1/
KAMI memanggilnya Burju. Kata ompungnya—ia tinggal bersama ompungnya—nama adalah doa. Ompungnya yang memberi nama itu, sebuah doa agar kelak ia seperti namanya. "Semoga ia tidak seperti ayahnya," kata ompungnya.
KAMI memanggilnya Burju. Kata ompungnya—ia tinggal bersama ompungnya—nama adalah doa. Ompungnya yang memberi nama itu, sebuah doa agar kelak ia seperti namanya. "Semoga ia tidak seperti ayahnya," kata ompungnya.
Ya, kami kenal ayahnya. Namanya Soaloon. Ia hidup sebagai maling. Luar biasa kemampuannya. Konon bisa masuk lobang angin. Segala kunci bisa dibukanya. Kami tak menyukainya. Ia merusak nama baik kampung kami. Karena dirinya, orang-orang dari kampung lain tidak menyukai kami. Untunglah Soaloon cepat mati.
Seperti pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Begitulah Soaloon. Dua hari sebelum Burju lahir, Soaloon tertangkap basah sedang mencuri di rumah Toke Laklak, warga kampung tetangga. Semua orang yang tak senang padanya, merasa memiliki cukup alasan untuk menghajarnya. Habis-habisan. Dan, Soaloon, akhirnya habis.
Kematian Soaloon membuat Marni, istrinya yang sedang hamil tua, jadi sangat sedih. Ia selalu membela Soaloon dan semua yang dilakukan suaminya itu. Katanya, Soaloon tak pernah berniat mencuri, tetapi hanya ingin menghidupi keluarganya. Katanya lagi, pada hari yang naas itu Soaloon hanya berniat mencari uang untuk biaya persalinan.
Karena terlalu sedih, tubuh Marni jadi lemah. Saat kelahiran anak dalam kandungannya tiba, Marni tak punya tenaga lagi untuk mengejan. Tubuhnya teramat lemah. Dan, konon, ia sudah meninggal sebelum anaknya lahir. "Bukan," bantah Ompung Burju, "Burju lahir sebelum ibunya meninggal."
Tapi kabar yang menyebar menyebutkan berbeda. Orang-orang pun semakin yakin ketika cucu yang lahir itu diberi nama Burju. Apalagi setelah ompungnya bilang: "Semoga ia tak seperti ayahnya."
2/
KAMI yang tahu apakah Burju seperti namanya. Setiap kali mengingat perkataan ompungnya, kami selalu bergumam betapa menyedihkannya doa ompungnya. Sebab, Burju tidaklah seperti namanya. Ia lebih mirip ayahnya. Kami pun menebak-nebak bahwa sesungguhnya ia penjelmaan dari ayahnya.
Kami tak menyukai Burju. Kami tak pernah mengajaknya bermain. Ia pendiam, tak banyak cakap. Tapi ia punya kebiasaan buruk. Ia tidak pernah tahan melihat barang orang lain. Ia sering mengambil barang-barang kami tanpa izin. Ia mengambilnya dengan sikap tenang. Sangat tenang untuk seseorang yang telah mencuri milik orang lain.
Ia juga tak perduli kami mengetahuinya atau tidak. Kalau kami mengetahui dan meminta barang yang dicurinya, ia akan memberi barang itu dengan sikap yang biasa-biasa saja. Kalau kami marah dan menuduhnya pencuri, ia tidak bereaksi. Ia tenang-tenang saja, seolah-olah kata “pencuri” tak bermakna negatif baginya.
3/
KAMI sering mengabaikannya. Tapi, ia sulit diabaikan. Ia selalu mendekat setiap kali kami sedang bermain. Ia muncul tiba-tiba, entah dari mana. Ia selalu membawa sesuatu yang membuat kami tertarik. Dan, ia mengizinkan kami untuk bermain dengan apa yang dibawanya.
Sebagai anak kampung, kami sangat mendambakan memiliki mainan bagus seperti yang dimiliki anak-anak di kota. Misalnya, mobil-mobilan dari besi yang pintunya bisa dibuka dan ditutup. Kami belum pernah melihat mainan seperti itu, meskipun tahu ada mainan seperti itu. Itulah yang dibawa Burju, entah dari mana ia mendapatkannya. Kalau kami tanya, ia bilang dibelikan ompungnya.
Awalnya kami tak percaya, karena ompungnya bukan orang kaya. Tak mungkin ompungnya mampu membeli mainan yang mahal. Tapi ia mampu meyakinkan kami bahwa ompungnya akan membelikan apa saja yang diinginkannya. Ia bilang, ompungnya sangat mencintainya karena ia memiliki riwayat hidup yang menyedihkan. "Ompung ingin saya hidup bahagia," katanya.
4/
BELAKANGAN kami tak percaya lagi. Soalnya, Burju muncul selalu membawa mainan baru. Bukan mainan sembarangan. Kami tahu mainan-mainan itu harganya mahal. Mainan-mainan itu pun hanya dijual di kota. Kalau mainan itu ada di kampung kami, pasti ada orang yang baru pulang dari kota dan bersengaja membawa mainan itu.
Kami tahu Burju tak punya siapa pun di kota. Ia hanya punya seorang ompung. Ompungnya sendiri hanya punya seorang anak, yaitu Marni, ibunya Burju. Jadi, tak mungkin ada orang yang datang dari kota membawa mainan untuk Burju. Kami jadi curiga. Kami menanyakan kepada Burju tentang kecurigaan kami. Burju tidak banyak cakap. Kami panas dan menuduhnya mencuri mainan-mainan itu. Burju tidak terlalu perduli dengan tuduhan kami.
Sikap Burju biasa-biasa saja. Ia seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan. Seperti biasa, ia tetap tenang. Ia pendiam. Dingin. Kami pun jadi sangsi dengan kecurigaan kami.
5/
SUATU hari kami bertanya kepada ompungnya tentang mainan-mainan Burju. Ompungnya malah tersenyum dan mengajak kami masuk ke rumah. Di dalam rumah itu menumpuk bermacam-macam mainan. Mulai dari mobil-mobilan ukuran kecil dan besar sampai tembak-tembakan. Burju sedang tak ada di rumah. Kami memang sengaja mendatangi ompungnya pada saat Burju tak ada. Tapi, reaksi ompungnya yang biasa-biasa saja membuat kecurigaan kami menjadi hilang.
"Burju memang bernasib baik. Ada-ada saja orang yang mau memberinya main-mainan," kata ompungnya.
Ompunya kemudian menyuruh kami bermain. Katanya, kami boleh bermain dengan mainan-mainan milik Burju. Tentu saja kami tak menolaknya. Kami pun menikmati bermain dengan berbagai jenis mainan yang sejak lama kami idamkan. Kami bermain sepuas-puasnya.
Ketika hari sudah sore, kami pun berpamitan. Ompungnya tersenyum. Katanya, kami boleh dating kapan saja ingin bermain dengan mainan-mainan itu. Kami mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
6/
SEPANJANG perjalanan kami memuji mainan-mainan milik Burju. Kami membayangkan mainan-mainan itu ada di rumah kami. Dengan begitu kami bisa menikmatinya setiap saat, kapan kami ingin menikmatinya. Kami pun jadi bangga memiliki kawan seperti Burju. Kami merasa Burju sangat beruntung. Nasib buruknya kehilangan ayah sekaligus ibu dalam waktu hamper bersamaan tak membuatnya hidup menderita. Semua orang menyayanginya karena nasib buruknya.
Tanpa sadar kami menjadi iri. Kami ingin orang-orang menyangi kami seperti mereka menyayangi Burju. Tapi itu mustahil. Jangankan orang-orang, keluarga kami sendiri jarang menyayangi kami dengan cara membelikan mainan untuk kami. Kami maklum soal itu, karena keluarga kami bukan keluarga kaya.
Untunglah kami punya kawan seperti Burju. Kalau kami ingin mainan bagus, kami mendatangi ke rumahnya. Ompungnya pasti senang.
7/
BEGITULAH kami selalu datang ke rumah Burju. Kami memainkan mainan-mainannya sesuka hati dan sepuas-puasnya. Ketika sore tiba, kami berpamitan untuk pulang. Ompung Burju sangat senang.
Tapi, sejak kami sering main ke rumahnya, tak pernah sekali pun bertemu dengan Burju. Entah kemana ia. Kami tak merasa kehilangan dirinya. Kami pun tidak menanyakan kepada ompunya. Kami hanya memikirkan soal mainan-mainannya.
Pertanyaan itu baru muncul saat kami berjalan meninggalkan rumahnya. Kami baru tersadar ternyata sudah lama tidak pernah melihat Burju. Kami jadi bertanya-tanya. Dan, tiba-tiba, kami mencurigai telah terjadi sesuatu terhadap Burju. Tapi kami tak tahu apa yang telah menimpanya.
Kami niatkan akan menanyakan kepada ompunya jika besok kembali lagi ke rumah itu.
8/
LAKI-LAKI tua itu mengambil lampu minyak yang disangkutkan di dinding papan rumahnya. Di luar malam mulai merambat. Dengan lampu di tangan, laki-laki tua itu melangkah ke jendela. Ia menutupkan daun jendela. Setelah memastikan terkunci rapat, ia melangkah ke pintu rumah dan memastikan bahwa pintu itu terkunci rapat.
Setelah itu ia melangkah ke pintu yang memisahkan ruang tamu dengan dapur. Ia berhenti sebentar ketika tubuhnya sejajar dengan sebuah foto berbingkai kayu yang ditempel di dinding. Ia pandangi foto yang berisi seorang perempuan muda dan seorang anak perempuan yang masih berumur lima tahun. Itulah foto almarhum istrinya, Siti Sadiyah, bersama almarhun anak gadisnya, Marni. Mendadak air matanya menggenangi kelopak mata. Buru-buru ia tinggalkan foto itu.
Ia sibak korden bercorak bunga-bunga yang jadi pemisah ruang tamu dengan dapur. Dapur perlahan-lahan mulai terang oleh pendaran lampu minyak yang dibawanya. Sudut-sudut dapur yang kelam dan jorok terlihat jelas. Pada beberapa tiang tampak sarang laba-laba. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Ia melangkah sangat perlahan. Suara langkahnya tak terdengar pada lantai kayu. Tak ada derit pada lantai itu seolah-olah tubuhnya sangat ringan.
Ia angkat lampu minyak tinggi-tinggi untuk menyinari seluruh bagian dapur. Dan, tiba-tiba, cahaya yang temaram itu menangkap sosok anak kecil sedang jongkok dekat tungku. Kedua tangan yang kecil itu terikat pada sebatang kayu, sedangkan pergelakangan kaki yang sangat ramping itu terbelenggu dua batang kayu balok yang disatukan. Di samping anak itu ada sebuah cangkir kaleng dan piring kaleng. Beberapa butir nasi terserak di sekitarnya.
“Kau dengar suara mereka tadi,” kata laki-laki tua itu, jelas ditujukan kepada anak kecil itu. “Mereka datang kemari dan memainkan mainan-mainanmu.”
“Kenapa Ompung memasung aku di sini? Apa salahku?” Suara anak kecil itu terdengar memelas.
“Ini baik untungmu,” kata laki-laki tua itu. “Dengan begini, kau tidak akan bisa mencuri lagi. Aku berharap kau lahir dan besar sebagai orang baik, tapi di darah dan dagingmu mengalir darah orang tak baik dari ayahmu.”
“Aku tak bersalah!” teriak anak kecil itu.
Suara teriakannya tak ditanggapi laki-laki tua itu. Ia buru-buru meninggalkan dapur dan pergi ke ruang tamu. Begitu duduk di kursi tua yang menghasilkan derit ketika bersentuhan dengan pantatnya, laki-laki tua itu segera mematikan lampu minyak. Malam merambat di dalam rumah itu. Kelam mengental, mengalir sampai ke dalam dada laki-laki tua itu. ****
Sipirok, 10 Mei 2011
Catatan: Burju dari bahasa Batak artinya sangat baik.
Dipublikasi di JURNAL MEDAN edisi 15 Mei 2011
Seperti pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Begitulah Soaloon. Dua hari sebelum Burju lahir, Soaloon tertangkap basah sedang mencuri di rumah Toke Laklak, warga kampung tetangga. Semua orang yang tak senang padanya, merasa memiliki cukup alasan untuk menghajarnya. Habis-habisan. Dan, Soaloon, akhirnya habis.
Kematian Soaloon membuat Marni, istrinya yang sedang hamil tua, jadi sangat sedih. Ia selalu membela Soaloon dan semua yang dilakukan suaminya itu. Katanya, Soaloon tak pernah berniat mencuri, tetapi hanya ingin menghidupi keluarganya. Katanya lagi, pada hari yang naas itu Soaloon hanya berniat mencari uang untuk biaya persalinan.
Karena terlalu sedih, tubuh Marni jadi lemah. Saat kelahiran anak dalam kandungannya tiba, Marni tak punya tenaga lagi untuk mengejan. Tubuhnya teramat lemah. Dan, konon, ia sudah meninggal sebelum anaknya lahir. "Bukan," bantah Ompung Burju, "Burju lahir sebelum ibunya meninggal."
Tapi kabar yang menyebar menyebutkan berbeda. Orang-orang pun semakin yakin ketika cucu yang lahir itu diberi nama Burju. Apalagi setelah ompungnya bilang: "Semoga ia tak seperti ayahnya."
2/
KAMI yang tahu apakah Burju seperti namanya. Setiap kali mengingat perkataan ompungnya, kami selalu bergumam betapa menyedihkannya doa ompungnya. Sebab, Burju tidaklah seperti namanya. Ia lebih mirip ayahnya. Kami pun menebak-nebak bahwa sesungguhnya ia penjelmaan dari ayahnya.
Kami tak menyukai Burju. Kami tak pernah mengajaknya bermain. Ia pendiam, tak banyak cakap. Tapi ia punya kebiasaan buruk. Ia tidak pernah tahan melihat barang orang lain. Ia sering mengambil barang-barang kami tanpa izin. Ia mengambilnya dengan sikap tenang. Sangat tenang untuk seseorang yang telah mencuri milik orang lain.
Ia juga tak perduli kami mengetahuinya atau tidak. Kalau kami mengetahui dan meminta barang yang dicurinya, ia akan memberi barang itu dengan sikap yang biasa-biasa saja. Kalau kami marah dan menuduhnya pencuri, ia tidak bereaksi. Ia tenang-tenang saja, seolah-olah kata “pencuri” tak bermakna negatif baginya.
3/
KAMI sering mengabaikannya. Tapi, ia sulit diabaikan. Ia selalu mendekat setiap kali kami sedang bermain. Ia muncul tiba-tiba, entah dari mana. Ia selalu membawa sesuatu yang membuat kami tertarik. Dan, ia mengizinkan kami untuk bermain dengan apa yang dibawanya.
Sebagai anak kampung, kami sangat mendambakan memiliki mainan bagus seperti yang dimiliki anak-anak di kota. Misalnya, mobil-mobilan dari besi yang pintunya bisa dibuka dan ditutup. Kami belum pernah melihat mainan seperti itu, meskipun tahu ada mainan seperti itu. Itulah yang dibawa Burju, entah dari mana ia mendapatkannya. Kalau kami tanya, ia bilang dibelikan ompungnya.
Awalnya kami tak percaya, karena ompungnya bukan orang kaya. Tak mungkin ompungnya mampu membeli mainan yang mahal. Tapi ia mampu meyakinkan kami bahwa ompungnya akan membelikan apa saja yang diinginkannya. Ia bilang, ompungnya sangat mencintainya karena ia memiliki riwayat hidup yang menyedihkan. "Ompung ingin saya hidup bahagia," katanya.
4/
BELAKANGAN kami tak percaya lagi. Soalnya, Burju muncul selalu membawa mainan baru. Bukan mainan sembarangan. Kami tahu mainan-mainan itu harganya mahal. Mainan-mainan itu pun hanya dijual di kota. Kalau mainan itu ada di kampung kami, pasti ada orang yang baru pulang dari kota dan bersengaja membawa mainan itu.
Kami tahu Burju tak punya siapa pun di kota. Ia hanya punya seorang ompung. Ompungnya sendiri hanya punya seorang anak, yaitu Marni, ibunya Burju. Jadi, tak mungkin ada orang yang datang dari kota membawa mainan untuk Burju. Kami jadi curiga. Kami menanyakan kepada Burju tentang kecurigaan kami. Burju tidak banyak cakap. Kami panas dan menuduhnya mencuri mainan-mainan itu. Burju tidak terlalu perduli dengan tuduhan kami.
Sikap Burju biasa-biasa saja. Ia seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan. Seperti biasa, ia tetap tenang. Ia pendiam. Dingin. Kami pun jadi sangsi dengan kecurigaan kami.
5/
SUATU hari kami bertanya kepada ompungnya tentang mainan-mainan Burju. Ompungnya malah tersenyum dan mengajak kami masuk ke rumah. Di dalam rumah itu menumpuk bermacam-macam mainan. Mulai dari mobil-mobilan ukuran kecil dan besar sampai tembak-tembakan. Burju sedang tak ada di rumah. Kami memang sengaja mendatangi ompungnya pada saat Burju tak ada. Tapi, reaksi ompungnya yang biasa-biasa saja membuat kecurigaan kami menjadi hilang.
"Burju memang bernasib baik. Ada-ada saja orang yang mau memberinya main-mainan," kata ompungnya.
Ompunya kemudian menyuruh kami bermain. Katanya, kami boleh bermain dengan mainan-mainan milik Burju. Tentu saja kami tak menolaknya. Kami pun menikmati bermain dengan berbagai jenis mainan yang sejak lama kami idamkan. Kami bermain sepuas-puasnya.
Ketika hari sudah sore, kami pun berpamitan. Ompungnya tersenyum. Katanya, kami boleh dating kapan saja ingin bermain dengan mainan-mainan itu. Kami mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
6/
SEPANJANG perjalanan kami memuji mainan-mainan milik Burju. Kami membayangkan mainan-mainan itu ada di rumah kami. Dengan begitu kami bisa menikmatinya setiap saat, kapan kami ingin menikmatinya. Kami pun jadi bangga memiliki kawan seperti Burju. Kami merasa Burju sangat beruntung. Nasib buruknya kehilangan ayah sekaligus ibu dalam waktu hamper bersamaan tak membuatnya hidup menderita. Semua orang menyayanginya karena nasib buruknya.
Tanpa sadar kami menjadi iri. Kami ingin orang-orang menyangi kami seperti mereka menyayangi Burju. Tapi itu mustahil. Jangankan orang-orang, keluarga kami sendiri jarang menyayangi kami dengan cara membelikan mainan untuk kami. Kami maklum soal itu, karena keluarga kami bukan keluarga kaya.
Untunglah kami punya kawan seperti Burju. Kalau kami ingin mainan bagus, kami mendatangi ke rumahnya. Ompungnya pasti senang.
7/
BEGITULAH kami selalu datang ke rumah Burju. Kami memainkan mainan-mainannya sesuka hati dan sepuas-puasnya. Ketika sore tiba, kami berpamitan untuk pulang. Ompung Burju sangat senang.
Tapi, sejak kami sering main ke rumahnya, tak pernah sekali pun bertemu dengan Burju. Entah kemana ia. Kami tak merasa kehilangan dirinya. Kami pun tidak menanyakan kepada ompunya. Kami hanya memikirkan soal mainan-mainannya.
Pertanyaan itu baru muncul saat kami berjalan meninggalkan rumahnya. Kami baru tersadar ternyata sudah lama tidak pernah melihat Burju. Kami jadi bertanya-tanya. Dan, tiba-tiba, kami mencurigai telah terjadi sesuatu terhadap Burju. Tapi kami tak tahu apa yang telah menimpanya.
Kami niatkan akan menanyakan kepada ompunya jika besok kembali lagi ke rumah itu.
8/
LAKI-LAKI tua itu mengambil lampu minyak yang disangkutkan di dinding papan rumahnya. Di luar malam mulai merambat. Dengan lampu di tangan, laki-laki tua itu melangkah ke jendela. Ia menutupkan daun jendela. Setelah memastikan terkunci rapat, ia melangkah ke pintu rumah dan memastikan bahwa pintu itu terkunci rapat.
Setelah itu ia melangkah ke pintu yang memisahkan ruang tamu dengan dapur. Ia berhenti sebentar ketika tubuhnya sejajar dengan sebuah foto berbingkai kayu yang ditempel di dinding. Ia pandangi foto yang berisi seorang perempuan muda dan seorang anak perempuan yang masih berumur lima tahun. Itulah foto almarhum istrinya, Siti Sadiyah, bersama almarhun anak gadisnya, Marni. Mendadak air matanya menggenangi kelopak mata. Buru-buru ia tinggalkan foto itu.
Ia sibak korden bercorak bunga-bunga yang jadi pemisah ruang tamu dengan dapur. Dapur perlahan-lahan mulai terang oleh pendaran lampu minyak yang dibawanya. Sudut-sudut dapur yang kelam dan jorok terlihat jelas. Pada beberapa tiang tampak sarang laba-laba. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Ia melangkah sangat perlahan. Suara langkahnya tak terdengar pada lantai kayu. Tak ada derit pada lantai itu seolah-olah tubuhnya sangat ringan.
Ia angkat lampu minyak tinggi-tinggi untuk menyinari seluruh bagian dapur. Dan, tiba-tiba, cahaya yang temaram itu menangkap sosok anak kecil sedang jongkok dekat tungku. Kedua tangan yang kecil itu terikat pada sebatang kayu, sedangkan pergelakangan kaki yang sangat ramping itu terbelenggu dua batang kayu balok yang disatukan. Di samping anak itu ada sebuah cangkir kaleng dan piring kaleng. Beberapa butir nasi terserak di sekitarnya.
“Kau dengar suara mereka tadi,” kata laki-laki tua itu, jelas ditujukan kepada anak kecil itu. “Mereka datang kemari dan memainkan mainan-mainanmu.”
“Kenapa Ompung memasung aku di sini? Apa salahku?” Suara anak kecil itu terdengar memelas.
“Ini baik untungmu,” kata laki-laki tua itu. “Dengan begini, kau tidak akan bisa mencuri lagi. Aku berharap kau lahir dan besar sebagai orang baik, tapi di darah dan dagingmu mengalir darah orang tak baik dari ayahmu.”
“Aku tak bersalah!” teriak anak kecil itu.
Suara teriakannya tak ditanggapi laki-laki tua itu. Ia buru-buru meninggalkan dapur dan pergi ke ruang tamu. Begitu duduk di kursi tua yang menghasilkan derit ketika bersentuhan dengan pantatnya, laki-laki tua itu segera mematikan lampu minyak. Malam merambat di dalam rumah itu. Kelam mengental, mengalir sampai ke dalam dada laki-laki tua itu. ****
Sipirok, 10 Mei 2011
Catatan: Burju dari bahasa Batak artinya sangat baik.
Dipublikasi di JURNAL MEDAN edisi 15 Mei 2011