Demokrasi dalam Kebudayaan Lampung?
Banyak nilai budaya Lampung yang retas dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Tidak sedikit yang punah. Tak sedikit pula yang mengalami perubahan total sehingga bentuk aslinya tidak bisa ditemukan.
Dengan segera kita pasti menyalahkan moderenisasi berikut nilai-nilai baru yang digiringnya. Tapi sikap menyalahkan moderenisasi pasti datang dari intelektualitas yang kurang memahami betapa kosmologi manusia saat ini telah seperti yang diramalkan Marshall Mc Luhan dalam The Undrestanding Media tentang munculnya desa global (the global village).
Tidak ada kebudayaan yang cukup kuat menangkal nilai-nilai budaya lain. Sebaliknya, kebudayaan yang ada (melalui para penganutnya) sangat kompromi terhadap nilai-nilai yang baru diketahui. Tanpa sadar, nilai-nilai baru diserap, diimitasi, dan menjadi nilai baru dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam situasi seperti itu, nilai-nilai lama ditinggal dan dilupakan.
Begitu juga dengan penganut kebudayaan Lampung. Banyak nilai-nilai budaya Lampung yang tidak bisa lagi ditemukan jejaknya dalam kehidupan sosial masyarakat. Meskipun begitu, sebagian nilai yang punah itu harus disyukuri oleh masyarakat, karena tidak sesuai lagi dengan kondisi di era demokrasi saat ini.
Sebut saja nilai tentang pembagian kelas dalam lingkungan antropologi sosial masyarakat adat Lampung antara perwatin dengan merwatin. Pembagian kelas sosial ini bertolak belakang dengan nilai-nilai demokratisasi, dimana seluruh lapisan masyarakat berada pada posisi sama dalam segala dinamika kehidupan.
Kelas Perwatin
Adanya pembagian masyarakat Lampung secara antropologi ke dalam kelas sosial perwatin dan merwatin, menambah daftar panjang dari kebudayaan leluhur di negeri ini yang menegasikan masyarakat ke dalam kelas bangsawan dan rakyat jelata. Mereka yang terlahir sebagai merwatin (kelas rakyat jelata) tidak akan pernah bisa menempati posisi sebagai perwatin (kelas bangsawan atau biasa disebut sebatin/penyimbang).
Perwatin merupakan kelompok sosial masyarakat adat yang senantiasa diuntungkan secara adat. Kelompok ini satu kesatuan yang merupakan keluarga inti dan disebut sebatin. Sebatin merupakan keluarga para pemimpin adat dalam satu garis keturunan yang diwariskan dari garis darah ayah (patrilinear).
Dalam kelompok sebatin sendiri, ada tingkatan kelas pemimpin adat berdasarkan kedudukan sebagai anak dalam sebuah keluarga batin. Tingkatan ini dibedakan berdasarkan waktu kelahiran dan diberi julukan (adok) yang berbeda-beda.
Di lingkungan masyarakat adat pesisir keturunan Paksi Pak Sekala Bhak, tingkatan sebatin: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Mas, dan Kimas. Pemberian julukan (adok) itu berdasarkan pada waktu lahir, berurut-urut anak pertama, anak kedua, anak ketiga, dan seterusnya.
Setiap lingkungan masyarakat adat Lampung, yang terdiri dari Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulangbawang, Pubian Telu Suku, Sungkay-Way Kanan Buay Lima, Paksi Pak Sekala Bekhak, dan lain sebagainya, tingkatan para pemimpin adat ini memiliki nilai yang sama. Memang, julukan (adok) yang diberikan masing-masing masyarakat adat berbeda antara satu dengan lainnya --- perbedaan yang sama juga kita temukan pada khazanah dialek dalam bahasa Lampung.
Pembagian (atau fragmentasi pemimpin adat) ke dalam kelas sosial tersebut sangat tegas dan mengikat. Seseorang yang terlahir sebagai anak dengan gelar Raja, tidak akan bisa menempati posisi sebagai Suntan, begitu juga seterusnya.
Posisi anak pertama dalam kehidupan masyarakat adat Lampung merupakan posisi sentral dan puncak. Anak pertama akan menyandang predikat sebagai seorang suntan. Seorang suntan dalam realitas adat-istiadat merupakan pemimpin adat dari para pemimpin adat yang ada.
Suntan acap diterjemahkan secara keliru sebagai raja dalam pengerti monarki (tata pemerintahan system kerajaan). Karena itu, banyak yang berkeyakinan di Lampung pernah terjadi suatu masa dimana banyak terdapat kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas dan rakyat yang begitu mematuhi rajanya. Padahal, jejak kerajaan dalam pengerti tata pemerintahan kerjaan, tidak pernah ditemukan dalam lingkungan masyarakat adat Lampung.
Tahta kerajaan, belum pernah ditemukan di Lampung. Yang sering ditemui justru keratuan seperti Keratuan Pugung (Lampung Barat), Keratuan Melinting (Lampung Timur), Keratuan Darahputih (Lampung Selatan), Keratuan Balaw (Bandar Lampung), dan lain sebagainya.
Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung di Tulangbawang (yang diduga pusat Kerajaan Tulangbawang) sejak tahun 1998 hingga 2005, hanya menemukan jejak-jejak indikator permukiman (situs pemukiman) seperti Situs Bumi Agung. Di Situs Bumi Agung, para arkeolog malah menemukan makam Ratu Tulangbawang dan Umpuan Ratu Ali. Keturunan Umpuan Ratu Ali sekarang merupakan penduduk Way Kanan.
Kelas Merwatin
Sebaliknya dengan kelas perwatin sebagai bagsawan, ada kelas merwatin yang menempati posisi sebagai rakyat jelata. Seperti halnya dengan perwatin, kelas merwatin juga berkaitan dengan garis darah seseorang. Seseorang yang terlahir sebagai merwatin, maka sepanjang hidupnya tetap akan jadi merwatin.
Pada masa awal kebudayaan Lampung, kelas merwatin adalah kelas buruh dan pekerja. Merekalah yang bekerja di lahan-lahan milik keluarga perwatin. Kelas merwatin ini memiliki andil besar untuk meningkatkan kesejahteraan kelas perwatin, karena kelompok perwatin dipercaya masyarakat sebagai titisan Yang Maha Kuasa dan karenanya harus hidup dengan tingkat kesejahteraan lebih tinggi.
Perwatin diposisikan merwatin sebagai layaknya raja dalam sistem kenegaraan yang mesti dihormati dan harus bersikap sebagai orang yang dihormati. Merwatin rela melakukan apa saja agar keluarga perwatin bisa hidup makmur. Sebab, sejahtera tidaknya sebuah masyarakat adat Lampung dimata masyarakat adat lain selalu dilihat dari sejahtera tidaknya keluarga perwatin.
Dalam soal rumah adat (lamban agung/nuwo tuha), yang merupakan rumah para keluarga perwatin, masyarakat merwatin selalu menyisahkan waktu untuk bergotong royong membuat rumah-rumah itu menjadiu mewah. Karena, masyarakat adat Lampung di luar lingkungan masyarakat marga perwatin bersangkutan, akan melihat rumah para keluarga perwatin sebagai ukuran kelas sosial dalam lingkungan besar masyarakat adat Lampung.
Mulai Punah
Pembagian kelas perwatin dan merwatin, belakangan mulai ditinggalkan masyarakat adat Lampung meskipun masih banyak kaum perwatin yang berpikiran ortodhok dan tetap mempertahankan konsep kelas ini. Konsep kelas dalam masyarakat adat Lampung ini mulai dipandang sebagai masalah sejak kolonialisme Belanda, dimana Pemerintah Hindia Belanda melalui politik adu domba mengangkat kalangan merwatin sebagai demang.
Keluarga perwatin yang merupakan anutan baik bagi seluruh masyarakat marga, di zaman kolonialisme menyatakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Perlawanan kaum perwatin ini dilemahkan Belanda secara kultural dengan mengurangi kekuasaan para perwatin secara adat melalui pembentukan tata pemerintahan khas Belanda. Kaum perwatin semakin terpojok ketika kaum merwatin diangkat sebagai kepala pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai kecamatan.
Perwatin-perwatin warisan Belanda—yang awalnya merupakan merwatin—acap mengangkat diri sebagai batin/penyimbang (pemimpin adat).
0 #type=(blogger)