Bisa jadi tak
akan ada yang paham apa pidori pada saat ini. Sejarah telah menenggelamkan kata
"pidori" dalam lipatan-lipatan masa lalu yang tak perlu diingat.
Padahal segala yang berbau sejarah, segetir apapun hal itu pernah menoreh luka
dalam diri kita, sesuatu yang perlu dipelihara dan dijaga. Dan, pada paruh abad
ke-19, setiap orang di Kabupaten Tapanuli Selatan akan bersembunyi begitu mendengar kata pidori
diteriakkan seseorang sambil berlari terbirit-birit. Karena setiap orang akan
membayangkan kematian yang terasa begitu dekat, cepat, dan singkat. Kreek! Ada daging
yang tersayat. Setidaknya itulah yang ingin diungkapkan Basyral Hamidy Harahap
ketika ia menulis Greget Tuanku Rao
(2007).
Pidori adalah
bahasa Batak, bahasa yang dipakai masyarakat Batak Angkola--yang menyebar di
wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Padanglawas, Padanglawas Utara, dan
Mandailing--untuk menyebut padri. Padri identik dengan kematian, yakni
sepasukan laskar berkuda, berjubah putih, dan berserban, yang datang dari
Minangkabau dengan pedang di tangan dan siap menebas apa saja. Pasukan itu
menyerang daerah Tapanuli bagian Selatan, mulai dari Mandailing sampai Sipirok,
dan penyerangan itu berlangsung dari 1816 sampai 1833. Selama itu pula,
kematian telah banyak diciptakan, penderitaan berkepanjangan, dan tragedi
kemanusiaan paling kejam dalam sejarah manusia di wilayah Tapanuli Selatan.
Cuma, Basyral
Hamidy Harahap terlalu ingin menjadi monumen dari sejarah kepedihan manusia di
tangan padri yang selalu berdarah di tanah Tapanuli bagian Selatan. Ia
menggembar-gemborkan fakta kekejaman itu untuk melengkapi fakta-fakta yang
luput dari pengamatan Mangaraja Onggang Parlindungan ketika menulis Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Padahal, nyaris tidak kita temukan
bukti-bukti konkrit dari kekejaman itu seperti ketika orang-orang menemukan
kuburan massal dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Charles Taylor, bekas
Presiden Liberia, ketika ia menjadi pemimpin pemberontak yang menggulingkan
Presiden Samuel K. Doe pada 1989.
Setiap orang
yang memahami betul bagaimana sebuah karya ilmiah ditulis bahkan dengan teknik
yang sangat tak ilmiah seperti dilakukan Clifford Geertz ketika membicarakan
antolopologi masyarakat Jawa, pastilah tidak akan menjadikan Tuanku Rao sebagai rujukan untuk
membicarakan realitas antropologi budaya masyarakat yang hidup di wilayah
Tapanuli Selatan. Maka, ketika Basyral Hamidy Harahap menerbitkan buku lain
untuk melengkapi Tuanku Rao, kesan
yang ditangkap justru budayawan Batak itu hendak menunjukkan bahwa dirinya
ingin menjadikan buku fiksi Tuanku Rao
sebagai buku ilmiah. Dan, bersamaan dengan terbitnya Greget Tuanku Rao, Basyral Hamidi Harahap menggaungkan gugatan atas
gelar kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol, sehingga upaya itu menjadi semacam
pembohongan yang pada akhirnya membodohi, seakan-akan Tuanku Rao betul-betul karya paling representatif yang membicarakan
realitas antropologi penganut kebudayaan Batak di Sumatra Utara. Posisinya di
kalangan ilmuwan hendak disejajarkan dengan buku Gertz tentang Jawa, The Religion of Java (1960), atau buku Raffles tentang Jawa, atau buku Marsden tentang
Sumatra.
Pada masa
hidupnya, Buya Hamka mendebat semua isi buku itu dengan menerbitkan buku Antara
Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja
Onggang Parlindungan. Sebagai orang yang tak asing dengan dunia fiksi, Hamka
mampu mementahkan semua hal yang disebut fakta dalam Tuanku Rao menjadi sesuatu
yang fiksional. Tapi, sampai hari ini orang tetap membicarakan Tuanku Rao seakan-akan buku itu sebuah
potret yang sesungguhnya, karena ia bercerita tentang penaklukan terhadap Si
Raja Batak, pusat dari kebudayaan Batak. Sedangkan Tuanku Imam Bonjol hingga hari ini
tetap menyandang gelar Pahlawan Nasional dengan sejarah yang indah, yang tak
ada kaitannya dengan pembunuhan massal kaum pidori seperti disebut Basyaral
Hamidi Harahap.
*
Benarkah
pidori begitu kejam hingga pantas disebut pelaku kejahatan kemanusiaan seperti
streotipe yang hendak dibangun Basyaral Hamidy Harahap dengan buku Greget Tuanku Rao itu? Kita tak tahu persis, tapi pada paruh abad
ke-19 itu, konflik social pecah di lingkungan masyarakat Minangkabau. Sekelompok
orang, yang tak menyukai kaum adat karena didukung oleh kolonialis Belanda,
memaklumatkan jihad sambil berteriak “Allohu Akbar!”
Dimulai dari
Bukit Kamang, seseorang bernama Tuanku
Nan Rinceh, berusaha menegakkan sebuah masyarakat yang ideal: tak ada sabung
ayam, judi, minuman keras, candu, dan zinah. Masyarakat madani, sebuah
cita-cita yang dibawa Tuanku Nan Rinceh dari jazirah Arab—masyarakat yang
dicita-citakan bangsa ini ketika menggelorakan reformasi pada 1998 lalu – dan
diproklamirkan Tuanku Nan Rinceh dengan sepenggal kalimat “kembali ke syariat Islam”.
Pada zaman
ketika Belanda sangat berkuasa, semua warga pribumi diadu domba untuk
melemahkannya. Kaum adat diberi gaji, diangkat sebagai pejabat, difasilitasi,
dan dipaksa berhadap-hadapan dengan kaum agamis. Nilai-nilai adat yang dianut
kaum adat, yang menjadi sistem social saat itu, dipertahankan menjadi sistem
kepercayan karena di sana selalu ada tabu. Tabu bisa melumpuhkan daya tindak
dan daya cipta manusia, membuat rakyat jajahan tetap lemah sehingga bisa
dikendalikan terus-menerus.
Tuanku Nan
Rinceh, yang kemudian berhasil membentuk sebuah kelompok yang menyebut dirinya
sebagai gerakan pemurnian Islam, pada akhirnya berhasil menyatukan visi-visi
perjuangan untuk melawan Belanda. Gerakan kaum padri ini, kemudian dipimpin
Tuanku Imam Bonjol, berjuang tidak hanya angkat senjata. Mereka memperkenalkan
nilai-nilai agama Islam sesuai syariat Islam. Bersamaan dengan itu, agama Islam
memberi makna kewajiban religius yang lebih mendalam, yang bukan berupa paksaan
atau larangan, melainkan berupa hal yang baru, yakni ekspresi cita-cita positif
kebebasan manusia. Tapi, gerakan padre
menanamkan nilai-nilai agama Islam itu dengan sangat keras, karena masyarakat
pada zaman itu terlanjur menjadi jahiliyah akibat penjajahan Belanda.
*
Gerakan
pidori mencemaskan bagi kekuasaan Belanda. Gerakan itu muncul berbarengan
dengan paranoia yang menghantui pemerintah colonial Belanda ketika Islam di
jazirah Arab menyebar begitu pesat hingga ke Asia. Kabar bahwa Abd al-Mutallib,
yang dikenal sangat anti terhadap Kristen, ditunjuk Sultan Kekaisaran Ottoman,
untuk menjadi Syarif di Mekkah membuat bulu kuduk para pejabat Inggris dan
Belanda berdiri.
Malet,
seorang pegawai Inggris yang bertugas di Kairo, mengirimkan telegram ke London
yang berbunyi, ”Hijaz akan digenangi dengan darah... karena kebencian buta Abd
al-Mutallib terhadap orang Kristen, orang asing, dan orang India.” Kasak-kusuk
tentang konspirasi global Islam pun menyebar di antara para pegawai Eropa di
Timur Tengah. Pada 1881, dari Jeddah, James Zohrab, pegawai konsulat Inggris,
menuliskan surat bahwa terdapat secret
society yang mencakup umat Islam dari sejumlah negeri, dari Timur Tengah
hingga Jawa, yang berencana memulihkan kekhalifahan.
Di Minangkabau,
gerakan padri diidentikkan pemerintah colonial Belanda dengan bagian dari gerakan
Arab untuk membangun kekhalifahan yang kuat di Sumatra. Kesimpulan ini
berdasarkan asumsi dari laporan mata-mata Belanda yang ditempatkan di Mekkah,
yang menyebut banyak keturunan Minagkabau belajar Islam langsung dari Abd
al-Mutallib di Mekkah. Karel Frederik Holle, penasihat kehormatan pemerintah
Hindia-Belanda untuk persoalan pribumi, punya peran besar untuk menguatkan
paranoia pemerintah colonial Belanda.
Karena itu,
gerakan padri menjadi prioritas utama untuk dibasmi dengan segala macam cara,
mulai dari memerangi lewat berbagai pertempuran sampai pada taktik busuk untuk
mengadu domba. Tapi, karena kaum adat Minangkabau tidak berkutik di hadapan
pejuang-pejuang padri sehingga tak bisa diandalkan untuk diadu domba, penguasa
kolonial Belanda di Batavia mencari jalan lain. Pilihannya, melawan penyebar
agama Islam dengan menyebarkan para misonaris yang bekerja berpatokan pada
hasil penelitian para antropolog seperti Dr. H.N. van der Tuuk.
Ketika para misionaris
diterjunkan Pemerintah Hindia Belanda dengan modal hasil penelitian
antropologi, dunia ilmu pengetahuan
masih terkungkung dalam pandangan sempit
yang memosisikan antropologi sebagai bagian yang sah
dari seluruh bangunan sciences, dan karena itu antropologi dipandang sebagai disiplin ilmu dengan kemampuan generalisasi yang luas yang bisa menjelaskan apa saja yang dilakukan manusia dalam masyarakatnya. Pada zaman itu, segala ide tentang kebudayaan manusia diperlakukan sebagai semacam hukum gravitasi untuk bidang humaniora dan ini menjadi dasar pengetahuan para ilmuwan Eropa yang lebih dikenal sebagai pengagum Nederlandosentrisme. Nerderlandosentris memasak para ilmuwan untuk senantiasa berpatokan pada hasil-hasil temuan ilmuwan dari Eropa yang kuat dipengaruhi kepentingan politik Pemerintah Belanda di wilayah jajahan.
dari seluruh bangunan sciences, dan karena itu antropologi dipandang sebagai disiplin ilmu dengan kemampuan generalisasi yang luas yang bisa menjelaskan apa saja yang dilakukan manusia dalam masyarakatnya. Pada zaman itu, segala ide tentang kebudayaan manusia diperlakukan sebagai semacam hukum gravitasi untuk bidang humaniora dan ini menjadi dasar pengetahuan para ilmuwan Eropa yang lebih dikenal sebagai pengagum Nederlandosentrisme. Nerderlandosentris memasak para ilmuwan untuk senantiasa berpatokan pada hasil-hasil temuan ilmuwan dari Eropa yang kuat dipengaruhi kepentingan politik Pemerintah Belanda di wilayah jajahan.
Tapi,
misonaris dari berbagai perkumpulan gereja di Eropa, terutama Gereja Ermello di
Belanda, tak bisa berkutik di wilayah Minangkabau. Kuatnya pengaruh padri tidak
hanya di bidang agama, tapi juga dalam segala sector perekonomian yang kemudian
membuat Belanda semakin terdesak dan tertekan. Belanda tak memperoleh
keuntungan apapun di wilayah Minangkabau, malah selalu merugi akibat pertempuran
dengan pejuang padri.
Christine
Dobbin dalam bukunya, Islamic Revivalism
in a ChangingPeasant Economy, sebuah study tentang pergolakan social di
Minangkabau selama periode 1784-1847, menyimpulkan bahwa pemberontakan yang
dilakukan kaum padre terhadap Belanda didorong oleh perubahan situasi
perekonomian daerah akibat melonjaknya nilai ekonomi ekspor kopi dan
hasil-hasil bumi. Minangkabau menjadi
pusat dari segala geliat perekonomian,
menampung segala jenis hasil kebun terutama kopi dan bahan tambang, lalu
menjualnya kepada para pedagang yang dating dari jazirah Arab dan Hadramaut.
Pejuang padri
mengumpulkan komoditas-komoditas itu dari kaum pedagang asal Minangkau yang
bepergian ke wilayah Utara, yakni wilayah masyarakat Batak. Kaum-kaum pedagang
Minangkau itu, dalam perkembangannya saat ini menjadi masyarakat diaspora
Minangkabau yang disebut masyarakat Daret, tumbuh pesat secara ekonomi di
lingkungan masyarakat Batak karena menguasai jalur sector-sektor produksi. Tingginya tingkat kemakmuran pedagang
Minangkau itu membuat Pemerintah Hindia Belanda menjadi punya cukup alasan
untuk mengadu-domba antara Minangkabau dengan Batak.
*
Ketika adu
domba itu dilakukan, Pemerintah Belanda memandang masyarakat Batak sebagai
masyarakat barbar, sebagaimana dipahami William Marsden dalam The History of Sumatera yang diterbitkan
tahun 1784. Sebagai masyarakat barbar, masyarakat Batak diposisikan sebagai
masyarakat yang paling layak untuk di-Islam-kan oleh pejuang-pejuang pidori.
Karena itu, segala
upaya untuk melemahkan perjuangan padre dilakukan, termasuk menciptakan sebuah
fiksi yang seolah-olah kenyataan tentang pembantai manusia oleh padri di
wilayah Batak, di lingkungan masyarakat beradat Mandailing dan Angkola. Tapi, masyarakat
Batak Mandailing dan Batak Angkola bukan masyarakat barbar karena telah
beragama Islam, terutama tidak mudah diadudomba dengan sesame ummat Islam.
Dalam Angkola
Batak Kinship Through its Oral Literature, disertasi Susan Rodgers
untuk mendapat gelar Ph.D dari University of Chicago tahun 1978, disebutkan
bahwa ciri utama yang sangat dominan dalam komunitas masyarakat beradat
Angkola adalah kehidupan mekanistis mereka yang sarat akan perasaan
kebersamaan, demokrasi, kerjasama, interaksi sosial yang intens, kearifan
lokal, serta kedamaian yang mengejawantah dalam ragam seremoni adat, dan
semuanya tertera begitu jelas dalam filsafat hidup Dalihan Na Tolu.
Peradaban
masyarakat Batak beradat Angkola dan Mandailing sudah tinggi, bukan masyarakat
barbar yang kolot. Tingginya peradaban masyarakat ini sebetulnya sudah
dibeberkan para antropolog dalam sejumlah catatan mereka yang dikirim kepada
Gubernur Jenderal di Batavia. H.N. van
der Tuuk, seorang antropolog asal Amsterdam, yang telah memplajari bahasa dan
aksara masyarakat, mengirimkan catatan-catatannya tapi diabaikan Pemerintah Belanda,
dan tetap memainkan politik kolonialisme ekstraktif yang hanya mengeruk
kekayaan alam dan menghancurkan elite local beserta kepemimpinannya. Upaya itu
menemukan jalan buntu, meskipun Belanda tidak berhadapan dengan tokoh-tokoh
heroik di lingkungan masyarakat beradat Angkola dan Mandailing sebagaimana
pernah berhadapan dengan Tuanku Imam Bonjol.
Belanda
berhadapan dengan para panusunan bulung dari
marga-marga yang tumbuh di lingkungan masyarakat setempat.
Adu domba itu
sia-sia, kemudian mendorong Pemerintah
Hindia Belanda, dimasa kekuasaan para kontroleur, menciptakan fiksi lain yang
lebih dasyat berupa menyerang Si Raja Batak, Si Singamangaraja. Mangaraja
Onggang Parlindungan, yang didukung oleh kontroleur Pemerintah Hindia Belanda
untuk wilayah Keresidenan Tapanoeli, menciptakan sebuah novel panjang yang
kemudian diberi judul Tuanku Rao: Terror
Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Novel panjang yang dibungkus dengan dusta sebagai karya ilmiah
itu, menceritakan Pongky Nangolngolan
sebagai anak haram Si Singamangaraja yasng kelak menghancurkan Si Raja
Batak.
Jadi, apa
yang dihasratkan Basyaral Hamidy Harahap tentang kejahatan manusia oleh pejuang
padri, sesuatu yang selayaknya ditertawakan. Warisan pemikiran kolonialisme
Belanda, ternyata masih dianut dan diteriakkan sebagai semangat kebangsaan. *
Dipublikasi di Batak Pos edisi Sabtu, 17 November 2012
Dipublikasi di Batak Pos edisi Sabtu, 17 November 2012