Kamar sebelah milik Atu Yunita,” kata Uwa Rahman.
“Atu Yunita?” pikirnya.
Ia satu-satunya anak Uwa Rahman. Ia mencoba mengingat wajahnya. Mereka seumuran. Sudah lama ia tidak bertemu Atu Yunita. Bertahun-tahun. Terakhir Atu Yunita ke Jakarta...ah, ia lupa. Mereka masih kecil waktu itu. Setelah itu cuma berhubungan lewat telepon, itu pun tak sering. Ia lupa wajahnya. Bagaimana nanti kalau bertemu. Apakah ia masih bisa mengenalinya?
“Atumu lagi kuliah. SeBennynytar lagi pulang,” kata Uwa Rahman.
Sebelum pergi, Uwa Rahman memberi isyarat agar ia mendirikan sholat Magrib. Ia mengangguk. Letih baru terasa. Usai mandi, lalu sholat Magrib, ia rebahan. Segala pun terlupakan.
Tapi, kantuk masih menyerang ketika ada nyala yang tajam menusuk mata. Pagi merambat masuk lewat jendela yang dibuka. Samar pandangan menangkap seseorang yang berdiri di sana. Saat gambar itu jelas, ia terlonjak bangkit. Perempuan itu berdiri di bingkai jendela. Diam di sana.
“Siapa!?” Ia mengusap mata. Tidak ada jawaban. Perempuan itu, dalam balutan kerudung warna merah jambu, tetap diam. Matanya menatap, seolah memberi kesempatan agar ia berusaha mengenalinya. Tidak. Ia tidak pernah mengenal wajah itu. Bersih. Anggun. Ia tetap diam. Mematung.
“Dasar anak malas!” Tiba-tiba perempuan itu meraih bantal guling, memukul kepalanya. “Sudah siang, bangun.”
“Atu Yunita!” Ia tidak menyangka. Ia tertawa kecil, “Saya mengira didatangi seorang bidadari.”
“Pasti belum sholat Subuh.” Atu Yunita cemberut.
“Maaf, saya kecapaian.”
“Dasar pemalas.” Atu Yunita keluar. “Cepat. Papa menunggumu di meja makan.”
Atu Yunita bukan gadis kecil yang pernah ia kenali. Atu Yunita, ia memang memanggilnya dengan panggilan “Atu”. Dalam keluarga mereka, panggilan “Atu” diberikan kepada kakak perempuan tertua. Karena Atu Yunita anak dari Uwa Rahman, dan Uwa Rahman adalah kakak dari ayah, memanggil Yunita dengan kata “Atu” di depannya.
Ia tumbuh dewasa, cantik, dan.... Atu Yunita seperti bidadari. Pagi ini ia dibangunkan seorang bidadari. Pengalaman baru dalam hidupnya. Ada gairah baru. Ada keriangan baru. Ia meloncat. Ia bersorak.
“Ada apa!?” Atu Yunita menyembulkan kepala di balik pintu.
Ia menggeleng dan agak tersipu. Atu Yunita menutup pintu. Pertemuan yang luar biasa. Betapa cepat waktu berputar. Terakhir bertemu Atu Yunita masih gadis kecil yang gampang menangis. Ia suka mengejeknya. Cengeng. Mau menang sendiri. Ia dituntut harus selalu mengalah. Ia tidak mau mengalah. Ayah dan ibu sering memarahinya karena itu. Tapi, entah kenapa, ia tidak pernah jera untuk menggodanya. Ada kesenangan tersendiri melihat Atu Yunita menangis.
Pengalaman masa kecil yang mengasyikkan. Kenakalan anak kecil. Ia tak akan pernah lupa. Tapi wajah itu.... Ia tidak pernah membayangkan Atu Yunita akan begitu cantik. Dalam balutan kerudung, Atu Yunita terlihat begitu dewasa. Ia membayangakan akan memunyai teman yang baik.
Sebetulnya Atu Yunita tak seberuntung dirinya. Ibunya meninggal saat melahirkanya. Uwa Rahman membesarkannya seorang diri. Tak pernah terpikir oleh Uwa Rahman untuk menikah lagi. Ia sering membayangkan bagaimana Uwa Rahman akan menghabiskan setiap hari tanpa seorang istri di sampingnya. Bayangan itu muncul lagi, ayah. Dengan seorang istri di sampingnya, ayah bagai tidak terkekang. Siti.... Siti yang lugu itu. Bagaimana nasib Siti? Tidak. Ia terbayang pada ibu. Bagaimana jika ibu akhirnya tahu kelakuan ayah? Apakah… ah, ia tidak mau membayangkan hal-hal buruk akan terjadi.
Tapi, ibu juga salah. Ibu pebisnis yang hebat, bertanggung jawab, tangguh, kuat, dan disegani lawan-lawan bisnisnya. Soal itu tak ada seorang pun bisa membantah. Kemampuan ibu bernegosiasi dengan sejumlah kolega bisnis, membuat kolega-kolega itu tidak pernah bisa mengambil jarak. Koleganya selalu ingin dekat. Selalu ingin berhubungan. Selalu.... Bahkan, mereka ingin hubungan dilanjutkan meskipun tidak berkaitan dengan bisnis.
Ia percaya ibu tipe istri yang setia. Ibu tidak akan pernah tergoda oleh rayuan laki-laki. Kalau ibu sering pergi dengan laki-laki, keberangkatan itu semata karena bisnis. Bukan karena hal lain. Ibu sangat religius, meskipun jarang shalat. Katanya, waktunya sangat terbatas. Ibu tidak sempat shalat. Ibu ganti shalat yang tidak bisa dijalankannya itu dengan membaca surat-surat Alquran atau memberi sedekah. Ibu selalu membawa kitab suci di dalam tasnya. Kitab suci yang lengkap dengan terjemahan dan tafsirnya.
Begitu pula ia memahami agama, seperti pemahaman ibu tentang agama. Ia tidak mendirikan sholat, karena ia piker Tuhan memerintahkan mendirikan ibadah itu agar manusia religious. Ia sendiri memahami religious itu sebagai perbuatan yang sesuai dengan seharusnya.
Di ruang kerja ibu, di salah satu lantai gedung di jalan Thamrin, ditata buku-buku agama di rak bukunya. Jika ada waktu senggang, ibu mengambil salah satu buku dan membacanya. Ibu membaca sangat cepat seperti ia berpikir. Tangkas. Gesit. Di dalam ruangan itu ada juga lukisan kaligrafi berukuran besar. “Itu Ayat Qursi,” kata ibu. Tapi ia tak mengerti, tak pernah belajar perihal semua itu. Entahlah.
Ia sering menemui ibu di kantornya. Ibu selalu berusaha menyisakan sedikit waktu untuknya. Kalau ia muncul, sementara ibu sedang menggelar rapat, ia tidak akan disuruh menunggu. Ia disuruh masuk, mendengarkan rapat. Ia tidak akan lama menunggu. Ibu kemudian akan men-skor rapat. “Maaf, anak saya datang. Beri kami waktu,” katanya.
Begitu rapat diskor, ibu menghampirinya. Memeluknya. Menciuminya. Ia jadi anak kesayangan. Semua dilakukan di hadapan anak-anak buah ibu, para direksi di perusahan-perusahaan ibu. Kalau kebetulan ibu sedang rapat dengan kolega bisnisnya, ibu akan memperkenalkannya kepada mereka. “Pewaris saya. Satu-satunya,” katanya.
Orang-orang akan menyalaminya, bersikap lembut. Ia akhirnya mengenali hampir semua kolega ibu. Hampir semua.
Tapi, kata pewaris itu! Ia tak pernah menyukainya. Ibu sangat mengharapkan ia yang melanjutkan semua bisnis. Ibu sering mengungkapkan hal itu. “Suatu saat nanti Bram....” Ibu menggantungkan harapan di pundaknya. Itu sebabnya ibu selalu punya waktu buatnya. Ibu mengizinkan masuk dan menyaksikan bagaimana ibu memimpin rapat. Tidak jarang ibu mengajaknya bicara bisnis dengan kolega-kolega baru. Ia mengagumi cara ibu bernegosiasi; tidak memberikan janji, tetapi membeberkan betapa sangat beruntungnya orang lain jika berbisnis dengan perusahaannya. Ibu banyak memuji koleganya. Ia tahu, pujian-pujian itu disampaikan ibu dengan maksud memuji kemampuan perusahaannya sendiri. Orang-orang tidak akan menyadari bahwa sebetulnya ibu sedang menggiring mereka untuk memuji-puji perusahaan milik ibu.
Ia belajar banyak soal cara bernegosiasi seperti itu. Setiap kali ibu selesai bernegosiasi, ibu selalu minta komentarnya. Ia bilang, “Good!” Ibu tersenyum. “Itu yang ibu harapkan darimu. Kalau umurmu sudah cukup, kau akan mengerjakan semua pekerjaan ini.”
“Ibu.”
“Semua ini untukmu.”
“Ibu tidak bertanya apakah saya menyukainya?”
Ibu kaget. “Kau....”
Ia tak menyukai semua yang dijanjikan ibu. Ia hanya ingin ibu dan ayah, apa adanya. Ia iri pada Bennyny. Ia mendambakan seorang ayah seperti ayah Bennyny. Ia mengharapkan ibu seperti seorang ibu layaknya. Ia tidak ingin ibu yang profesional, pebisnis, dan berpikir gesit serta tangkas. Ia ingin ibu yang lembut, yang selalu ada kalau ia butuhkan. Ibu yang tidak menyerahkan segala urusan rumah kepada lima pembantu dan dua tukang kebun. Ibu....
Ia kehilangan ibu. Ia kehilangan ayah. Ia mencari ayah dan ibu di rumah teman-temannya. Ia menemukan ayah di rumah Bennyny, dan sosok ibu di rumah Tom. Ibu Tom seorang ibu yang menghabiskan waktunya di dalam rumah. Ibu yang lembut. Ibu yang tahu persis persoalan yang dihadapi Tom sekalipun Tom tidak pernah cerita. Ibu yang merasakan. Ibu yang.... Ah, ia iri kepada Tom.
Ia sering menyampaikan soal ini kepada teman-teman. Tapi, Tom, Benny, Rio, dan Sam mengatakan mereka malah iri kepadanya. Mereka ingin seperti dirinya. Segala sesuatunya ada.
“Elu nggak tahu perasaan gue.” Ia mencoba menyeret mereka masuk ke dalam dirinya.
“Elu yang nggak mengerti perasaan kita,” kata Tom. “Semua orang pengen hidup dalam posisimu.”
“Semua orang.” Rio mempertegas. “Kalau boleh memilih, gue akan memilih berada di posisi elu. Apa kita gantian posisi aja?”
“Hidup bukan cuma soal materi, kawan.”
“Bram...Bram....” Benny menyentuh pundaknya. “Ini zaman material. Segala sesuatunya ditentukan materi.”
“Gue nggak setuju.”
Tom tertawa. “Pikirmu kita bisa duduk di cafe ini tanpa materi.”
“Itu persoalan lain.”
“Persoalan lain bagaimana.”
Mereka berdebat soal hidup. Ia sampai pada kesimpulan, betapa anehnya hidup ini. Ia mendambakan hidup seperti yang dijalani teman-temannya, tetapi mereka malah mendambakan hidup seperti yang ia jalani. Apakah hidup begitu kacau? Mungkin benar. Setiap orang melihat sesuatu berdasarkan nilai yang dimilikinya. Tapi, bukankah hidup seperti yang dijalani teman-temannya merupakan hidup yang ideal. Kalau tidak, hidup seperti apa hidup yang ideal. Hidupnya jelas kacau. Ia tidak merasakan punya ayah dan ibu, meskipun keduanya masih utuh. Ini sangat mengganggu pikirannya. Sangat mengganggu. Setiap kali ia mendiskusikannya dengan teman-teman, ia merasa bertambah kacau. Akhirnya ia putuskan tidak membicarakannya dengan teman-teman. Ia butuh seseorang untuk membicarakannya. Ia butuh pendapat lain.
Ia tidak mungkin membicarakannya dengan ayah. Ayah seperti kehilangan dirinya sendiri. Setiap hari, ayah keluar rumah tanpa tujuan yang jelas. Ayah jarang berhubungan dengan ibu. Kalau kebetulan ibu sedang di rumah, pasti ayah tidak ada. Kalau kebetulan ayah ada, pasti ibu yang tidak ada. Begitulah terus menerus. Rumah jadi sunyi. Lebih sunyi dari kuburan. Cuma berisi lima pembantu dan dua tukang kebun. Ia tidak tahu apa yang mereka lakukan kalau kebetulan tidak ada siapa pun di rumah.
Supardi, tukang kebun, sering ia ajak bicara. Supardi berasal dari sebuah desa di Cirebon, dan selalu kesulitan untuk menatap wajahnya jika sedang berduaan. Ia tidak suka tingkah Supardi. Ia ingin Supardi menganggap dirinya sebagai anak, karena usianya hampir sebaya ayah. Ia ingin Supardi mendebat, bukan manggut-manggut saja. Ia pikir Supardi tidak punya sikap. Kalaupun ada, Supardi pasti tidak punya keberanian. Ia tidak suka orang yang tidak memiliki sikap. Ia tidak suka ditakuti. Ia ingin Supardi bersikap biasa. Ah, banyak yang ia inginkan. Tapi, akhirnya ia putuskan tidak mengajak Supardi bercakap-cakap. Tidak ada gunanya. Apalagi bertukar-pikiran. Begitu juga pembantu lain. Tidak seorang pun mau bersikap wajar di hadapannya. Ia diperlakukan mereka seolah-olah seluruh hidup mereka ia yang menentukan. Berulang kali ia bilang agar mereka bersikap wajar. Ia bilang juga bahwa mereka manusia yang memiliki hak untuk bicara dan mendebat. Tapi, sulit mengubah cara berpikir mereka. Mereka cuma punya rasa takut. Entah apa yang ditakutkan. Ia sudah membuka diri. Ia merasa seperti sebuah ruangan yang pintu serta jendelanya tanpa daun. Ia membiarkan siapapun masuk. Cuma, mereka tetap saja bersikap sebagai pembantu. Ini membuatnya semakin tidak betah di rumah. Ia lebih banyak berada di rumah teman-teman. Di dalam rumah ia seperti raja. Ia tidak mau diperlakukan seperti itu. Ia ingin diperlakukan sebagai diri sendiri. Tak lebih. Tak kurang.
Sering ia berpikir bahwa mereka memang dilahirkan untuk jadi pembantu. Punya rasa takut yang luar biasa. Dan.... ia agak muak dengan mereka. Perasaan itu mengaduk dengan iba. Mereka tidak bisa diajak tukar-pikiran. Kaku. Kolot. Udik. Ia tak suka.
Ia kesepian.
BAGIAN III
“Apa kabar Bram ya?” pikir Wardhani. Konsentrasinya pecah saat mendengar presentasi dari bagian produksi. Ketika manager produksi mempresentasikan keunggulan produk terbarunya, pikiran Wardhani justru kepada Bram. Ketika manager produksi selesai mempresentasikan, Wardhani tersentk saat tepuk tangan semua orang di dalam ruang rapat itu terdengar.
“Bagaimana, Bu?” tanya Sofyan, manager produksi itu. “Apa kita bisa memproduksi secara besar-besaran?”
Meskipun tidak begitu menyimak, Wardhani reflex. “Kita tunggu dulu hasil survei pasar. Kalau hasil itu bisa kita peroleh cepat, kita akan produksi,” katanya.
Wardhani kemudian menutup rapat. Setelah semua pergi, Nina, sekretarisnya, mendekat.
“Maaf, Bu, tadi saya lihat Ibu kurang menyimak presentasi,” katanya.
“Saya memikirkan Bram.”
“Saya sudah buatkan resumenya, ada juga berkas presntasi. Ibu bisa mempelajarinya kembali,” katanya.
“Tidak. Kau jelaskan lagi apa yang dipresentasikan tadi!”
“Maaf, Bu. Ibu kelihatannya tidak bisa focus.”
Wardhani menatap sekretarisnya.
“Ibu merindukan Bram? Kenapa tidak ditelepon saja?”
“Telepon!? Ah, tidak. Bram masih marah kepada saya.”
“Bram anak yang baik. Dia mudah marah, gampang juga melupakannya.”
Wardhani menatap sekretarisnya. “Kau begitu memahaminya.”
“Semua orang dekat dengan Bram. Dia tidak santun, kami menyukainya.”
“Kami? Maksudmu?”
“Semua karyawan di sini. Setiap kali Bram datang, kami suka mengobrol dengannya. Dia pribadi yang menarik.”
“Bram sering kemari?”
“Ya. Dia tidak mau Ibu tahu soal itu.”
“Kenapa?”
“Saya tidak tahu. Tapi, saya kira Bram perduli kepada Ibu. Bram perduli dengan apa yang Ibu lakukan.”
“Bram bilang begitu.”
“Tidak. Tapi dia banyak bertanya tentang bisnis Ibu.”
“Kalian memberi tahunya.”
“Ya. Ibu kan bilang Bram ahli waris ibu.”
“Kenapa saya tidak pernah tahu.”
“Mungkin Bram ingin membuat kejutan.”
“Kejutan.”
Wardhani terdiam. Mendadak percakapan terakhirnya dengan Bram berkelebat. Tapi, bukankah Bram selalu terlihat tidak begitu menyukai dunia bisnis. Bukankah….
“Jadi, Bram sering ke sini. Sering bertanya-tanya tentang bisnis saya?”
Nina mengangguk.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda