Hitungan bulan menjelang Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) serentak di Provinsi Lampung,
yang akan digelar pada April 2017 mendatang. Tapi bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU)
di daerah yang menyelenggarakan Pilkada,
juga bagi lembaga yang bertugas melakukan pengawasan, hitungan bulan ini
seperti hitungan pekan saja.
Terasa betul kalau waktu untuk
mempersiapkan pesta demokrasi ini sangat
terbatas, padahal sudah
berlangsung hampir satu tahun.
Masih banyak tahapan yang (belum
dan) harus dilakukan, yang sudah
dilaksanakan pun seakan-akan masih tidak maksimal.
Selalu ada kekurangan di sana dan di sini,
terutama bila para kontestan – para pasangan calon kepala daerah -- mulai
memasuki wilayah subtansial dari kerja-kerja penyelenggara. Kritik dan protes
menjadi hal yang sangat biasa, meskipun daun telinga sampai memerah saga.
Kritik dan protes sebuah keniscayaan dalam
kerja yang hasilnya berkaitan dengan hajat orang banyak. Puja-puji akan jarang diperoleh. Orang akan
langsung berkata, bahwa sukses dan keberhasilan menggelar Pilkada serentak
adalah sebuah keharusan bagi lembaga yang ditunjuk sebagai penyelenggara.
Kondisi ini memaksa KPUD ekstra hati-hati
dalam bekerja. Peraturan perundang-undangan yang merupakan petunjuk teknis dan
petunjuk pelaksana, mesti dipelajari
dengan seksama agar semua tahapan yang dilakukan sesuai dengan amanat konstitusi. Jika tidak, kritik dan protes dari
kontestan akan melayang, lebih parah
lagi menjadi tuntutan hukum di pengadilan.
Tentu saja segala bentuk tuntutan hukum
bisa dihindarkan sejak awal dengan selalu mengacu pada konstitusi yang ada.
Selain itu, KPUD tetap perlu menjalin hubungan sinergis dengan lembaga
pengawas, sehingga segala bentuk kejanggalan dalam tahapan-tahapan yang
dikerjakan bisa diantisipasi sejak awal.
Komunikasi yang baik antara penyelenggara
dengan lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan Pilkada langsung dan
serentak, tidak boleh terputus apalagi
terjadi kesenjangan (gap communication).
Komunikasi itu harus intens, sehingga
semua hal yang berpeluang menimbulkan persoalan di kemudian hari bisa
diantisipasi sejak dini.
Di dalam proses komunikasi itu, baik penyelenggara maupun pengawas berada
dalam satu level, dan masing-masing
harus saling memberi dukungan. Dengan begitu, tanggung jawab atas
terselenggaranya Pilkada langsung dan serentak yang baik dan benar menjadi
beban bersama. Kelemahan satu pihak adalah kelemahan bersama, apalagi bila setiap stake holder punya visi
dan misi yang sama untuk mendapatkan sosok pasangan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah bersangkutan.
Komunikasi antarstake holder dalam
penyelengaraan Pilkada langsung dan serentak akan berjalan dengan baik apabila
setiap stake holder memiliki agenda politik yang sama. Jangan
sampai ada agenda tersembunyi (hidden
agenda) seperti ingin memberi kesempatan lebih besar pada kontestan
tertentu sambil mereduksi hak-hak kontestan lainnya.
Perbedaan agenda politik dari setiap stake holder Pilkada langsung dan
serentak, apalagi bila agenda itu lebih kuat ditandai oleh dominannya
kepentingan kelompok atau individu tertentu,
mengandung resiko besar untuk merusak nilai positif dari Pilkada itu
sendiri.
Pada akhirnya, kepentingan yang lebih besar
menyangkut masa depan public sebagai warga dari pemerintahan daerah
bersangkutan, akan terabaikan selama lima tahun. Tujuan-tujuan luhur dari
dinamika pembangunan nasional maupun pembangun daerah akan berantakan, sehingga
upaya untuk memperbaiki derajat kesejahteraan masyarakat jadi terkendala.
Pilkada langsung dan serentak adalah sebuah
momentum politik yang sangat penting dalam menjamin masa depan sebuah daerah.
Sebab itu, penyelenggara maupun pengawas, mesti senantiasa sejalan. Tidak boleh
ada yang menunjukkan keberpihak terhadap kontestan tertentu, apalagi sampai
mengorbankan profesionalisme kerja.
Yang paling penting menjadi perhatian,
hasil yang buruk dari Pilkada langsung dan serentak berimplikasi serius
terhadap nasib public selama lima tahun ke depan Bukan waktu yang singkat, tentunya. Lima
tahun lebih dari cukup untuk membuat rakyat sengsara dalam kehidupannya.
Pada tataran inilah, eksistensi pengawas
penyelenggaraan Pilkada langsung dan serentak menjadi sangat urgen. Sebagai
lembaga yang memiliki konstitusi jelas untuk melakukan kerja-kerja pengawasan,
baik terhadap seluruh lapisan panitia penyelenggara mulai dari tingkat
kabupaten sampai ke tingkat pedesaan maupun terhadap para kontestan Pilkada
langsung dan serentak, sudah diandaikan
bahwa seluruh personilnya memiliki kapasitas mumpuni untuk melakukan pengawasan
yang ketat.
Dengan kapasitas itu, profesionalisme kerja
harus diletakkan di atas kepala. Senantiasa dijunjung tinggi, sehingga segala
bentuk pelanggaran yang ditemukan di lapangan, harus disikapi secara serius
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Segala bentuk kelemahan, yang
lebih mempertontonkan ketidaktegasan dalam mengambil sikap, akan merusak tatanan yang ada.
Dengan kata lain, keandalan pengawas dalam
melakukan kerja-kerja pengawasan, sangat dibutuhkan public. Hasil kerja itu
harus mampu memberi rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat, sehingga
Pilkada langsung dan serentak yang
diselenggarakan betul-betul jadi mekanisme positif untuk mencari pemimpin
daerah yang sesuai kebutuhan.
Pengawas, secara harfiah bermakna, seseorang atau lembaga yang melakukan kerja
pengawasan. Di dalam kerja mengawasi
itu, sudah diandaikan bahwa pengawas dituntut untuk senantiasa aktif
memperhatikan tahapan demi tahapan penyelenggaraan Pilkada langsung dan
serentak. Setiap tahapan itu tidak boleh melenceng dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan begitu, kerja-kerja pengawasan harus
berdasarkan pada peraturan perundangan-undangan yang mengatur lembaga pengawas
tersebut. Hasil kerja yang melampaui peraturan perundangan-undangan, sama saja
dengan melakukan pelanggaran. Sesuatu yang terjadi karena melanggar aturan yang
ada, bukan sesuatu yang layak dipertahankan.
Tapi, tentu saja, segala bentuk simpulan
terkait hasil pengawasan, tidak boleh hanya berdasarkan pada variable dengan
indikator yang tak terukur alias kuat ditandai subyektivitas. Artinya, hasil kerja pengawasan membutuhkan
legitimasi berupa bukti konkrit yang bisa dipakai untuk menguatkan tuduhan.
Bukti-bukti yang bisa diukur oleh siapa saja,
yang disampaikan kepada public secara transparan, sehingga
penyelenggaraan Pilkada langsung dan serentak membawa warna yang lebih cerah
bagi kehidupan masyarakat.*
Versi lain opini ini disiarkan Analisa pada edisi Sabtu, 5 November 2016 dengan judul "Politik sebagai Persoalan Komunikasi". baca
Versi lain opini ini disiarkan Analisa pada edisi Sabtu, 5 November 2016 dengan judul "Politik sebagai Persoalan Komunikasi". baca