Tak usahlah kusebut nama gadis yang aku cintai itu. Ia sudah pergi dan semua ini hanya kenangan. Cukup aku jelaskan serbasedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya; disebabkan karena ia hatoban.
SERIBU tahun lalu leluhur margaku, panusunan bulung, menaklukkan leluhur marganya dalam sebuah drama pertempuran yang kolosal. Leluhur margaku berhasil menggiring leluhur marganya ke tepi Aek Lappesong yang deras dan berbatu-batu dimana sebuah jurang menganga dan mengaum garang. Hanya ada dua pilihan bagi leluhur marganya, meloncat ke mulut jurang dengan resiko berkeping-keping dicabik batu cadas, atau takluk kepada leluhur margaku dengan resiko hidup sebagai hatoban.
Pilihan kedua yang dipilih leluhur marganya, entah apa alasannya. Aku meyesalkan pilihan leluhur marganya itu. Kalau saja ia memilih pilihan pertama, tak akan kualami kisah ini. Tapi tidak, ia pilih pilihan kedua. Sejak itulah cerita ini bermula dan hingga hari ini keturunan leluhur marganya tetap menjadi hatoban. Dengan sendirinya dirinya pun menjadi hatoban.
“Kau tak bisa mengubah itu,” kata Inang ketika aku cerita betapa ia, gadis yang aku cintai itu, telah merebut hatiku dengan cara yang sangat lembut. “Bagaimana mungkin keluarga panusunan bulung menikahi hatoban.”
Bah! Vonis Inang betul-betul meruntuhkan hatiku. Kenapa Inang membuat semuanya menjadi begitu berat? Padahal Inang tinggal merestui hubungan kami. Habis perkara. Tetapi aku tak berani mendebat Inang. Bisa kualat aku. Aku diam saja ketika Inang mewanti-wanti agar aku jangan pernah lagi memikirkannya. “Kau mau semua hatobangon di kampong ini memusuhi kita,” ancam Inang.
Amang seperti biasa tak banyak cakap. Ia menatapku dengan cara yang sangat aneh.
Tak kutanggapi kemarahan Inang, tak kumasukkan ke hati tatapan Amang. Aku diam saja meskipun dalam hati aku merencanakan akan menemui gadis yang aku cintai itu secara sembunyi-sembunyi. Maka aku temuilah ia secara sembunyi-sembunyi. Kami berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi, sehingga hubungan kami menjadi sangat akrab dan kami berencana akan menikah. Lalu rencana itu pun terbersit; kami akan
kawin lari (marlojong).
Tetapi ketika tiba hari yang kami rencanakan untuk marlojong, Amanguda, adik kedua Amang, mencegat kami saat melewati jalan setapak menuju kota kecamatan. Tidak banyak cakap ia dan langsung menghantam hidungku dengan tinjunya. Sakitnya minta ampun. Kepalaku pusing bukan main, tetapi aku diam saja. “Dasar kau tak tahu adat. Kau mau merusak paradaton. Kau itu anak raja.” Amangudaku diam. “Kau ditunggu Mangaraja Marulam di rumah. Habislah kau kali ini!!!” Amangudaku menyebut nama Amang, lalu berbalik kepada perempuan yang aku cintai. Ia terlipat ketakutan. Ia menyembunyikan wajahnya pada lututnya. Aku kasihan sekali padanya. Amangudaku menyemprotnya dengan makian-makian yang memerihkan hatiku. “Dasar hatoban. Tak tahu diri kau. Anjing kau. Babi kau….”
“Amanguda!” Aku melawan. “Dia sama seperti aku, kami sama-sama manusia.”
***
SESUNGGUHNYA hubungan kami sudah berlangsung sangat lama, sejak kami kecil. Kami lahir pada hari yang sama, tetapi jamnya yang berbeda. Aku lebih tua tiga jam. Perbedaan yang lain, aku lahir dibantu seorang bidan. Ia lahir dibantu Ompu Erna, seorang datu beranak. Aku lahir di puskesmas, sedang ia lahir pada salah satu kamar di belakang rumahku.
Di kamar itu Inang dan Amangnya tinggal sebagai pembantu kami. Entah sejak kapan mereka tinggal bersama kami. Kedua orangtuanya sangat baik kepadaku. Mereka memperlakukan aku seperti kepada anaknya sendiri, apalagi aku sangat akrab dengan putri mereka. Keakrabanku tak pernah dipersoalkan siapa pun, termasuk Inang maupun Amang. Barangkali karena mereka mengira kami masih anak-anak dan semua keakraban kami hanya sebatas hubungan anak-anak.
Tetapi mereka keliru. Itulah hubungan yang menumbuhkan perasaan membahagiakan. Setiap kali bersama perempuan yang aku cintai itu, aku merasa sangat hidup. Aku menjadi seorang laki-laki dewasa yang dirongrong oleh perasaan ingin selalu melindunginya. Rupanya ia tahu aku sangat menyayanginya dan begitu melindunginya. Ia bangga sekali mendapat perlakuan seperti itu dariku. Aku menyadarinya karena ia selalu berusaha memberi peran besar kepadaku agar aku tetap berusaha melindunginya.
Begitulah kami selalu bersama sejak kecil. Ketika beranjak dewasa, aku mulai memiliki perasaan yang luar biasa ketika berdekatan dengannya. Ada debar dalam jantung aku setiap kali kami bersitatap. Matanya yang bulat dan bercahaya itu betul-betul meruntuhkan jiwaku. Ketika itulah aku susah payah menata kata untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Aku juga kepayahan menyusun keberanian untuk mengungkapkan kata-kata cintaku.
Setelah bertahun-tahun, setelah kami sama-sama bersekolah di SMA, barulah kata-kata itu tersusun rapih bersama dengan menguatnya keberanianku. Maka, sepulang dari sekolah, saat kami berjalan berdua di bukit padang lalang menuju perkampungan—satu-satunya SMA hanya ada di kota kecamatan—aku minta ia berhenti karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Saat itu kami berada di puncak bukit, dan dari tempat itu kami bisa melihat matahari menggeser tubuhnya ke barat secara perlahan-lahan. Aku bilang padanya bahwa aku jatuh cinta dan tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa dirinya. Aku berdebar-debar menunggu jawabannya. Aku sangat takut ia menolak. Tetapi ia tak menolak, hanya mengangguk pelan. Aku lihat kulit pipinya yang putih bersih itu memerah seperti bunga kincung. Sore itu aku melihatnya seperti bidadari yang baru keluar dari dongengngan. Lalu aku peluk tubuhnya, aku cium keningnya dengan keriangan yang luar biasa.
Sejak itu kami berkasih-kasihan. Semakin hari, semakin dalam aku masuk ke hatinya. Semakin dalam pula ia menyusup ke hatiku, mengendap sari-sari jiwanya di darahku. Karena keriangan yang luar biasa, akupun mengungkapkannya kepada Inang. Dengan kening berkerut, Inang berkata: “Dia hatoban dan sampai kapan pun tetap hatoban. Kau tidak bisa dekat dengannya.”
Seharusnya tak kusampaikan kepada Inang tentang perasaanku kepada gadis yang aku cintai itu. Tetapi aku terlalu bahagia dan sangat ingin agar orang lain ikut menikmati kebahagiaanku. Tetapi keputusan aku itu ternyata jadi petaka. Sejak Inang tahu, ia melarangku berdekatan dengan gadis yang aku cintai itu. Malah, suatu hari Inang menghardik orangtua gadis yang aku cintai itu dengan sangat kasar. Aku tak tahu bagaimana dan kapan kejadiannya. Mungkin saat kami sedang berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi di pinggir Aek Lappesong, atau saat kami sedang di sekolah. Yang jelas, orangtua gadis yang aku cintai itu meminta dengan sangat kepadaku agar menjauhi putri mereka. Aku bilang tidak bisa. “Aku mencintainya, sangat mencintainya,” kataku.
Orangtua gadis yang aku cintai itu menangis. Mereka memohon. Aku bersikeras. Saat itulah muncul gagasan itu. “Kalau begitu, kami akan marlojong,” kataku.
Mereka kaget. “Jangan!”
Aku tak perduli. Malam itu pun aku mengajak gadis yang kucintai itu marlojong. Ia mengangguk. Kami pun membuat rencana. Dan ketika rencana itu final, kami pun bergerak. Sayang, Amangudaku mengetahuinya. Lalu….
***
SEMUA harapanku kandas. Dengan cara yang sangat kasar Amang mengusir aku dari kampong. “Kau tak bisa menjaga adat,” katanya.
“Inang sudah mengingatkanmu,” timpal Inang.
Aku diam saja. Ada kemarahan meledak, tetapi aku tahankan. Juga ketika aku melangkah meninggalkan kampong mengikuti perintah Amang. Ia seorang yang keras, kaku, dan tidak boleh dibantah. Maklum, ia seorang raja, raja dalam trah marga kami, panusunan bulung. Apapun yang ia katakan adalah titah. Panusunan bulung itu turunan langsung dari mulajadi nabolon. Aku, anak tunggalnya yang juga pewaris panusunan bulung, hanya bisa menunduk meninggalkan kampong.
Aku diwajibkan ke Jakarta, ke rumah Inangboruku, adik perempuan Amang. Ketika aku tiba di rumah Inangboruku yang luas dan megah di Jakarta Selatan, ia langsung mewanti-wanti dengan sekian banyak peraturan dalam rumah yang tak boleh aku langgar. Aku sudah membayangkan akan menjalani hidup yang kerontang, setidaknya mirip kehidupan yang dijalani Inangboruku.
Inangboruku menikah dengan orang dari Mandailing, tetapi aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Orang Mandailing itu, Amangboruku, konon kabarnya tidak terlalu perduli dengan situasi Inangboruku dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Ia seorang polisi laut, bekerja di Pelabuhan Tanjungpriok, dan banyak menghabiskan waktunya di sejumlah hotel dan bar bersama para pengusaha pengiriman barang. Mereka sengaja menjamu Amangboruku dan membuatnya merasa dihargai agar Amangboruku tidak perlu memeriksa jenis-jenis barang yang mau keluar maupun yang masuk ke Pelabuhan Tanjungpriok.
Amangboruku memang tidak memeriksanya, tetapi dengan syarat para pengusaha itu menyisahkan saham di perusahaan mereka masing-masing 20% untuk dimilikinya. Itu sebabnya Amangboruku sangat kaya, sangat kaya. Tetapi aku yakin, suatu saat ia akan jadi sasaran petugas yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi. Suatu saat pasti. Karena hidup Amangbaruku dengan mobil yang selalu baru dan Inangborku selalu mempertontonkannya kepada setiap orang dalam acara arisan yang penuh percikan ludah basi, sangat terkesan seolah-olah mereka punya saham juga di PT Perusahaan Uang Republik Indonesia (Peruri).
Aku tak terlalu memusingkan itu. Aku cuma pusing oleh bayangan gadis yang aku cintai itu. Ia tidak pernah redup. Seperti bola lampu yang terbuat dari cahaya keabadian, ia berpijar-pijar dalam diriku. Ia menyala-nyala dalam hatiku. Tetapi entah dimana ia saat ini.
Sejak Amangudaku menangkap tangan kami saat mau marlojong, ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari setiap orang di kampong. Perlakuan yang lebih kurang seperti diberikan Amangudaku saat menangkap tangan kami. Dan, karena kasihan pada dirinya, orangtuanya mengajaknya pindah ke tempat lain tanpa memberitahuku ke mana.
Itulah salah satu alasan aku menerima perintah Amang agar pergi ke Jakarta.
Namun aku selalu memikirkan gadis yang aku cintai itu selama bertahun-tahun. Ia tak tergantikan oleh apa pun, oleh siapa pun. Semakin tahun ia semakin berpijar-pijar. Nyalanya lebih terang dari matahari, lebih indah dari rembulan. Sampai bertahun-tahun kemudian aku kembali ke kampong saat tidak muda lagi. Tapi aku tetap saja seorang pemuda dengan jantung yang berdebar-debar seperti dulu sembari membayangkan aku akan bertemu dengannya.
Meskipun aku tak yakin ia akan ada di sana mengingat bagaimana ia sangat disakiti orang kampong sehingga memutuskan pergi. Entahlah, dadaku berdebar-debar sepanjang perjalanan pulang. Aku menata kata-kata yang pas untuk disampaikan kepadanya. Situasi ini sama persis seperti bertahun-tahun lalu ketika aku akan mengatakan cinta kepadanya.
Dan tiba-tiba semua seperti baru dimulai, seperti tidak pernah ada yang berubah.
***
TAK usahlah kusebut nama gadis yang aku cintai itu. Cukup aku jelaskan serbasedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya. Juga saat aku temui ia kembali, beberapa tahun kemudian. Ia berdiri di tempat kami sering berkasih-kasihan, di pingir Aek Lappesong yang tak dialiri air lagi. Di sana tak ada batu-batu cadas karena orang-orang menambangnya. Tetapi yang sangat menarik bagiku adalah sosoknya. Ia tidak berubah sama sekali, juga kecantikannya. Waktu tak membuatnya lebih tua. “Kau?” kataku.
Ia tersenyum. “Ya, aku. Aku menunggumu di sini bertahun-tahun. Aku yakin suatu saat kau akan menepati janjimu.”***
SERIBU tahun lalu leluhur margaku, panusunan bulung, menaklukkan leluhur marganya dalam sebuah drama pertempuran yang kolosal. Leluhur margaku berhasil menggiring leluhur marganya ke tepi Aek Lappesong yang deras dan berbatu-batu dimana sebuah jurang menganga dan mengaum garang. Hanya ada dua pilihan bagi leluhur marganya, meloncat ke mulut jurang dengan resiko berkeping-keping dicabik batu cadas, atau takluk kepada leluhur margaku dengan resiko hidup sebagai hatoban.
Pilihan kedua yang dipilih leluhur marganya, entah apa alasannya. Aku meyesalkan pilihan leluhur marganya itu. Kalau saja ia memilih pilihan pertama, tak akan kualami kisah ini. Tapi tidak, ia pilih pilihan kedua. Sejak itulah cerita ini bermula dan hingga hari ini keturunan leluhur marganya tetap menjadi hatoban. Dengan sendirinya dirinya pun menjadi hatoban.
“Kau tak bisa mengubah itu,” kata Inang ketika aku cerita betapa ia, gadis yang aku cintai itu, telah merebut hatiku dengan cara yang sangat lembut. “Bagaimana mungkin keluarga panusunan bulung menikahi hatoban.”
Bah! Vonis Inang betul-betul meruntuhkan hatiku. Kenapa Inang membuat semuanya menjadi begitu berat? Padahal Inang tinggal merestui hubungan kami. Habis perkara. Tetapi aku tak berani mendebat Inang. Bisa kualat aku. Aku diam saja ketika Inang mewanti-wanti agar aku jangan pernah lagi memikirkannya. “Kau mau semua hatobangon di kampong ini memusuhi kita,” ancam Inang.
Amang seperti biasa tak banyak cakap. Ia menatapku dengan cara yang sangat aneh.
Tak kutanggapi kemarahan Inang, tak kumasukkan ke hati tatapan Amang. Aku diam saja meskipun dalam hati aku merencanakan akan menemui gadis yang aku cintai itu secara sembunyi-sembunyi. Maka aku temuilah ia secara sembunyi-sembunyi. Kami berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi, sehingga hubungan kami menjadi sangat akrab dan kami berencana akan menikah. Lalu rencana itu pun terbersit; kami akan
kawin lari (marlojong).
Tetapi ketika tiba hari yang kami rencanakan untuk marlojong, Amanguda, adik kedua Amang, mencegat kami saat melewati jalan setapak menuju kota kecamatan. Tidak banyak cakap ia dan langsung menghantam hidungku dengan tinjunya. Sakitnya minta ampun. Kepalaku pusing bukan main, tetapi aku diam saja. “Dasar kau tak tahu adat. Kau mau merusak paradaton. Kau itu anak raja.” Amangudaku diam. “Kau ditunggu Mangaraja Marulam di rumah. Habislah kau kali ini!!!” Amangudaku menyebut nama Amang, lalu berbalik kepada perempuan yang aku cintai. Ia terlipat ketakutan. Ia menyembunyikan wajahnya pada lututnya. Aku kasihan sekali padanya. Amangudaku menyemprotnya dengan makian-makian yang memerihkan hatiku. “Dasar hatoban. Tak tahu diri kau. Anjing kau. Babi kau….”
“Amanguda!” Aku melawan. “Dia sama seperti aku, kami sama-sama manusia.”
***
SESUNGGUHNYA hubungan kami sudah berlangsung sangat lama, sejak kami kecil. Kami lahir pada hari yang sama, tetapi jamnya yang berbeda. Aku lebih tua tiga jam. Perbedaan yang lain, aku lahir dibantu seorang bidan. Ia lahir dibantu Ompu Erna, seorang datu beranak. Aku lahir di puskesmas, sedang ia lahir pada salah satu kamar di belakang rumahku.
Di kamar itu Inang dan Amangnya tinggal sebagai pembantu kami. Entah sejak kapan mereka tinggal bersama kami. Kedua orangtuanya sangat baik kepadaku. Mereka memperlakukan aku seperti kepada anaknya sendiri, apalagi aku sangat akrab dengan putri mereka. Keakrabanku tak pernah dipersoalkan siapa pun, termasuk Inang maupun Amang. Barangkali karena mereka mengira kami masih anak-anak dan semua keakraban kami hanya sebatas hubungan anak-anak.
Tetapi mereka keliru. Itulah hubungan yang menumbuhkan perasaan membahagiakan. Setiap kali bersama perempuan yang aku cintai itu, aku merasa sangat hidup. Aku menjadi seorang laki-laki dewasa yang dirongrong oleh perasaan ingin selalu melindunginya. Rupanya ia tahu aku sangat menyayanginya dan begitu melindunginya. Ia bangga sekali mendapat perlakuan seperti itu dariku. Aku menyadarinya karena ia selalu berusaha memberi peran besar kepadaku agar aku tetap berusaha melindunginya.
Begitulah kami selalu bersama sejak kecil. Ketika beranjak dewasa, aku mulai memiliki perasaan yang luar biasa ketika berdekatan dengannya. Ada debar dalam jantung aku setiap kali kami bersitatap. Matanya yang bulat dan bercahaya itu betul-betul meruntuhkan jiwaku. Ketika itulah aku susah payah menata kata untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Aku juga kepayahan menyusun keberanian untuk mengungkapkan kata-kata cintaku.
Setelah bertahun-tahun, setelah kami sama-sama bersekolah di SMA, barulah kata-kata itu tersusun rapih bersama dengan menguatnya keberanianku. Maka, sepulang dari sekolah, saat kami berjalan berdua di bukit padang lalang menuju perkampungan—satu-satunya SMA hanya ada di kota kecamatan—aku minta ia berhenti karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Saat itu kami berada di puncak bukit, dan dari tempat itu kami bisa melihat matahari menggeser tubuhnya ke barat secara perlahan-lahan. Aku bilang padanya bahwa aku jatuh cinta dan tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa dirinya. Aku berdebar-debar menunggu jawabannya. Aku sangat takut ia menolak. Tetapi ia tak menolak, hanya mengangguk pelan. Aku lihat kulit pipinya yang putih bersih itu memerah seperti bunga kincung. Sore itu aku melihatnya seperti bidadari yang baru keluar dari dongengngan. Lalu aku peluk tubuhnya, aku cium keningnya dengan keriangan yang luar biasa.
Sejak itu kami berkasih-kasihan. Semakin hari, semakin dalam aku masuk ke hatinya. Semakin dalam pula ia menyusup ke hatiku, mengendap sari-sari jiwanya di darahku. Karena keriangan yang luar biasa, akupun mengungkapkannya kepada Inang. Dengan kening berkerut, Inang berkata: “Dia hatoban dan sampai kapan pun tetap hatoban. Kau tidak bisa dekat dengannya.”
Seharusnya tak kusampaikan kepada Inang tentang perasaanku kepada gadis yang aku cintai itu. Tetapi aku terlalu bahagia dan sangat ingin agar orang lain ikut menikmati kebahagiaanku. Tetapi keputusan aku itu ternyata jadi petaka. Sejak Inang tahu, ia melarangku berdekatan dengan gadis yang aku cintai itu. Malah, suatu hari Inang menghardik orangtua gadis yang aku cintai itu dengan sangat kasar. Aku tak tahu bagaimana dan kapan kejadiannya. Mungkin saat kami sedang berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi di pinggir Aek Lappesong, atau saat kami sedang di sekolah. Yang jelas, orangtua gadis yang aku cintai itu meminta dengan sangat kepadaku agar menjauhi putri mereka. Aku bilang tidak bisa. “Aku mencintainya, sangat mencintainya,” kataku.
Orangtua gadis yang aku cintai itu menangis. Mereka memohon. Aku bersikeras. Saat itulah muncul gagasan itu. “Kalau begitu, kami akan marlojong,” kataku.
Mereka kaget. “Jangan!”
Aku tak perduli. Malam itu pun aku mengajak gadis yang kucintai itu marlojong. Ia mengangguk. Kami pun membuat rencana. Dan ketika rencana itu final, kami pun bergerak. Sayang, Amangudaku mengetahuinya. Lalu….
***
SEMUA harapanku kandas. Dengan cara yang sangat kasar Amang mengusir aku dari kampong. “Kau tak bisa menjaga adat,” katanya.
“Inang sudah mengingatkanmu,” timpal Inang.
Aku diam saja. Ada kemarahan meledak, tetapi aku tahankan. Juga ketika aku melangkah meninggalkan kampong mengikuti perintah Amang. Ia seorang yang keras, kaku, dan tidak boleh dibantah. Maklum, ia seorang raja, raja dalam trah marga kami, panusunan bulung. Apapun yang ia katakan adalah titah. Panusunan bulung itu turunan langsung dari mulajadi nabolon. Aku, anak tunggalnya yang juga pewaris panusunan bulung, hanya bisa menunduk meninggalkan kampong.
Aku diwajibkan ke Jakarta, ke rumah Inangboruku, adik perempuan Amang. Ketika aku tiba di rumah Inangboruku yang luas dan megah di Jakarta Selatan, ia langsung mewanti-wanti dengan sekian banyak peraturan dalam rumah yang tak boleh aku langgar. Aku sudah membayangkan akan menjalani hidup yang kerontang, setidaknya mirip kehidupan yang dijalani Inangboruku.
Inangboruku menikah dengan orang dari Mandailing, tetapi aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Orang Mandailing itu, Amangboruku, konon kabarnya tidak terlalu perduli dengan situasi Inangboruku dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Ia seorang polisi laut, bekerja di Pelabuhan Tanjungpriok, dan banyak menghabiskan waktunya di sejumlah hotel dan bar bersama para pengusaha pengiriman barang. Mereka sengaja menjamu Amangboruku dan membuatnya merasa dihargai agar Amangboruku tidak perlu memeriksa jenis-jenis barang yang mau keluar maupun yang masuk ke Pelabuhan Tanjungpriok.
Amangboruku memang tidak memeriksanya, tetapi dengan syarat para pengusaha itu menyisahkan saham di perusahaan mereka masing-masing 20% untuk dimilikinya. Itu sebabnya Amangboruku sangat kaya, sangat kaya. Tetapi aku yakin, suatu saat ia akan jadi sasaran petugas yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi. Suatu saat pasti. Karena hidup Amangbaruku dengan mobil yang selalu baru dan Inangborku selalu mempertontonkannya kepada setiap orang dalam acara arisan yang penuh percikan ludah basi, sangat terkesan seolah-olah mereka punya saham juga di PT Perusahaan Uang Republik Indonesia (Peruri).
Aku tak terlalu memusingkan itu. Aku cuma pusing oleh bayangan gadis yang aku cintai itu. Ia tidak pernah redup. Seperti bola lampu yang terbuat dari cahaya keabadian, ia berpijar-pijar dalam diriku. Ia menyala-nyala dalam hatiku. Tetapi entah dimana ia saat ini.
Sejak Amangudaku menangkap tangan kami saat mau marlojong, ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari setiap orang di kampong. Perlakuan yang lebih kurang seperti diberikan Amangudaku saat menangkap tangan kami. Dan, karena kasihan pada dirinya, orangtuanya mengajaknya pindah ke tempat lain tanpa memberitahuku ke mana.
Itulah salah satu alasan aku menerima perintah Amang agar pergi ke Jakarta.
Namun aku selalu memikirkan gadis yang aku cintai itu selama bertahun-tahun. Ia tak tergantikan oleh apa pun, oleh siapa pun. Semakin tahun ia semakin berpijar-pijar. Nyalanya lebih terang dari matahari, lebih indah dari rembulan. Sampai bertahun-tahun kemudian aku kembali ke kampong saat tidak muda lagi. Tapi aku tetap saja seorang pemuda dengan jantung yang berdebar-debar seperti dulu sembari membayangkan aku akan bertemu dengannya.
Meskipun aku tak yakin ia akan ada di sana mengingat bagaimana ia sangat disakiti orang kampong sehingga memutuskan pergi. Entahlah, dadaku berdebar-debar sepanjang perjalanan pulang. Aku menata kata-kata yang pas untuk disampaikan kepadanya. Situasi ini sama persis seperti bertahun-tahun lalu ketika aku akan mengatakan cinta kepadanya.
Dan tiba-tiba semua seperti baru dimulai, seperti tidak pernah ada yang berubah.
***
TAK usahlah kusebut nama gadis yang aku cintai itu. Cukup aku jelaskan serbasedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya. Juga saat aku temui ia kembali, beberapa tahun kemudian. Ia berdiri di tempat kami sering berkasih-kasihan, di pingir Aek Lappesong yang tak dialiri air lagi. Di sana tak ada batu-batu cadas karena orang-orang menambangnya. Tetapi yang sangat menarik bagiku adalah sosoknya. Ia tidak berubah sama sekali, juga kecantikannya. Waktu tak membuatnya lebih tua. “Kau?” kataku.
Ia tersenyum. “Ya, aku. Aku menunggumu di sini bertahun-tahun. Aku yakin suatu saat kau akan menepati janjimu.”***