Kritik Versi Pers Kita
Somasi itu lebih menunjukkan betapa buruknya sikap pengelola pers dalam menerima kritik. Ini membuktikan bahwa mereka yang suka mengkritik pada dasarnya memiliki banyak kelemahan. Secara psikologis, kelemahan itu ditutupi dengan melakukan kritik terhadap orang lain.
Reaksi tak kalah garang ditunjukkan kalangan politisi, budayawan, aktivis demokrasi, agaman, dan lain sebagainya. Semua kalangan menilai ancaman Dipo Alam sebagai sebentuk sikap Pemerintah SBY anti-kritik, semacam paranoia seorang bawahan agar atasannya merasa senang. Semua kalangan mendeskriditkan Dipo Alam.
Padahal, ada niat lain yang hendak disampaikan Dipo Alam di balik pernyataannya itu. Yakni, terkait pengungkapan realitas dunia media kita akhir-akhir ini. Dinamika pertumbuhan media massa yang begitu pesat di era reformasi, tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kerja yang memadai.
Para pengelola media tidak lagi memikirkan persaingan ide dan gagasan dalam pemasaran media. Produk media yang satu dengan media lainnya tidak lagi dapat dibedakan. Secara perlahan-lahan bisnis media kita menghilangkan segmentasinya. Pada posisi pembaca, tidak ada alasan kuat untuk membeli media massa lebih dari satu.
Media massa mainstream memang masih saja memainkan peran penting, tapi jumlahnya cenderung tak bertambah setiap tahun meskipun media masa bar uterus bertambah. Kehadiran media-media massa baru sifatnya menjadi pelengkap media-media mainstream. Kondisi ini semakin jelas jika kita memahami bagaimana jaringan media terbentuk di lingkungan masyarakat. Media yang tak memiliki jaringan, akan terjerembab menjadi media yang partisan.
Sumber daya manusia yang dimiliki para pengelola media, bukanlah para professional yang memahami betul subtansi media. Tingkat pengetahuan mereka tentang media hanya berlandaskan pada pemahaman-pemahaman umum yang cenderung memosisikan media pada kedudukan sangat tinggi sebagai salah satu pilar demokrasi. Mereka cenderung mengamini peran kesejarahan media daripada menganalisis apakah peran itu masih bisa berkembang atau akan mengalami kemunduran pada akhirnya. Banyak sistem media tidak lagi sesuai dengan klasifikasi lama dari Four Theori of Press.
Untuk menjadi pilar demokrasi, menjadi kritis saja bukanlah jaminan. Harus juga diikuti dengan kesadaran tinggi bahwa media massa telah menjadi kebutuhan paling primer bagi masyarakat saat ini. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap media massa juga tinggi, karena media massa mampu menyajikan informasi yang sulit didapat masyarakat dalam situasi apapun.
Pada tataran ini, bukan hal yang mustahil jika banyak kalangan yang berkepentingan mengambil hati public, merebut hati public dengan cara menguasai media massa. Menyampaikan berbagai hal penting melalui media massa, merupakan cara paling praktis untuk mensosialisasikan hal-hal terbaru. Termasuk menyampaikan pesan-pesan idiologis yang syarat akan kepentingan politis, yang oleh banyak kalangan dipahami sebagai semacam kritik.
Sangat beralasan jika kita mencurigai media-media kritis sebagai media yang sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan tertentu. Pemahaman ini pula yang hendak disampaikan Dipo Alam ketika dia menjelaskan latar belakang pemilik tiga media (Metro TV, Media Indonesia, dan TV One). Publik bisa menyimak, bahwa Partai Golkar yang ada di belakang ketiga media itu merupakan partai politik yang telah beroposisi dengan Pemerintah SBY.
Dengan latar belakang politik yang beroposisi dengan Pemerintah SBY sangat beralasan jika kemudian pengelola media mendisain pesan sedemikian rupa untuk mempertajam kedudukan opisisi tersebut. Publik bisa memahami sebuah institusi media itu beroposisi dengan Pemerintah SBY atau tidak dengan cara mengukur orientasi yang diperlihatkan dalam editorial, berita utama, dan kolom dalam menanggapi persoalan tertentu.
“Pandangan institusi media tidak akan menimbulkan pembohongan,” tulis Warren Breed dalam artikelnya “Sosicial Control in the Newsroom” (1995), “tetapi akan melakukan penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan prefensial”.
Oposisi memiliki alasan yang kuat untuk memperkokoh posisi dan pendiriannya bila berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah SBY. Salah satunya karena sifat kebijakan pemerintah selalu terselubung, sehingga kebijakan itu rentan disimpangkan dalam pemberitaan media massa. Penyimpangan itu sendiri dilakukan dengan cara mengungkapkan realitas yang berlawanan dari kebijakan yang dibuat pemerintah, sehingga ia menjadi semacam kritik yang memosisikan pemerintah sebagai pelaku pembohongan public.
Inilah yang didefenisikan Dipo Alam sebagai kritik media terhadap Pemerintah SBY. Meskipun pada satu sisi kentara bahwa Dipo Alam agak kurang memahami subtasial kerja media, di sisi lain ia memiliki dasar legitimasi yang kuat atas pernyataannya yang mendeskriditkan media. Namun, tingkat pemahamannya sangat kuat didasari pada realitas media di era reformasi, sehingga lebih pantas diarahkan kepada pengelola media yang muncul belakangan. Pengelola media yang hadir justru menyebabkan dunia media tidak lagi memperdulikan segmentasi dan persaingan antarmedia.
Media-media baru yang sesungguhnya menjadi penyebab bangsa kita belum memperoleh kebebasan pers, karena kebebasan pers kita menjadi sangat tergantung pada pemerintah. Memang, bentuknya bukan karena pemerintah sangat represip, dikatator, dan hagemonik. Tapi, karena hampir tidak ada industri pers di negeri ini yang tak hidup tanpa dana mengandalkan dari pemerintah. Bentuknya berupa iklan yang dibayar dengan uang rakyat, kerja sama pemberitaan berupa sosialisasi program-program pemerintah dengan total rupiah tertentu, dan kontrak pembelian media oleh pemerintah untuk bacaan masyarakat tertentu.
Tingginya ketergantungan pers terhadap pemerintah memaksa pengelola pers permisif terhadap kinerja pemerintah. Sulit menemukan pers yang kritis. Apalagi jika institusi pers bersangkutan sudah terikat berbagai kontrak kerja dengan pemerintah. Pemerintah mampu menguasai pers lewat rente ekonomi pers. Sebab itulah Dipo Alam percaya diri dengan pernyataannya. Sebagai bagian dari Pemerintah SBY, ia merasa telah bersikap sangat baik untuk menghidupi industri pers dengan iklan-iklan dari pemerintah.
Kesimpulan ini tidak selalu senyampang dengan realitas pers kita. Meskipun ketergantungan terhadap iklan pemerintah sangat tinggi, ada juga pengelola pers yang tidak perduli dengan iklan pemerintah. Institusi pers semacam ini memiliki modal yang kuat sebagai sebuah bisnis, lebih mengandalkan kemampuan merauf belanja iklan dari sektor swasta. ****
Dipublikasikan di Radar Lampung edisi Sabtu 26 Februari 2011
Reaksi tak kalah garang ditunjukkan kalangan politisi, budayawan, aktivis demokrasi, agaman, dan lain sebagainya. Semua kalangan menilai ancaman Dipo Alam sebagai sebentuk sikap Pemerintah SBY anti-kritik, semacam paranoia seorang bawahan agar atasannya merasa senang. Semua kalangan mendeskriditkan Dipo Alam.
Padahal, ada niat lain yang hendak disampaikan Dipo Alam di balik pernyataannya itu. Yakni, terkait pengungkapan realitas dunia media kita akhir-akhir ini. Dinamika pertumbuhan media massa yang begitu pesat di era reformasi, tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kerja yang memadai.
Para pengelola media tidak lagi memikirkan persaingan ide dan gagasan dalam pemasaran media. Produk media yang satu dengan media lainnya tidak lagi dapat dibedakan. Secara perlahan-lahan bisnis media kita menghilangkan segmentasinya. Pada posisi pembaca, tidak ada alasan kuat untuk membeli media massa lebih dari satu.
Media massa mainstream memang masih saja memainkan peran penting, tapi jumlahnya cenderung tak bertambah setiap tahun meskipun media masa bar uterus bertambah. Kehadiran media-media massa baru sifatnya menjadi pelengkap media-media mainstream. Kondisi ini semakin jelas jika kita memahami bagaimana jaringan media terbentuk di lingkungan masyarakat. Media yang tak memiliki jaringan, akan terjerembab menjadi media yang partisan.
Sumber daya manusia yang dimiliki para pengelola media, bukanlah para professional yang memahami betul subtansi media. Tingkat pengetahuan mereka tentang media hanya berlandaskan pada pemahaman-pemahaman umum yang cenderung memosisikan media pada kedudukan sangat tinggi sebagai salah satu pilar demokrasi. Mereka cenderung mengamini peran kesejarahan media daripada menganalisis apakah peran itu masih bisa berkembang atau akan mengalami kemunduran pada akhirnya. Banyak sistem media tidak lagi sesuai dengan klasifikasi lama dari Four Theori of Press.
Untuk menjadi pilar demokrasi, menjadi kritis saja bukanlah jaminan. Harus juga diikuti dengan kesadaran tinggi bahwa media massa telah menjadi kebutuhan paling primer bagi masyarakat saat ini. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap media massa juga tinggi, karena media massa mampu menyajikan informasi yang sulit didapat masyarakat dalam situasi apapun.
Pada tataran ini, bukan hal yang mustahil jika banyak kalangan yang berkepentingan mengambil hati public, merebut hati public dengan cara menguasai media massa. Menyampaikan berbagai hal penting melalui media massa, merupakan cara paling praktis untuk mensosialisasikan hal-hal terbaru. Termasuk menyampaikan pesan-pesan idiologis yang syarat akan kepentingan politis, yang oleh banyak kalangan dipahami sebagai semacam kritik.
Sangat beralasan jika kita mencurigai media-media kritis sebagai media yang sudah terkontaminasi kepentingan-kepentingan tertentu. Pemahaman ini pula yang hendak disampaikan Dipo Alam ketika dia menjelaskan latar belakang pemilik tiga media (Metro TV, Media Indonesia, dan TV One). Publik bisa menyimak, bahwa Partai Golkar yang ada di belakang ketiga media itu merupakan partai politik yang telah beroposisi dengan Pemerintah SBY.
Dengan latar belakang politik yang beroposisi dengan Pemerintah SBY sangat beralasan jika kemudian pengelola media mendisain pesan sedemikian rupa untuk mempertajam kedudukan opisisi tersebut. Publik bisa memahami sebuah institusi media itu beroposisi dengan Pemerintah SBY atau tidak dengan cara mengukur orientasi yang diperlihatkan dalam editorial, berita utama, dan kolom dalam menanggapi persoalan tertentu.
“Pandangan institusi media tidak akan menimbulkan pembohongan,” tulis Warren Breed dalam artikelnya “Sosicial Control in the Newsroom” (1995), “tetapi akan melakukan penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan prefensial”.
Oposisi memiliki alasan yang kuat untuk memperkokoh posisi dan pendiriannya bila berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah SBY. Salah satunya karena sifat kebijakan pemerintah selalu terselubung, sehingga kebijakan itu rentan disimpangkan dalam pemberitaan media massa. Penyimpangan itu sendiri dilakukan dengan cara mengungkapkan realitas yang berlawanan dari kebijakan yang dibuat pemerintah, sehingga ia menjadi semacam kritik yang memosisikan pemerintah sebagai pelaku pembohongan public.
Inilah yang didefenisikan Dipo Alam sebagai kritik media terhadap Pemerintah SBY. Meskipun pada satu sisi kentara bahwa Dipo Alam agak kurang memahami subtasial kerja media, di sisi lain ia memiliki dasar legitimasi yang kuat atas pernyataannya yang mendeskriditkan media. Namun, tingkat pemahamannya sangat kuat didasari pada realitas media di era reformasi, sehingga lebih pantas diarahkan kepada pengelola media yang muncul belakangan. Pengelola media yang hadir justru menyebabkan dunia media tidak lagi memperdulikan segmentasi dan persaingan antarmedia.
Media-media baru yang sesungguhnya menjadi penyebab bangsa kita belum memperoleh kebebasan pers, karena kebebasan pers kita menjadi sangat tergantung pada pemerintah. Memang, bentuknya bukan karena pemerintah sangat represip, dikatator, dan hagemonik. Tapi, karena hampir tidak ada industri pers di negeri ini yang tak hidup tanpa dana mengandalkan dari pemerintah. Bentuknya berupa iklan yang dibayar dengan uang rakyat, kerja sama pemberitaan berupa sosialisasi program-program pemerintah dengan total rupiah tertentu, dan kontrak pembelian media oleh pemerintah untuk bacaan masyarakat tertentu.
Tingginya ketergantungan pers terhadap pemerintah memaksa pengelola pers permisif terhadap kinerja pemerintah. Sulit menemukan pers yang kritis. Apalagi jika institusi pers bersangkutan sudah terikat berbagai kontrak kerja dengan pemerintah. Pemerintah mampu menguasai pers lewat rente ekonomi pers. Sebab itulah Dipo Alam percaya diri dengan pernyataannya. Sebagai bagian dari Pemerintah SBY, ia merasa telah bersikap sangat baik untuk menghidupi industri pers dengan iklan-iklan dari pemerintah.
Kesimpulan ini tidak selalu senyampang dengan realitas pers kita. Meskipun ketergantungan terhadap iklan pemerintah sangat tinggi, ada juga pengelola pers yang tidak perduli dengan iklan pemerintah. Institusi pers semacam ini memiliki modal yang kuat sebagai sebuah bisnis, lebih mengandalkan kemampuan merauf belanja iklan dari sektor swasta. ****
Dipublikasikan di Radar Lampung edisi Sabtu 26 Februari 2011
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda