MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Pariwisata Zonder Wisatawan

SAAT sedang duduk di serambi sebuah hotel di pinggir Danau Toba, Sumatra Utara, saya membuka website Radar Lampung dan menemukan tulisan Adam Muakhor, “Pesona Wisata Lampung” (Radar Lampung edisi 28 Desember 2010). Tulisan itu bukan saja tak memberi perspektif baru, tetapi sangat menonjolkan konsep sebagaimana selalu diandalkan pemerintah daerah dalam membangun sector pariwisata. Yang dibicarakan melulu data-data potensi, tetapi tidak pernah menukik pada persoalan kenapa dana yang dianggarkan untuk menggarap potensi itu senantiasa kurang.


Jawabannya karena pariwisita dibangun dengan kesadaran sektoral, tidak terintegrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya yang ada di Provinsi Lampung. Akibatnya, antara daerah di Provinsi Lampung saling bersaing untuk merebut hati wisatawan. Karena setiap daerah melulu menawarkan potensi objek wisata yang sama, selalu bicara soal indahnya pantai, indahnya alam yang asri, dan kayanya potensi budaya maupun sejarah di Lampung.

Pertarungan antardaerah di bidang promosi pariwisata Lampung bisa dilihat dengan munculnya berbagai event pariwisata yang digarap seragam. Sebut saja event berbagai festival yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Semuanya hendak menyaingin event tahunan Festival Krakatau yang digelar Provinsi Lampung. Padahal, pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi bisa mengemas satu event untuk mempromosikan ragam potensi pariwisata yang dipromosikan dalam setiap event yang digelar.

Sesungguhnya tidak perlu ada banyak event pariwisata jika yang dipromosikan selalu hal yang sama. Selain mubajir, kentara sekali bahwa antardaerah di Provinsi Lampung tidak terintegrasi satu dengan lainnya. Ini menunjukkan buntunya komunikasi antarpemerintah daerah yang lebih mengesankan telah tercipta raja-raja kecil di Provinsi Lampung yang masing-masing ingin menegakkan eksistensinya.




Salah Tafsir Anggaran

Persoalan lain yang memengaruhi pembangunan sector pariwisata di Lampung adalah minimnya anggaran dalam APBD yang dialokasikan pemerintah daerah. Elite-elite pemerintah daerah memiliki perspektif yang berrbeda soal anggaran. Bagi mereka, pengalokasian anggaran terhadap suatu sector (termasuk kepariwisataan) identik dengan pola investasi. Artinya, setiap satu rupiah anggaran yang dialokasikan pada sector pariwisata, harus mampu menghasilkan setidaknya empat rupiah.

Realitas inilah yang pernah dikemukakan legislative di lingkungan DPRD Provinsi Lampung ketika mempertanyakan pengembalian dari setiap rupiah anggaran untuk sector pariwisata ke dalam bentuk pendapatan asli daerah (PAD). Dalam pandangan Dewan, pariwisata hanyalah sector yang menguras APBD dan tidak memberikan kontribusi apapun terhadap penambahan PAD. Karena itu, anggaran untuk pariwisata sebisa mungkin dikurangi setiap tahun agar bisa dialokasikan ke sector-sektor yang member kontribusi besar terhadap pertambahan nilai PAD.

Itu sebabnya, alokasi anggaran untuk sector pariwisata Provinsi Lampung dalam APBD 2011 tidak memadai. Padahal, Provinsi Lampung memiliki event pariwisata berupa Festival Krakatau yang menjadi agenda pariwisata nasional setiap tahun, sehingga membutuhkan pertambahan anggaran setiap tahun agar mampu mempromosikan potensi-potensi pariwisata Lampung ke tingkat nasional.

Jika ternyata setelah sekian tahun tak ada dampak positif dari Festival Krakatau, bukan anggarannya yang harus dikurangi. Tapi, evaluasi pelaksanaan Festival Krakatau itu. Bila perlu, lakukan audit terhadap penggunaan dana Festival Krakatau setiap tahun sehingga bisa diukur apakah dana yang dialokasikan selama ini dalam APBD sudah dipergunakan sepenuhnya untuk peningkatan kualitas Festival Krakatau atau tidak.

Jika diperhatikan setiap tahun, Festival Krakatau merupakan event pariwisata di Lampung yang salah garap. Ini disebabkan orientasi dari setiap elite yang terlibat dalam kegiatan Festival Krakatau bukanlah untuk membangun sector pariwisata Lampung, tetapi hanya sebatas mengikuti kebiasaan tahunan agar Festival Krakatau terus berlangsung. Meskipun setelah Festival Krakatau digelar, kita melihat nyaris tak ada pengaruhnya pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Lampung.

Terlalu Percaya Diri

Kembali kepada tulisan Adam Muakhor, maka sebaiknya pemerintah daerah mulai mengubah cara berpikir dan perspektif dalam melihat pembangunan sector pariwisata. Jangan terlalu muluk ingin menyamakan pariwisata di Lampung dengan keberhasilan sector pariwisata di daerah lain. Tidak ada korelasi antara kemajuan pariwisata di Provinsi Bali dengan perkebangan pariwisata di Lampung, terutama karena apa yang diperbuat di Lampung belum seberapa dibanding apa yang telah dilakukan masyarakat Bali.

Pembangunan pariwisata Lampung sangat sektoral dan pengelolanya terlalu percaya diri bakal mampu menjadikan sector pariwisata sebagai pendorong peningkatan pendapatan per kapita penduduk. Maka, yang terpenting adalah bagaimana menyatukan visi pariwisata setiap daerah untuk mengintegralisasikan konsep yang dimiliki suatu daerah dengan daerah lainnya.

Pembangunan pariwisata harus terintegrasi. Potensi yang ada di tiap daerah mesti dipilah-pilah mana yang cocok untuk dikembangkan sebagai potensi andalan, dan mana yang pantas dikembangkan untuk mendukung potensi yang ada di daerah lain. Dengan kata lain, setiap daerah di Lampung tidak boleh sama-sama mengandalkan pantai, dan sama sekali tidak ada upaya untuk mencari kekhasan masing-masing pantai.

Sudah saatnya pemerintah daerah mengubah cara berpikir dalam melihat potensi pariwisata. Sudah saatnya para kepala daerah mulai memikirkan untuk bekerja sama membangun sector pariwisata, sehingga antara daerah yang satu dengan lainnya terjadi komunikasi pembangunan yang memposisikan Pemda Provinsi Lampung sebagai mediator sekaligus fasilitator. ***