Chaostic Mind

by - March 19, 2011

Saya ada di sana ketika para intelektual memberi penilain miring terhadap reformasi di negeri ini. Saya pikir mereka punya kapasitas untuk melakukan penilaian, karena mereka punya andil besar untuk melahirkan mahluk bernama reformasi juga turunannya, otonomi daerah.



Oleh Budi P. Hatees

Mereka, para pembicara dalam seminar yang bertema "Apa Golongan Darah Indonesia, Meluruskan Arah Reformasi", menilai reformasi dan juga otonomi daerah telah memunculkan puluhan persoalan kritis di seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka meresume seminar itu dengan judul "Pokok-Pokok Rangkuman Seminar Nasional Konvensi Ikatan Alumni Lemhanas" yang dibacakan Panitia di akhir acara. Kemudian Ketua Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL), Agum Gumelar, mengungkapkan kekagumannya atas isi seminar.

Tapi saya kok merasa geli karena penilaian-penilaian itu. Geli lantaran ketika mereka bicara, seolah-olah mereka tidak sedang membicarakan dirinya. Mereka seperti berada di luar pagar. Seperti penonton pertandingan sepak bola di atas tribun.

Seperti layaknya para petinggi negara ini. Seolah mereka tidak punya andil dalam memunculkan persoalan-persoalan itu. Padahal, sebaliknya.

Karena itu, apa yang mereka ucapkan, sesungguhnya tanggung jawab mereka. Tapi, tanggung jawab itu mereka alihkan ke pundak pihak lain. Pundak para elite negara, seolah-olah elite negara yang sesungguhnya telah melakukan kekeliruan. Kekeliruan yang fatal, yang membuat negara ini menjadi "negara gagal".

Itulah tak enaknya jadi elite negara, selalu jadi sasaran untuk melemparkan tomat busuk. Itulah pula enaknya menjadi bukan elite negara, selalu diberi tepuk tangan jika membeberkan kelemahan dan keburukan negara. Segala yang lemah tentang negara akan dirayakan siapa saja, karena negara yang penuh ketidakpastian sudah tak berwiba di mata rakyatnya.

Dalam situasi seperti itu, mereka yang dipuji adalah mereka yang berada di luar, yang merayakan euforia ketidakberwibawaan negara. Mereka pun berbicara dengan bahasa yang dirancang-bangun penuh kesadaran diksi, tak kentara kalau mereka sedang "buang selah". Bahasa mereka, bahasa para intelektual yang terdengar asing (alian code). Bahasa para pengamat yang hanya mengandalkan lidah. Bahasa yang sengaja disampaikan tanpa keteraturan semantik, yang berakhir sebagai kekaburan dan ketidakjelasan. Bahasa yang berkabut. Bahasa kegelapan.

Soal berbahasa seperti ini, sepertinya, galib dilakukan para intelektual di negeri kita. Bahkan, akhir-akhir ini, mereka saling melontarkan wacana yang tindih-menindih, sehingga tak satu ihwal pun dapat dibuat terang dan jelas. Tindih menindih yang membuatnya serbatak bisa diduga, sukar ditafsirkan, dan tidak bisa diprediksi.

Situasi ini serupa dalam chaos. "Chaos," kata Ian Stewart dalam Predicting the Future (1993), "satu keadaan ketakterprediksian". Semacam horor paling menyeramkan, paling mencekam. Mencekam, karena lahir dalam pikiran, sehingga sukar dilihat wujudnya. Ia meneror pikiran.

Mihaly Csikszentmihalyi dalam The Evolving Self (2000) mengakui, pikiran manusia pada dasarnya bersifat chaostic. Chaostis karena mereka, sesungguhnya, tak bisa memprediksikan masa depan negeri ini. Mereka hanya tahu--juga sepakat--bahwa reformasi gagal. Banyak indikator yang membenarkan kesepakatan itu. Hanya itu, tak lebih.

Kita pun, yang hanya rakyat biasa, sepakat soal reformasi yang gagal. Bahkan, kita, sudah sampai pada fase kecewa. Pesimis. Tidak percaya lagi.

Mestinya, karena sudah sepakat bahwa reformasi gagal, maka yang terpenting adalah solusinya. Bagaimana supaya tidak gagal? Apa yang harus dilakukan agar reformasi sukses?

Itulah yang membuat saya geli. Saya menjadi lebih paham, mereka hanya mengandalkan pikiran. Pikiran mereka dibangun oleh ketakterprediksian. Tak seorangpun yang dapat memastikan apa yang akan ia pikirkan besok. Tak ada sebuah kesadaranpun yang dapat memprediksi apa yang akan disadarinya besok. Tak ada sebuah pandanganpun yang dapat melihat pasti masa depan.

Dan, karena itu, tak ada pengetahuan di sana. Pengetahuan, sejak awal disepakati ummat manusia, memiliki hakikat untuk menawarkan pencerahan, membuka tabir kegelapan.

Itulah sebabnya, cara yang dipakai para intelektual untuk menilai reformasi, adalah mengubah cara berbahasa. Mereka bermain-main pada tingkat bahasa, seperti mengagumi dirinya selaku homo simbolicum.

Yasraf Amir Piliang mengatakan bahasa biasa dipakai untuk menutup titik terang keberaturan gagasan, ide atau konsep yang orisinil dan cerdas. Seperti bahasa politik. Ia menjadi sebuah ‘ilusi’ dengan istilah mentereng yang terdengar menyenangkan hati: "pro rakyat", “bersatu pasti bisa", "pembela hati nurani rakyat", "mensejahterakan rakyat", "rakyat membangun", dll.

Di telinga, terdengar sangat menyenangkan. Ada keberpihakan kepada rakyat. Tapi, jargon politik itu, tidak terang realitasnya. Bahasa, seperti yang dilakukan media massa, dipakai untuk membikai (framing) fakta ke dalam apa yang disebut berita. Tapi, dalam pekerjaan membingkai, sebuah realitas diungkap sekaligus disembunyikan atas nama kepentingan.

Begitu juga para intelektual yang membuat saya geli. Di satu sisi, mereka teriak bahwa reformasi gagal. Di sisi lain mereka menutupi bahwa kegagalan itudisebabkan mereka sendiri. Ketika mengemakan reformasi, mereka tidak mempersiapkan aturan yang jelas. Mereka hanya berpikir tentang reformasi, tapi tak berpikir dampaknya kelas.

Soal otonomi daerah juga begitu. Mereka hanya berpikir, yang penting daerah memiliki otonomi. Tapi tak mempersiapkan infrastrukturnya. Ketika semua berjalan, maka langkahnya pasti timpang. Semua yang timpang, pasti tidak sempurna. Semua yang tak sempurna, pastilah buruk.

Bagi mereka, yang terbiasa berpikir dalam bingkai "yang penting jalan dulu", akan menikmati ketimpangan-ketimpangan yang ada sebagai momentum agar selalu dilibatkan dalam pembicaraan tentang hal yang sama. Mereka yang meletakkan dasar reformasi dan otonomi daerah, karena dasar itu tidak sempurna, akan dilibatkan terus untuk menyempurnakannya. Tapi,orientasi mereka tidak untuk menyempurnakan.

Begitulah, saya akhirnya tertawa. Sampai seminar itu selesai, saya tetap tertawa.

Apa golongan darah bangsa Indonesia? Pertanyaan itu lebih terkesan bukan untuk mentranfusi darah segar agar Indonesia tidak pucat. Pertanyaan itu untuk mengetahui apakah golongan darah bangsa Indonesia itu cocok dengan diri personal atau tidak. Kalau cocok, tinggal hirup saja darah yang sisa.

You May Also Like

0 #type=(blogger)