Ulat di Kebun Polri
Dipublikasi di KORAN TEMPO edisi KAMIS, 01 NOVEMBER 2012
Kejahatan atau malpraktek
anggota polisi di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu
disebabkan individu polisi itu, tetapi faktor lingkungan dalam internal
institusi juga menjadi pendorong utama. Jika lebih dikaji, malpraktek yang
dilakukan anggota polisi sesungguhnya tidak selalu disebabkan watak dari
individu polisi, tetapi besar kemungkinan
dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya.
Hal yang sama juga berlaku
bagi anggota Polri. Buruknya perilaku
malpraktek di internal Polri, terutama yang dilakukan para perwira tinggi
seperti dalam kasus korupsi mobil simulator
SIM di Koorlantas Mabes Polri, bukan
mustahil telah memotivasi anggota polisi di level bawah untuk membenarkan
perilaku malpraktek itu. Apalagi
pembelaan institusi Polri begitu luar biasa terhadap perwira tingginya, dan
tidak perduli jika harus bertarung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bagi anggota Polri di level
paling bawah, yang setiap hari bertemu muka dengan masyarakat, tentu saja mustahil melakukan malpraktek
dengan keuntungan miliaran rupiah. Bagian mereka recehan, dikutif di jalan raya
dengan segala jenis pembenarkan aksinya atas nama tugas dan tanggung jawab
polisi.
*
George
Kirkham seorang intelektual yang serius dan tekun.
Untuk tahu tentang polisi, ia bekerja paruh waktu sebagai polisi sekaligus
pengajar bidang kriminologi di kampusnya, Florida State University. Dua tahun ia lakoni pekerjaan ganda itu,
melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab polisi di Amerika Serikat.
Ia terapkan pengalaman yang diperoleh
sebagi polisi dalam meningkatkan kemampuannya sebagai seorang kriminolog yang
mengajar di kampus.
Selama
dua itu pula, simpatinya tumbuh terhadap mereka yang berprofesi
sebagai polisi. Pandangannya yang biasanya miring terhadap polisi,
perlahan-lahan berubah menjadi lunak.
Perubahan besar itu terjadi karena selama bertugas sebagai polisi, ia
dituntut oleh lingkungan pekerjaan yang keras agar menjelma menjadi sosok yang
juga keras. Sikap lembut dan terlalu hati-hati dari seorang polisi justru akan
membahayakan diri dan rekan-rekaan tugas.
Itulah
kesimpulan yang diperoleh Profesor Emeritus di Florida State University College
of Criminology & Criminal Justice ini. Ia
mengakui tugas dan tanggung jawab polisi yang begitu berat dapat
memengaruhi karakteristik seorang aparat polisi. Sebab itu, publik mesti
memaklumi betapa berat beban tugas dan tanggung jawab seorang polisi di lapangan.
Tentu,
kesimpulan Kirkham ini akan diamini
seluruh polisi di dunia ini, termasuk anggota Korps Bhayangkara. Kirkham memberikan pembelaan yang luar biasa,
sehingga upayanya mendapat pujian dari banyak kalangan, termasuk dari
institusi-instusi polisi di Amerika Serikat yang menjadikannya sebagai
konsultan di bidang kriminologi.
Meskipun sudah umum diketahui, perilaku malpraktek polisi di Amerika
Serikat sangat parah.
Di negara
ini, polisinya dicitrakan sangat buruk seperti digambarkan Lawrence W. Sherman dalam bukunya, Scandal and Reform: Controlling
Police Corruption (1878).
Korupsi dan polisi Amerika Serikat sudah inheren dan tidak bisa
dibicarakan satu per satu seakan-akan tidak berkaitan. Inilah yang diistilahkan
Maurice Punch dalam bukunya, Police
Corruption: Deviance, Accountability and Reform in Policing (2009) dengan “soal sebenarnya bukan apel
yang busuk, soalnya adalah kebunnya yang busuk”.
Kejahatan atau malpraktek
anggota polisi di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu
disebabkan individu polisi itu, tetapi faktor lingkungan dalam internal
institusi juga menjadi pendorong utama. Jika lebih dikaji, malpraktek yang
dilakukan anggota polisi sesungguhnya tidak selalu disebabkan watak dari
individu polisi, tetapi besar kemungkinan
dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya.
Hal yang sama juga berlaku
bagi anggota Polri. Buruknya perilaku
malpraktek di internal Polri, terutama yang dilakukan para perwira tinggi
seperti dalam kasus korupsi mobil simulator
SIM di Koorlantas Mabes Polri, bukan
mustahil telah memotivasi anggota polisi di level bawah untuk membenarkan
perilaku malpraktek itu. Apalagi
pembelaan institusi Polri begitu luar biasa terhadap perwira tingginya, dan
tidak perduli jika harus bertarung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bagi anggota Polri di level
paling bawah, yang setiap hari bertemu muka dengan masyarakat, tentu saja mustahil melakukan malpraktek
dengan keuntungan miliaran rupiah. Bagian mereka recehan, dikutif di jalan raya
dengan segala jenis pembenarkan aksinya atas nama tugas dan tanggung jawab
polisi.
*
Membicarakan
Polri sambil meminjam sudut pandang George Kirkam, sudah tentu akan membuat
kita melihat personil polisi sebagai manusia biasa. Tapi, bukan pada posisi
manusia biasa itu yang jadi soal hari ini, melainkan pada tugas dan tanggung
jawab yang dibebankan di pundak seorang polisi. Yang jadi soal adalah apa yang
disebut Maurice Punch pada kutipan di awal, bahwa soalnya
bukan pada buah apelnya tetapi pada kebun apelnya. Artinya, bukan personil
polisinya yang menjadi soal, tetapi soal sesungguhnya adalah institusi
Polrinya.
Pada tataran inilah gagasan Reza Indragiri Amriel dalam tulisannya, Sekarang
Selamatkan Polri (Koran Tempo
edisi 23 Oktober 2012), harus
didukung. Secara garis besar ia
menitikberatkan pada persoalan pembenahan sumber daya manusia Polri, terutama
soal meningkatkan profesionalisme kerja SDM polisi dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya. Caranya, mengedepankan rekrutmen yang sehat dan membenahi lembaga-lembaga pendidikan yang
ada di lingkungan institusi tersebut.
Bila tawaran
itu dikerjakan hari ini, sangat pasti masa depan Polri akan cemerlang. Tapi,
perlu proses regenerasi dalam rentang waktu yang panjang. Padahal, kita
butuh Polri hari ini, seluruh anggota
Korps Bhayangkara yang mampu bertugas sesuai dengan Kode Etik Profesi dan
Sumpah Tribharata Polri. Anggota Polri yang seperti itu, sesungguhnya, sukar
kita temukan dalam kehidupan nyata.
Institusi
Polri di negara memang harus diselamatkan. Citra institusi ini sama seperti
polisi di dalam dunia sinematografi.
Kalau bukan sebagai entitas yang kurang disenangi, pastilah sebagai ikon keangkuhan. Kalau bukan
sebagai lambang pelembagaan korupsi, pastilah sebagai lambang pelembagaan
kriminalitas.
Film,
sekalipun sebuah fiksi, tetap merujuk pada realitas. Film tentang polisi
merujuk pada realitas actual yang ada.
Sukar mendebat hal itu, karena fakta menunjukkan kinerja aparat
kepolisian di lingkungan masyarakat berbanding lurus dengan citra polisi di dunia
film.
Mengubah
citra buruk Polri menjadi baik merupakan beban berat yang digenjotkan Presiden
SBY ke pundak Jenderal Pol Timur Pradopo. Sejak 20 Oktober 2012 lalu, berarti
genap dua tahun Jenderal Pol Timur Pradopo menjadi komandan pasukan Korps Bhayangkara.
Alumni Akpol angkatan 1978 itu menjadi orang yang dipilih langsung oleh
Presiden SBY, meskipun public dan legislatif di DPR RI cenderung memilih Komjen
Pol Nanan Sukesna untuk menggantikan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso
Daruri yang habis masa jabatannya.
Timur Pradopo
tak terlalu diharapkan publik. Dalam banyak diskusi, saya menyebut Kapolri yang
satu ini dipilih Presiden SBY sebagai
alternatif terakhir. Alternatif yang tak
pernah terpikirkan sebelumnya, tapi jadi pilihan setelah nama Nanan Sukesna
menguat di lingkungan DPR RI. Sangat mungkin, Presiden SBY memilihnya untuk
menegaskan kepada legislatif bahwa posisi Kapolri merupakan wewenang Kepala Negara. Dan,
memang, legislatif akhirnya manut terhadap pilihan Presiden SBY.
Tapi, kini
terasa betul bahwa hak Kepala Negara ini pantas dipersoalkan karena berkaitan
dengan kepentingan bangsa dan Negara. Pasalnya, Kapolri pilihan Kepala Negara
ini tak membawa perubahan mendasar dalam internal Polri. Citra Polri tetap saja
buruk, malah terkesan lebih buruk dari citra polisi di dunia film.
Pertarungan
Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satu contoh buruk itu.
Polri justru merayakan ego lembaga sebagai institusi yang sejak awal punya hak
menangani kasus korupsi, bukan berpikir tentang kepntingan bangsa dan Negara
untuk menghapus korupsi. Cuma, Polri lupa bahwa wewenang itu sudah direduksi
pemerintah bersamaan dengan lahirnya KPK. KPK juga punya wewenang yang sama,
bahkan wewenang KPK melebihi wewenang Polri karena mempunyai hak melakukan
hal-hal yang tak bisa dilakukan Polri secara terbuka dalam menyidik dan
menyelidiki perkara korupsi.
Mestinya
Polri menyadari bahwa KPK lahir akibat kasus korupsi merajalela di negeri ini.
Merajalelanya karena lembaga penegak hokum yang berwenang soal korupsi itu,
tidak bekerja secara baik. Terlalu banyak kasus korupsi yang ditangani, tetapi
terlalu sedikit koruptor yang diadili.
Polri salah
satu dari lembaga yang tidak bekerja secara baik. Banyak tersangka yang
dibiarkan lari keluar negeri, tidak sedikit surat penghentian pemeriksaan
perkara yang dikeluarkan, dan persoalan minimal tuntutan hukuman yang tertulis
dalam berita acara pemeriksaan sangat tak mencerminkan rasa keadilan public. Belum lagi proses penyidikan dan penyelidikan
yang berlarut-larut sehingga tersangka bisa menghilangkan barang bukti.
Sebab itu,
tidak bisa ditawar lagi, Polri harus diselamatkan. Caranya, membasmi ulat-ulat
pada kebun yang menyebabkan buah apel berulat. *
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda