Dibunuh oleh Politik
Dalam perang kita hanya mati sekali, tapi dalam politik kita bisa mati berkali-kali. Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris semasa Perang Dunia II (1875-1965), mewariskan nalar itu dalam melihat politik.
Kita bisa memahami nalar itu sebagaimana kasus di Indonesia. Negeri kita beserta semangat revolusinya, berkali-kali "terbunuh" oleh politik. Bermula pada 3 November 1945 ketika Presiden Soekarno menganjurkan pembentukan partai politik.
"Untuk menggerakkan demokrasi," kata Soekarno, "kita membutuhkan parlemen." Maka, untuk membangun parlemen, kita membutuhkan partai politik.
Maklumat Presiden Soekarno itu ditandatangani Hatta tanpa Soekarno. Sejak itu, negeri ini merayakan euphoria dengan 147 partai politik. Soekarno resah dengan euphoria ini, menilai multipartai bisa membangkrutkan nasionalisme. Tapi Hatta mengangankan partai politik sebagai representasi dari kedaulatan rakyat. Politik konservatif yang memperjuangkan idealisme.
Soekarno memang tidak keliru, karena multipartai menyebabkan tak ada suara dominan di parlemen. Semua suara bergema, berkumandang, dan akhirnya nasionalisme diabaikan.
Hatta pun tak keliru, karena multipartai mampu membangkitkan kekuatan rakyat. Setiap partai politik, yang dibangun di atas pondasi berbagai idiologi, mampu mendidik konstituennya untuk melek politik. Peningkatan pengetahuan dan kapasitas politik, tapi kecakapan itu memunculkan perlawanan.
Pada dekade 1950-an, rakyat yang menyadari kedaulatannya, menilai parlemen tidak bermanfaat. Gedung parlemen diobrak-abrik. Mereka meminta Presiden Soekarno agar membubarkan parlemen. Lembaga negara ini, didakwa telah menghambat pembangunan nasional, menyebabkan tujuan revolusi tidak tercapai.
Parlemen yang diisi oleh elite-elite partai politik yang memperjuangkan ragam ideologi itu, nyaris tidak mengenal konsensus dalam politik. Mereka gemar melakukan mosi demi mosi tidak percaya terhadap kabinet, sehingga energi seluruh bangsa habis untuk kerja pembubaran dan pembentukan kabinet.
Pengaruh ideologi partai politik yang begitu kuat, semakin tumbuh dalam komunitas seideologi. Situasi ini membuat komunitas seideologi itu ingin menjadi penguasa, tapi rakyat merasa sebagai penguasa yang sesungguhnya. Presiden Soekarno menolak membubarkan parlemen. Dampaknya, kekuatan rakyat yang disusupi militer, akhirnya menjungkalkan kekuasaan Presiden Soekarno.
Politik multipartai "membunuh" Indonesia versi Soekarno-Hatta. Tapi politik tetap menjadi pilihan bagi Presiden Soeharto untuk membangun Indonesia seperti yang dibayangkannya.
Belajar dari kesalahan Soekarno, Soeharto memilih mengontrol partai politik. Mengkooptasi semua dinamika politik, dan memberi peluang besar bagi Golongan Karya (Golkar) sebagai representasi kedaulatan rakyat dalam demokrasi.
Elite-elite Golkar dominan sebagai penghuni parlemen, dilengkapi dengan wakil TNI-Polri untuk menjaga stabilitas. Dramaturgi politik berlangsung dengan skenario yang telah dibuat dan telah ditentukan hasilnya di panggung belakang. Tapi publik diyakinkan bahwa semua yang terjadi di panggung depan adalah realitas yang sesungguhnya.
Politik membunuh negeri kita karena rakyatnya tidak punya suara yang berseberangan dengan mainstream pemerintah. Ideologi, pengetahuan, kapasitas, dan kemelekpolitikan dibuat seragam. Tak ada seorang pun yang menjadi lebih cerdas atau lebih berani mengeluarkan pikiran dan pendapat tentang kondisi yang terjadi.
Lalu akhirnya, politik kemudian membunuh Indonesia versi Presiden Soeharto. Pada 1998, kekuasaan Soeharto yang otoriter ini digulingkan dalam sebuah drama politik yang dahsyat. Reformasi bergulir. Lalu, kita kembali mencontoh nalar Hatta tentang multipartai.
Karena lebih 30 tahun masa Presiden Soeharto rakyat tak berdaulat, multipartai dibayangkan akan membangkitkan kekuatan-kekuatan rakyat. Tapi, kepentingan setiap partai politik yang berbeda, menyebabkan kita kembali "terbunuh" oleh politik.***
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda