Ulat di Kebun Polri

by - November 19, 2012

Dipublikasi di KORAN TEMPO edisi KAMIS, 01 NOVEMBER 2012

George Kirkham seorang intelektual yang serius dan tekun. Untuk tahu tentang polisi, ia bekerja paruh waktu sebagai polisi sekaligus pengajar bidang kriminologi di kampusnya, Florida State University.   Dua tahun ia lakoni pekerjaan ganda itu, melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab polisi di Amerika Serikat. Ia  terapkan pengalaman yang diperoleh sebagi polisi dalam meningkatkan kemampuannya sebagai seorang kriminolog yang mengajar di kampus.

Selama dua  itu pula,  simpatinya tumbuh terhadap mereka yang berprofesi sebagai polisi. Pandangannya yang biasanya miring terhadap polisi, perlahan-lahan berubah menjadi lunak.  Perubahan besar itu terjadi karena selama bertugas sebagai polisi, ia dituntut oleh lingkungan pekerjaan yang keras agar menjelma menjadi sosok yang juga keras. Sikap lembut dan terlalu hati-hati dari seorang polisi justru akan membahayakan diri dan rekan-rekaan tugas.

Itulah kesimpulan yang diperoleh Profesor Emeritus di Florida State University College of Criminology & Criminal Justice ini. Ia  mengakui tugas dan tanggung jawab polisi yang begitu berat dapat memengaruhi karakteristik seorang aparat polisi. Sebab itu, publik mesti memaklumi betapa berat beban tugas dan tanggung jawab seorang polisi di lapangan.

Tentu, kesimpulan Kirkham ini akan diamini  seluruh polisi di dunia ini, termasuk anggota Korps Bhayangkara.  Kirkham memberikan pembelaan yang luar biasa, sehingga upayanya mendapat pujian dari banyak kalangan, termasuk dari institusi-instusi polisi di Amerika Serikat yang menjadikannya sebagai konsultan di bidang kriminologi.  Meskipun sudah umum diketahui, perilaku malpraktek polisi di Amerika Serikat sangat parah.

Di negara ini, polisinya dicitrakan sangat buruk seperti digambarkan  Lawrence W. Sherman dalam bukunya, Scandal and Reform: Controlling Police Corruption (1878).  Korupsi dan polisi Amerika Serikat sudah inheren dan tidak bisa dibicarakan satu per satu seakan-akan tidak berkaitan. Inilah yang diistilahkan Maurice Punch dalam bukunya, Police Corruption: Deviance, Accountability and Reform in Policing (2009) dengan “soal sebenarnya bukan apel yang busuk, soalnya adalah kebunnya yang busuk”. 

 

Kejahatan atau malpraktek anggota polisi di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu disebabkan individu polisi itu, tetapi faktor lingkungan dalam internal institusi juga menjadi pendorong utama. Jika lebih dikaji, malpraktek yang dilakukan anggota polisi sesungguhnya tidak selalu disebabkan watak dari individu polisi, tetapi besar kemungkinan  dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya. 

 

Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Polri.  Buruknya perilaku malpraktek di internal Polri, terutama yang dilakukan para perwira tinggi seperti  dalam kasus korupsi mobil simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri,  bukan mustahil telah memotivasi anggota polisi di level bawah untuk membenarkan perilaku malpraktek itu.  Apalagi pembelaan institusi Polri begitu luar biasa terhadap perwira tingginya, dan tidak perduli jika harus bertarung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Bagi anggota Polri di level paling bawah, yang setiap hari bertemu muka dengan masyarakat,  tentu saja mustahil melakukan malpraktek dengan keuntungan miliaran rupiah. Bagian mereka recehan, dikutif di jalan raya dengan segala jenis pembenarkan aksinya atas nama tugas dan tanggung jawab polisi.

 

*


Membicarakan Polri sambil meminjam sudut pandang George Kirkam, sudah tentu akan membuat kita melihat personil polisi sebagai manusia biasa. Tapi, bukan pada posisi manusia biasa itu yang jadi soal hari ini, melainkan pada tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di pundak seorang polisi. Yang jadi soal adalah apa yang disebut Maurice Punch pada kutipan di awal, bahwa soalnya bukan pada buah apelnya tetapi pada kebun apelnya. Artinya, bukan personil polisinya yang menjadi soal, tetapi soal sesungguhnya adalah institusi Polrinya.

Pada tataran inilah gagasan Reza Indragiri Amriel dalam tulisannya, Sekarang Selamatkan Polri (Koran Tempo edisi  23 Oktober 2012), harus didukung.   Secara garis besar ia menitikberatkan pada persoalan pembenahan sumber daya manusia Polri, terutama soal meningkatkan profesionalisme kerja SDM polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Caranya, mengedepankan rekrutmen yang sehat  dan membenahi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan institusi tersebut.

Bila tawaran itu dikerjakan hari ini, sangat pasti masa depan Polri akan cemerlang.  Tapi,  perlu proses regenerasi dalam rentang waktu yang panjang. Padahal, kita butuh  Polri hari ini, seluruh anggota Korps Bhayangkara yang mampu bertugas sesuai dengan Kode Etik Profesi dan Sumpah Tribharata Polri. Anggota Polri yang seperti itu, sesungguhnya, sukar kita temukan dalam kehidupan nyata.

Institusi Polri di negara memang harus diselamatkan. Citra institusi ini sama seperti polisi di dalam dunia sinematografi.  Kalau bukan sebagai entitas yang kurang disenangi,  pastilah sebagai ikon keangkuhan. Kalau bukan sebagai lambang pelembagaan korupsi, pastilah sebagai lambang pelembagaan kriminalitas.

Film, sekalipun sebuah fiksi, tetap merujuk pada realitas. Film tentang polisi merujuk pada realitas actual yang ada.  Sukar mendebat hal itu, karena fakta menunjukkan kinerja aparat kepolisian di lingkungan masyarakat berbanding lurus dengan citra polisi di dunia film.

Mengubah citra buruk Polri menjadi baik merupakan beban berat yang digenjotkan Presiden SBY ke pundak Jenderal Pol Timur Pradopo. Sejak 20 Oktober 2012 lalu, berarti genap dua tahun Jenderal Pol Timur Pradopo menjadi komandan pasukan Korps Bhayangkara. Alumni Akpol angkatan 1978 itu menjadi orang yang dipilih langsung oleh Presiden SBY, meskipun public dan legislatif di DPR RI cenderung memilih Komjen Pol Nanan Sukesna untuk menggantikan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Daruri yang habis masa jabatannya.

Timur Pradopo tak terlalu diharapkan publik. Dalam banyak diskusi, saya menyebut Kapolri yang satu ini dipilih Presiden SBY  sebagai alternatif terakhir. Alternatif yang  tak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi jadi pilihan setelah nama Nanan Sukesna menguat di lingkungan DPR RI. Sangat mungkin, Presiden SBY memilihnya untuk menegaskan kepada legislatif bahwa posisi Kapolri  merupakan wewenang Kepala Negara. Dan, memang, legislatif akhirnya manut terhadap pilihan Presiden SBY.

Tapi, kini terasa betul bahwa hak Kepala Negara ini pantas dipersoalkan karena berkaitan dengan kepentingan bangsa dan Negara. Pasalnya, Kapolri pilihan Kepala Negara ini tak membawa perubahan mendasar dalam internal Polri. Citra Polri tetap saja buruk, malah terkesan lebih buruk dari citra polisi di dunia film.

Pertarungan Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satu contoh buruk itu. Polri justru merayakan ego lembaga sebagai institusi yang sejak awal punya hak menangani kasus korupsi, bukan berpikir tentang kepntingan bangsa dan Negara untuk menghapus korupsi. Cuma, Polri lupa bahwa wewenang itu sudah direduksi pemerintah bersamaan dengan lahirnya KPK. KPK juga punya wewenang yang sama, bahkan wewenang KPK melebihi wewenang Polri karena mempunyai hak melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan Polri secara terbuka dalam menyidik dan menyelidiki perkara korupsi.

Mestinya Polri menyadari bahwa KPK lahir akibat kasus korupsi merajalela di negeri ini. Merajalelanya karena lembaga penegak hokum yang berwenang soal korupsi itu, tidak bekerja secara baik. Terlalu banyak kasus korupsi yang ditangani, tetapi terlalu sedikit koruptor yang diadili.

Polri salah satu dari lembaga yang tidak bekerja secara baik. Banyak tersangka yang dibiarkan lari keluar negeri, tidak sedikit surat penghentian pemeriksaan perkara yang dikeluarkan, dan persoalan minimal tuntutan hukuman yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan sangat tak mencerminkan rasa keadilan public.  Belum lagi proses penyidikan dan penyelidikan yang berlarut-larut sehingga tersangka bisa menghilangkan barang bukti.

Sebab itu, tidak bisa ditawar lagi, Polri harus diselamatkan. Caranya, membasmi ulat-ulat pada kebun yang menyebabkan buah apel berulat. *

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda