Novel yang Mengungkap Kebohongan

by - March 21, 2011


The White Tiger tidak sekadar novel. Ia adalah sinisme Aravind Adiga, penulis novel ini, dalam melihat India. Negara asal para dewa itu tidak lebih dari sepotong kegelapan di muka bumi ini. Di dalam kegelapan itu apa saja dapat menimpa orang-orang miskin, bahkan kemiskinan itu membuat nasib mereka tidak lebih bagus daripada nasib seekor kerbau. Nasib yang tanpa disadari dapat mengubah seorang yang baik, lugu, polos, menjadi pembunuh berdarah dingin yang menciptakan mala petaka bagi kehidupan bangsa India.




Judul : The White Tiger
Penulis : Aravind Adiga
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Penerbit : Sheila, 2010
Tebal : 352 halaman



Kemiskinan adalah kutukan bagi warga Negara India. Begitu seseorang terlahir sebagai orang miskin, maka seumur hidupnya ia akan berada dalam kerangkeng kemiskinan itu.

Sekuat apapun upayanya untuk mengubah nasib, segala sesuatunya akan sia-sia, dan ia akn berhadapan dengan kenyataan bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang mendarah-daging.

Adalah Balram, tokoh dalam novel ini, menceritakan kisah hidupnya kepada Perdana Menteri China, Wen Jiabao, yang akan datang ke India. Dalam sebuah surat panjang lebar, Balram bercerita tentang desa kelahirannya, kehidupan masyarakat miskin di desa itu, dunia pendidikan yang buruk, korupsi yang mewajar, dusta-dusta religi tentang kesakralan Sungai Gangga, dan politisi-politisi busuk. Semua disampaikan dengan kemarahan dipendam, dengan sinisme yang berusaha diluapkan, juga dengan ketidakberdayaan menghadapi realitas kehidupan.

Balram lahir sebagai anak laki-laki dan sampai ia mengenyam pendidikan dasar, ia tidak pernah diberi nama oleh orang tuanya karena hidup mereka terlalu miskin. Kemiskinan membuat ayahnya menghabiskan waktu setiap hari mencari nafkah sebagai penarik rickshaw (becak), sedang ibunya lama meninggal karena diserang penyakit akut.

Sementara sanak famili lainnya, karena kemiskinan, sibuk merancang niat untuk melakukan kelicikan demi kelicikan dalam hidup. Tak ada seorang pun yang punya sedikit waktu untuk memikirkan sepotong nama buat anaknya itu.

Karena itu, ia dipanggil Mannu (panggilan untuk anak laki-laki di India). Tapi, oleh gurunya ia diberi nama Balram. Itu nama salah seorang Dewa dalam tradisi religi India. Nama Balram sangat melekat padanya. Karena ia berasal dari kasta rendah yaitu Halwai—kasta pembuat gula-gula—maka Halwai menjadi nama b elakangnya.

Dalam perkembangan kemudian, seorang pengawas sekolah yang datang inspeksi mendadak ke sekolahnya, memuji kecerdasan Balram dan menyanjungnya sebagai manusia ajaib yang hanya muncul sekali dalam satu generasi. Alasan itu pula yang dipakai pengawas sekolah itu untuk menyebut Balram sebagai Harimau Putih (White Tiger).

Dalam tradisi religi India, harimau putih mahluk langka. Binatang itu muncul sekali dalam satu generasi. Setiap kali datang, binatang itu senantiasa membawa perubahan besar. Ia—Mannu atau Balram—akhirnya memang identik dengan nama Harimau Putih. Nama itu membawa perubahan besar dalam hidupnya, bahkan pada akhirnya semangat yang membungkus nama itu melekat dalam dirinya. Ia merasa dirinya adalah Harimau Putih, terutama karena kesinisannya dalam melihat kehidupan India moderen.

“India,” kata Balram, “belum pernah merdeka. Hanya orang tolol yang menganggap kami sudah merdeka”.

Ketidakmerdekaan bangsa India, dibeberkan begitu sinis dan sarkas dalam bab pertama novel yang ditulis dengan teknik bernarasi. Balram, tokoh novel ini, menjadi narrator yang menceritakan kisah hidupnya di masa kecil. Lahir di lingkungan India yang ‘gelap’ karena kemiskinan tak mau beranjak dari distrik tempat tinggalnya itu.

Kemiskinan akibat para elite salah mengelola negara, korupsi merajalela, ketimpangdaan sosial sangat tajam, politik tanpa etika, hukum yang tak jelas, dan penindasan yang diwajarkan atas nama stratifikasi sosial.

India dalam novel ini adalah Negara yang sepenuhnya belum jadi negara. Negara yang membiarkan warganya hidup dalam kerangkeng kemiskinan, negara yang tidak bisa berbuat banyak mengatasi tangan-tangan kekuasaan sosial yang begitu kuat mencengkram dan meremukkan masa depan setiap warganya. Tuan tanah merupakan mimpi buruk bagi semua warga. Kekuasaannya yang besar terhadap berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial membuat tuan-tuan tanah tampil sebagai penguasa paling otoriter dibandingkan Negara.

Tuan tanah inilah yang menyebabkan kemiskinan keluarga Balram tidak kunjung bisa diperbaiki. Kerja keras ayahnya, Vikram Halwai, untuk mengubah nasib dengan bekerja sebagai penarik rickshaw pada akhirnya sia-sia belaka. Laki-laki itu, satu-satunya orang yang merasa paling bertanggung jawab atas nasib dan masa depan Balram, diserang tuberkolosa akut dan akhirnya meninggal di rumah sakit lantaran tidak ada dokter yang mau menangani penyakit itu.

Kegetiran hidup Balram belum selesai setelah ayahnya meninggal. Ia harus bekerja menghidupi dirinya, menjadi pelayan di warung teh, tetapi kemudian dikusir dan tidak diterima lagi bekerja dimana pun. Ia berusaha mencari pekerjaan tetapi karena ia lahir dari kasta rendah, tidak seorang pun mau mempekerjakannya. Sampai suatu hari ia belajar membawa mobil kepada seseorang. Dengan pengetahuan membawa mobil, suatu hari ia dipertemukan dengan Mr. Ashok, seorang tuan tanah yang baru tiba dari Amerika.

Mr. Ashok akan tinggal di India, di Kota Banglahore, dan ia butuh seorang sopir untuk membawanya keliling kota itu. Sebuah kebetulan Balram datang, lalu kemampuannya diuji coba untuk membawa Mr. Ashok. Sejak itulah ia bekerja sebagai sopir Mr. Ashok.

Menjadi sopir Mr. Ashok, duduk di belakang setir sementara Mr. Ashok duduk di belakang, membuat hidup Balram berubah. Dia harus tinggal bersama Mr. Ashok, menemani Mr. Ashok kemana saja, dan harus menerima ketika Mr. Ashok memperlakukan seperti anjing buduk yang tak berharga. Mr. Ashok seorang tuan tanah, memiliki kasta tinggi, dan pergaulannya sangat luas di kalangan para tuan tanah, juga di kalangan politisi.

Menemani Mr. Ashok kemana saja membuat Balram menjadi paham banyak hal tentang Mr. Ashok, politik, religi, kemunafikan, keangkuhan, kesombongan, dan pemberontakan. Perlahan-lahan semua sisi buruk kehidupan para tuan tanah India melkat dalam diri Balram, lalu suatu ketika ia putuskan menggorok Mr. Ashok hanya karena ingin menikmati hidup tanpa kehadiran seorang tuan. Keinginan untuk merdeka, bebas menentukan hidupnya, membuat Balram membunuh Mr. Ashok.

Sangat wajar jika novel perdana Aravind Adiga ini memperoleh The Man Book Prize 2008, membuat penulis yang juga wartawan ini sejajar dengan sastrawan ternama asal India, Saman Rusdhi, yang sebelumnya sudah menerima hadiah serupa.

Tulisan terkait:


The White Tiger wins Man Booker Prize

Aravind Adiga's "The White Tiger" Wins Booker Prize


You May Also Like

0 #type=(blogger)