Politik Beras Bulog Lampung

by - September 28, 2010

Ayam mati di lumbung beras. Umpasan atau pribahasa yang sangat umum untuk menunjukkan sebuah ironi dalam kehidupan. Ironi yang bermula dari kebodohan, dan berakhir sebagai kebodohan.


Oleh Budi Hutasuhut
Dipublikasikan di Radar Lampung edisi 27 September 2010


Umpasan itu sangat tepat menggambarkan realitas perberasan di Lampung saat ini. Karena di provinsi yang sangat mengandalkan sektor pertanian ini, terjadi kekurangan beras. Alasan itu dipakai Badan Urusan Logistik Divisi Regional Lampung mendatangkan beras dari Sulawesi Selatan sebanyak 5.500 ton.

Tentu saja alasan ini sangat tak logis. Sebab, hingga kini posisi Lampung sebagai pemasok sekitar 20%--40% kebutuhan beras nasional belum tergoyahkan. Bukan saja karena luas panen dan tingkat produksi padinya terus meningkat setiap tahun, tapi juga kualitas berasnya menjadi komoditas primadona masyarakat.

Petani Lampung sudah bekerja keras untuk menjaga provinsi ini tetap pada track sebagai “produsen beras” yang andal. Sebab itu, ada baiknya Bulog Divre Lampung merevisi alasan mereka mendatangkan beras dari luar daerah ke Lampung. Revisi dimulai dengan memberi alasan yang lebih jujur, misalnya, Bulog Divre Lampung lebih diuntungkan jika mendatangkan beras daripada membeli beras hasil budidaya petani Lampung.

***

Sudah umum diketahui, Bulog merupakan institusi publik sekaligus komersil. Tugasnya menyediakan pangan bagi masyarakat pada harga yang terjangkau di seluruh daerah serta mengendalikan harga pangan di tingkat produsen dan konsumen. Dengan tugas dan tanggung jawab itu, Bulog menjadi institusi yang sangat otoriter dalam menetukan harga beras.

Berlindung di balik Inpres 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan, Bulog acap tampil otoriter. Institusi ini dengan seenaknya menetapkan standar pembelian beras yang pada intinya menolak membeli beras hasil budidaya petani di Lampung. Rumit dan tidak logisnya standar pembelian beras membuat petani enggan berhubungan dengan Bulog.

Kondisi ini diperparah oleh patokan harga pembelian yang ditetapkan Bulog Divre Lampung. Harga itu jauh di bawah harga beras yang berkembang di pasar-pasar. Petani pun lebih suka menjual hasil panennya kepada swasta yang datang dari luar Lampung. Akibatnya, sebagian besar beras produksi Lampung keluar dari Provinsi Lampung tanpa melalui Bulog Divre Lampung.

Kondisi inilah yang diinginkan Bulog Divre Lampung. Karena petani menolak menjual berasnya, sementara Bulog Divre Lampung harus bertanggung jawab atas penyaluran beras bersubsidi sesuai program Beras Keluarga Miskin (Raskin), maka Bulog mendatangkan beras dari luar Lampung.

Tahun 2010 ini, Bulog Divre Lampung bertanggung jawab mendistribusikan 99.899.190 kg beras untuk program Raskin di 14 kabupaten/kota dan 204 Kecamatan se-Provinsi Lampung. Beras sebanyak itu akan disalurkan kepada 739.994 Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM) di Provinsi Lampung.

Kebutuhan beras sebanyak 99.899.190 kg itu seharusnya dikumpulkan Bulog Divre Lampung dari hasil panen petani Lampung. Tapi, kebutuhan beras itu malah dipenuhi Bulog Divre Lampung dengan cara mendatangkan beras dari luar Lampung. Tidak perduli kualitas beras yang didatangkan itu tidak sesuai standar beras Bulog. Bahkan, tidak sedikit dari beras yang didatangkan itu ternyata merupakan beras yang sudah busuk dan terlalu lama di dalam gudang.

Terungkapnya kasus beras busuk yang didatangkan Bulog Divre Lampung dari Jawa Tengah beberapa waktu lalu, menjadi salah satu bukti. Kebijakan ini dipilih karena Bulog Divre Lampung akan diuntungkan secara bisnis. Keuntungan yang sangat mungkin tidak masuk ke kas negara melalui Perum Bolog, tetapi singgah di saku para pejabat Bulog Divre Lampung yang menangani masalah beras.

Dalam waktu dekat, Bulog Divre Lampung akan mendatangkan beras sebanyak 5.500 ton dari Sulawesi Selatan. Beras hasil dari Sulsel ini untuk menambah kekurangan stok beras di Bulog Divre Lampung untuk penyaluran 11.000 ton beras (raskin) per bulan. Jika hal ini terealisasi, ini merupakan keempat kalinya Bulog Divre Lampung mendatangkan beras dari luar Lampung.

Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Lampung, stok beras di Lampung sangat memenuhi kebutuhan lokal. Tahun ini diperkirakan Lampung surplus 700.000 ton beras. Sebab itu, terhadap kebijakan Bulog Divre Lampung ini, mau tak mau public pantas mencurigai. Elite-elite di Bulog Divre Lampung kadung diuntungkan secara pribadi oleh kebijakan ini, sehingga akan terus-menerus memilih mendatangkan beras dari luar Lampung daripada membeli beras hasil panen petani.

***

Tentu saja ini subyektivitas penulis yang perlu pembuktian. Tapi, jika kita mengacu pada kasus Ibnushiyam Mawardi, Kepala Bulog Divre Lampung yang dicopot dari jabatannya dan menjadi tersangka dalam penyidikan oleh Polda Lampung, ada baiknya aparat penegak hokum bekerja ekstra keras. Orang seperti Ibnushiyam Mawardi, sangat mungkin menumpuk di lingkungan Bulog Divre Lampung. Orang semacam ini, yang mengambil keuntungan dari “menindas” rakyat miskin, tak pantas menjadi pejabat di lingkungan Perum Bulog.

Tentu saja tidak sulit bagi penegak hukum untuk memulai penyidikan. Melalui dokumen pembelian beras akan terlihat perbedaan harga yang sangat tajam. Sebagai institusi yang kegiatan pengadaan berasnya dan harga pembelian beras diatur oleh Inpres 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan, perbedaan harga pembelian beras di luar Lampung akan sangat meninjol. Apakah selisih harga pembelian dengan harga sesuai Inpres itu dikembalikan ke kas Perum Bulog atau tidak. ***

You May Also Like

0 #type=(blogger)