Marjambar
Mariani Boru Regar (51) sibuk menyusun berbagai jenis kue kering di atas piring. Ada sepuluh piring diletakkan di atas meja, sebagian sudah dipenuhi dengan kue kering yang ditata begitu rapi. Piring-piring itu akan diantar ke tetangga yang ada di setiap sudut rumah. Tidak ada satu tetangga pun yang tak kebagian.
Setiap menjelang Natal dan Tahun Baru seperti saat ini, Mariani Boru Regar dan seluruh keluarga Kristen di lingkungan masyarakat adat Batak dari sub-budaya Angkola yang tinggal di Sipirok, sebuah kota kecil di Kabupaten Tapanuli Selatan, akan mendatangi rumah-rumah tetangga yang menganut agama Islam sambil membawa bungkusan berisi bermacam-macam kue. Pemandangan serupa juga bisa ditemukan menjelang Idulfitri, manakala para penganut agama Islam mendatangi setiap rumah penganut agama Kristen untuk mengantarkan bungkusan berisi bermacam-macam kue lebaran.
Tradisi seperti itu biasa disebut marjambar. Sejumlah tokoh agama Islam maupun Kristen mengakui tradisi ini telah membuat hubungan antarumat beragama menjadi sangat cair. Hari-hari besar agama, seperti Idulfitri dan Natal, bukan lagi menjadi hari yang khusus bagi salah satu penganut agama. Kedua hari besar agama itu milik semua penganut agama.
Implikasinya pun sangat bagus terhadap kehidupan social masyarakat sehari-hari. Perbedaan agama di antara masyarakat melebur antara satu dengan lainnya, sehingga orang dari luar kota ini tidak akan bisa membedakan siapa penganut Kristen dan siapa penganut Islam. Perbedaan itu baru bisa ditemukan saat pelaksanaan ibadah agama masing-masing, terutama pada hari Jumat dan Minggu.
Marjambar dipahami tidak sekedar sebagai tradisi memberikan kue. Ada subtansi lain dari tradisi itu, yakni sebuah upaya dari suatu pemeluk agama yang berbeda untuk mengajak pemeluk agama lain agar ikut merayakan hari besar agama itu seperti mereka merayakannya.
Bagi ummat Islam, hari raya atau Idulfitri merupakan hari kemenangan setelah sebulan menjalankan ibadah puasa. Subtansi tentang hari kemenangan itu pun akan sama maknanya bagi masyarakat penganut agama Kristen, sehingga pemeluk agama Kristen pun akan mendatangi rumah para tetangganya untuk mengucapkan selamat Idulfitri. Sebaliknya, jika giliran penganut agama Kristen merayakan Natal, para tetangga yang beragama Islam akan mendatangi rumah mereka untuk mengucapkan selamat Natal.
Pada tataran ini hari besar agama tidak dikaitkan dengan ibadah agama berikut tahapan-tahapan religiusnya yang sakral, tetapi lebih pada persoalan pengakraban secara social sebagai warga dalam lingkungan yang sama. Agama bagi masyarakat tetap saja sangat personal, tetapi tradisi agama itu menjadi universal. Yang terpenting bagi mereka adalah hubungan social di antara penganut agama berbeda, sebuah kesadaran yang lahir dari kenyakinan tentang pentingnya menjaga stabilitas social.
Konsensus Politik Agama
Marjambar merupakan tradisi hasil konsensus antaraummat Islam dan Kristen paska pertarungan kedua penganut agama itu selama puluhan tahun. Sejarah pertarungan Islam-Kristen di Sipirok merupakan sejarah yang panjang dan memakan banyak korban jiwa yang melibatkan masyarakat Islam di satu sisi dana Pemerintah Belanda sebagai representasi masyarakat Kristen.
Sejarah agama Islam di Sipirok merupakan kepercayaan pertama yang dianut masyarakat paska pelebegu (menyembah roh). Meskipun saat bersamaan Pemerintah Inggris sudah mengirimkan para penginjil ke lingkungan masyarakat, tetapi kesulitan untuk menyebarkan agama Kristen.
Sejarah ini bisa dibaca dalam laporan H.N. van der Tuuk kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. “Tidak ada harapan untuk beroleh hasil diantara penduduk-penduduk Angkola dan Mandailing,” tulis van der Tuuk. “Dalam djumlah jang besar mereka sedang masuk Islam, sebagaimana halnja pada hampir segala orang Batak jang telah ada dibawah pemerintah (Balanda). Untuk memadjukan kekristenan, maka perlulah dilaksanakan tindakan jang tegas. Sedjarah pekabar Indjil harus ditempatkan disuatu daerah tertentu. Djika tidak menempuh djalan itu, maka menurut hematsaja seluruh masjarakat sudah diislamkan, sebelum kitamenjadarinja.”
Kuatnya pengaruh Islam terhadap masyarakat beradat Angkola, menyebabkan agama Kristen baru bisa diterima pada 31 Maret 1861, setelah Pendeta G. van Asselt membaptis dua orang Sipirok di Desa Parau Sorat, Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Peristiwa pembaptisan itu dikenal sebagai sejarah awal Kristen masuk ke Tapanuli, diawali dari Sipirok. Peristiwa ini tak menimbulkan konflik di lingkungan masyarakat penganut agama Islam sampai Belanda memainkan politik kolonialisme ekstraktif yang hanya mengeruk kekayaan alam dan menghancurkan elite local beserta kepemimpinannya. Upaya Belanda menemukan jalan buntu, berhadapan langsung dengan para panusunan bulung (tokoh-tokoh pembuka kampung) dari marga-marga yang tumbuh di lingkungan masyarakat setempat.
Terlalu menghayati politik kekuasaan membuat Belanda abai terhadap perkembangan penyebaran Kristen. Tekanan Belanda ditentang masyarakat yang kemudian berimbas terhadap penentangan penyebaran agama Kristen, apalagi setelah Gubernur Jenderal pada 1889 mengeluarkan Beslit Rahasia yang menentukan antara lain di daerah yang penduduknya tidak memeluk agama Islam, tidak boleh diangkat kepala desa atau pegawai muslim.
Beslit Rahasia ini berdampak terhadap terjadinya kemurtadan, dimana para kepala desa yang merupakan tokoh-tokoh adat dan beragama Islam, banyak yang pindah ke agama Kristen. Sementara sebaliknya, masyarakat yang beragama Kristen banyak yang tertarik untuk masuk agama Islam. Kemurtadan ini menimbulkan konflik berkepanjangan, yang menyebabkan masyarakat terpecah-pecah.
Paska kemerdekaan Republik Indonesia, upaya untuk menyatukan keterpecahan itu digagas masyarakat. Hubungan persaudaraan di antara mereka yang diikat oleh hubungan marga, perlahan-lahan dapat disatukan lewat berbagai kegiatan adat istiadat yang mengejawantah dalam kalimat adat do ugari (adat adalah agama). Artinya, penghormatan terhadap adat sekaligus merupakan penghormatan terhadap agama. Sebab itu, perbedaan agama di antara masyarakat yang berasal dari satu lingkungan marga, akan dihormati sebagai bentuk penhormatan terhadap nilai-nilai ada yang berlaku.
Toleransi Agama
Kota Sipirok merupakan Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan. Kota ini memiliki luas 577,18 km per segi dan dihuni 30.554 jiwa yang tinggal di 100 desa, dan tingkat kepadatan 52,94 meter per segi. Komposisi penduduk dominan (90%) merupakan halak (orang) Batak dari sub etnik Angkola, Mandailing, Toba, Simalungun, dan Karo. Sebanyak 10% merupakan masyarakat keturunan Padang, mereka biasa disebut halak (orang) Daret. Halak Daret merupakan komunitas suku Minangkabau yang memiliki sistem marga sebagaimana halak Batak, meskipun kedudukan marga bagi halak Daret sangat berbeda.
Sebanyak 60% masyarakat merupakan penganut agama Islam, sisanya menganut agama Kristen. Masyarakat Islam dan masyarakat Kristen menetap dalam desa yang sama, hidup secara guyub. Komposisi penganut agama pada setiap desa berkisar 70:30, meskipun ada beberapa desa yang dominan dihuni penganut agama Kristen seperti Desa Banjar Toba, Desa Hutaraja, dan Desa Janji Mauli. Ada juga desa yang dominan dihuni penganut agama Islam. Ada desa yang komposisi masyarakat penganut agamanya berbanding sama.
Keguyuban antara masyarakat penganut Islam dan Kristen dalam satu desa berlangsung dalam berbagai kegiatan sosial di desa-desa tersebut. Di lingkungan dikenal dua macam kegiatan, yakni siriaon (kebahagiaan) dan silulutojn (kemalangan). Di dalam kedua kegiatan ini, sulit membedakan siapa penganut agama Islam dan siapa penganut agama Kristen, karena setiap penganut agama akan melebur perbedaan agama di antara mereka menjadi warga desa.
Jika ada seorang warga desa yang menggelar kegiatan mangido doa (bisa dipahami seperti slametan atau kenduren dalam tradisi masyarakat Jawa), yang identik sebagai upacara keagamaan masyarakat Islam, masyarakat Kristen akan terlibat di dalamnya seperti halnya masyarakat Islam. Mereka membaur dan bekerja sama mempersiapkan semua kebutuhan acara, terutama berkaitan soal makanan untuk para undangan.
Mangido doa bagi halak Batak beradat Angkola merupakan kegiatan keagamaan, dimana semua tahapan kegiatan itu dominan berisi pembacaan Alquran dan pelafalan doa. Meskipun demikian, kegiatan social semacam ini tidak membuat masyarakat Kristen harus meninggalkan acara.
Begitu juga sebaliknya jika ada masyarakat Kristen yang mengadakan hajatan. Yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan itu adalah para tetangga yang merupakan masyarakat Islam. Seperti juga penganut Kristen, penganut Islam pun akan menghabiskan seluruh waktu di dalam rumah yang punya acara agar kegiatan tersebut berjalan lancar.
Kebiasaan saling bekerja sama tanpa mempertentangkan perbedaan agama diantara mereka inilah yang dipelihara dengan tradisi marjambar.
0 #type=(blogger)