Polisi Kita Kini
Oleh Budi Hatees
Pada 2 Mei 2012 di Kota Sipirok. Pukul 23.00 Wib pada jam. Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan yang belum diresmikan sebagai ibu kota ini, mendadak mencekam. Derap sepatu laras terdengar begitu tajam, juga letusan senjata api yang ditembakkan sembarang. Ratusan anggota Korsp Bhayangkara dari kesatuan Brimob dan Polres Tapanuli Selatan menyerbu sejumlah kampung, merangsek ke dalam rumah-rumah penduduk, dan menangkap 20 orang.
Tak jelas kenapa 20 orang itu ditangkapi. Kapolres Tapanuli Selatan, AKBP Subandriyah, membela diri bahwa ke-20 orang itu bukan ditangkap tetapi diamankan. Sudah galib, polisi lebih gemar memakai kata “diamankan” daripada “ditangkap”.
Kata “diamankan” identik dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sekalipun ke-20 orang itu, satu per satu disidik dengan teknik pemeriksaan yang khas polisi: menghalalkan kekerasan. Ke-20 orang itu, yang ditahan di Markas Polres Padangsidempuan—sekalipun mereka ditangkap di wilayah hokum Polres Tapanuli Selatan—ternyata tak mendapatkan perasaan aman.
—– * —–
Potret polisi kita masih sangat buruk. Institusi ini dipenuhi para tukang pukul. Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, anggota Korps Bhayangkara lebih memilih pendekataan keamanan yang berorientasi pada negara bukan berorientasi pada kemanusiaan. Wajar bila 20 orang dari Kota Sipirok yang ditangkapi, tak seorang pun yang merasa aman dari kekerasan di dalam kantor polisi. Padahal, tak sedikit dari yang ditangkap itu kemudian dilepaskan karena tak terkait dengan peristiwa kriminalitas apapun.
Polri tak meminta maaf kepada masyarakat Kota Sipirok atas kejadian salah tangkap, salah sidik, dan salah memukuli orang itu. Sudah barang tentu, masyarakat yang ditangkapi hanya bisa menggerutu sambil meringis. Mereka tak berani datang ke Pusat Pengaduan Masyarakat di Devisi Profesi dn Pengamanan (Propam) Mabes Polri untuk mengadukan perlakuan tak manusiawi yang dihadapi. Sekalipun Pusat Pelayanan Divisi Propam Mabes Polri itu sudah mendapat standar internasional di bidang pelayanan masyarakat ketika dipimpin Mayjen Pol Budi Gunawan.
Bukankah sudah umum diketahui, mengadukan anggota Polri ke Propam sama saja dengan “jeruk makan jeruk”. Itu pekerjaan sia-sia. Banyak kasus menyangkut buruknya kinerja aparat polisi yang diadukan ke Propam, tapi hampir tidak ada penyelesaian yang memuaskan rasa keadilan public.
Sekalipun dalam blue print Divisi Propam Polri dijabarkan betapa besar tanggung jawab divisi ini dalam membersihkan institusi Polri dari keberadaan polisi korup, sulit mengharapkan para anggota Korp Bhayangkara akan bertindak tegas terhadap seluruh anggotanya. Kode Etik Profesi Polri sangat mengikat setiap anggota dalam kultur tugas untuk selalu menghormati para komandan. Besar kemungkinan bahwa penegakan disiplin di lingkungan Polri hanya akan tajam terhadap para anggota di level bawah, tapi tumpul jika berhadapan dengan angogota Polri yang pangkatnya ada di level atas.
Stratifikasi sosial di lingkungan Polri sangat ketat. Levelitas berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Mereka yang berada di level paling bawah, sejak pertama kali masuk sebagai anggota Korp Bhayangkara, sudah menjatuhkan pilihannya untuk tetap berada di level paling bawah. Mereka yang ingin mencapai level atas, harus berjuang keras dengan mengikuti sejumlah tingkatan pendidikan di lingkungan Polri, yang ternyata juga tidak mudah bagi setiap anggota Polri untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan itu.
Ini lebih menunjukkan bahwa kinerja Devisi Propam Mabes Polri lebih diarahkan untuk melindungi institusi Polri daripada memenuhi rasa keadilan public. Sudah tentu, kecenderungan ini implikasi dari orientasi tugas dan tanggung jawab cenderung kepada negara daripada kepada kemanusiaan.
Pilihan pendekataan keamanan Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, mendarah daging dalam diri anggota Korps Bhayangkara. Mereka akan bersemangat melakukan tugas pengamanan dan penertiban jika berkaitan dengan kepentingan negara. Tapi akan berpikir dua kali jika berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Dalam kebijakan mengeluarkan izin keramaian, misalnya, polisi tak punya sikap yang jelas. Pembubaran diskusi buku karya Irsad Manji, di Komunitas Salihara oleh polisi dan organisasi masyarakat, salah satu buktinya. Polisi membiarkan organisasi masyarakat merangsek ke dalam ruang diskusi, mengancam para peserta, dan membubarkan kegiatan intelektual tersebut. Padahal, polisi bisa saja melakukan pengamanan dan penertiban sesuai kapasitasnya, sehingga kegiatan tersebut bisa tetap berlangsung.
Barangkali polisi terlanjur mendapat informasi keliru mengenai buku yang diskusikan itu, seolah-olah buku tersebut begitu dasyat hingga mampu mengubah moralitas masyarakat pembacanya. Informasi yang salah itu dikait-kaitkan polisi dengan eksistensi negara yang akan melemah, bukan malah mengait-kaitkannnya dengan hak-hak asasi manusia Indonesia untuk mendapatkan pengetahuan.
—– * —–
Barangkali cuma Polri satu-satunya lembaga di negeri ini yang belum bisa menangkap gelora semangat reformasi. Sekalipun sejak awal telah disiasati reformasi Polri, tapi out put dari kebijakan-kebijakan terkait reformasi Polri tak kunjung membawa perubahan signifikan. Sebaliknya justru menunjukkan, institusi yang berada di bawah naungan Presiden Republik Indonesia ini semakin menjauh dari eksistensinya sebagai polisi sipil.
Perkembangan reformasi Polri hanya klaim. Di satu sisi, polisi mengklaim tahap pertama dari Grand Strategy Polri 2005-2025 sukses mengembalikan kepercayaan public (trust building) terhadap institusi Polri. Sukses ini karena reformasi Polri berhasil mengedepankan paradigma baru sebagai polisi sipil. Bahkan, grand strategy pembangunan Polri tahap kedua berupa meningkatkan kerja sama dengan ragam stake holders (partnership building) selama masa 2010-2014, diklaim juga memperlihatkan kemajuan yang signifikan.
Tapi, di lain sisi, public melihat pendekatan keamanan yang dilakukan polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya lebih berorientasi pada kepentingan negara dan mengabaikan factor-faktor kemanusiaan. Bahkan, hubungan Polri dengan stake holder lain seperti aparat penegak hukum lainnya, justru mempertontonkan hal yang sangat memalukan. Konon pula kerja sama Polri denganstake holder lainnya seperti Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) yang pengurus barunya, periode 2012-2016, baru saja ditetapkan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono.
Paradigma baru sebagai polisi sipil yang melayani public dan menjadikan dirinya sebagai public service organization (PSO), sesungguhnya hanya ada di dalam Grand Strategy Polri 2005-2025 dan Renstra Polri 2010-2014. Di dalam keseharian, polisi justru semakin menjauh dari kepentingan public. Polisi lebih dekat sebagai penjaga kepentingan negara, sehingga mind set polisi terhadap tugas dan tanggung jawab sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, justru memosisikan masyarakat sebagai entitas yang harus diawasi dan diamankan.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda