USAI membaca dua esai di media ini, "Sastra Sumatra Merdeka Bukan Slogan Kosong" ditulis Yulhasni, dan "Sastra Sumatra Merdeka" ditulis Afrion, saya teringat pada para elite di daerah sekitar awal dekade 2000. Mereka berteriak tentang pentingnya desentralisasi dalam membangun daerah. Mereka mengasumsikan, desentralisasi itu syarat utama untuk mewujudkan reformasi yang berhasrat besar membangun otonomi daerah. Otonomi daerah itu, konon, dibayangkan sebagai sebuah keadaan yang memposisikan pemerintah daerah sebagai pemegang kekuasaan atas berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di aras lokal.
Dalam sejumlah seminar dan diskusi, misalnya yang ditaja Forum Gubernur se-Sumatra, perkara desentralisasi ini mengerucut jadi semacam slogan untuk mengurangi campur tangan Jakarta terhadap urusan rumah tangga di daerah. Kemudian disepakati, daerah-daerah di Pulau Sumatra akan membangun berbagai fasilitas untuk menyaingi Jakarta, seperti jaringan listrik yang terkoneksi dari Lampung sampai Aceh karena sumber energi listrik terbesar di negeri ini ada di Pulau Sumatra guna mendukung investasi di sector angroindustri dan agrobisnis terutama sawit dan karet.
Bahkan, para Gubernur se-Sumatra sampai pada kesimpulan pentingnya Pulau Sumatra memiliki jaringan rel kereta api, maskapai penerbangan sendiri dan terakhir harus ada jembatan yang menghubungkan Pulau Sumatra dengan Pulau Jawa. Perkembangan selanjutnya kita tahu, semangat yang digaungkan para Gubernur se-Sumatra itu justru meredup karena tak dibarengi dengan penguatan pemikiran terkait pentingnya sebuah nasionalisme yang khas Pulau Sumatra, yang mampu merekatkan seluruh warga bangsa di Pulau Sumatra.
Upaya daerah membangun Forum Gubernur se-Sumatra untuk merebut posisi sentral, justru menegaskan fakta yang sebenarnya bahwa posisi Jakarta sebagai sentral tak akan tergoyahkan. Penyebabnya, agenda yang dirancang para kepala daerah itu adalah agenda-agenda yang memiliki ketergantungan dengan Jakarta. Terutama karena peraturan perundang-undangan sebagai orde bagi seluruh warga bangsa dan Negara selalu memposisikan Jakarta sebagai pusat segala sesuatu. Seperti telah dibayangkan, bukan keberhasilan atas perjuangannya yang dirauf para Gubernur se-Sumatra, sebaliknya justru kekecewaan.
Jejak-jejak dari keinginan para Gubernur se-Sumatra ini muncul dalam esai Yuhasni dan Afrion. Keduanya menawarkan gagasan pentingnya melawan Jakarta sebagai sentral dalam dinamika kehidupan kesusastraan di Negara ini. Meskipun perlawanan yang dimaksud tak jelas hendak mengobarkan apa, kecuali sejumput keluh-kesah yang terdengar seperti ratapan.
"Gerakan Sastra Sumatera Merdeka," tulis Yulhasni, " muncul sebagai akibat terjadinya hegemoni pusat (baca : Jakarta) terhadap berbagai bentuk penciptaan karya, distribusi karya, bahkan sampai penyelenggaraan kegiatan sastra." Afrion, yang banyak mengamini Yulhasni, mengerucut pada gagasan bahwa Sastra Sumatera Merdeka harus membatasi dominasi teks buku sejarah sastra Indonesia terbitan Jakarta dalam menguasai pangsa pasar daerah.
Yulhasni dan Afrion meratap? Ya, karena persoalan yang dipersoalkan sesungguhnya sangat sepele. Kedua penyastra ini mengasumsikan, karya-karya sastra yang ditulis para sastrawan dari Pulau Sumatra (khususnya Sumatra Utara) bernasib lebih malang dibandingkan nasib karya yang ditulis sastrawan dari Pulau Jawa (Jakarta). Menurut mereka, karya sastrawan dari Jakarta menjadi bacaan sebagian besar pembaca sastra di negeri ini karena didukung penerbit buku yang bonafit dan distribusi yang luar biasa.
Taruhlah mereka benar, tapi bagaimana mereka akan mengatasi semua hal yang diratapi itu, sehingga karya sastrawan Sumatra Utara menjadi bacaan bagi masyarakat Sumatra Utara?
Masa lalu sastrawan Sumatra Utara, setidaknya, tak bisa disamai dengan sastrawan masa sekarang. Nama-mana besar sastrawan Sumatra Utara tak cuma tercatat, tetapi juga memiliki fenomena sendiri dalam menentukan perkembangan kesusastraan di Tanah Air. Sastrawan Sumatra Utara hari ini, nyaris tak punya sejarah untuk menandainya. Karya mereka, yang bertebaran di ruang-ruang sastra media cetak, juga yang diterbitkan dalam bentuk antologi kolektif, hampir tak punya teriakan. Karya-karya itu lahir dengan suara yang hanya terdengar di Sumatra Utara.
Barangkali persoalannya bukan pada hagemoni Jakarta, tapi karena wibawa karya sastra para sastrawan Sumatra Utara memiliki nasib yang buruk dalam masyarakatnya. Begitu sastrwan Sumatra Utara menyiarkan karyanya, gemanya hanya akan sampai pada radius beberapa meter, hanya di seputaran para sastrawan. Keadaan semacam itu, kiranya siapa pun tahu, bukanlah lantaran kesalahan Jakarta yang terlalu hagemoni. Jakarta tak mengurusi sastra dan sastrawan Sumatra Utara, karena sastra dan sastrawan Sumatra Utara punya batas sendiri bagi pengaruhnya.
Berbeda halnya dengan Bangka-Belitung yang masih dalam wilayah Pulau Sumatra. Kehadiran kesusastraan modern di provinsi itu, sejak novel Laskar Pelangi muncul, benar-benar menjadi sebuah pertanda perubahan sosial, yang kemudian diikuti oleh perubahan-perubahan sosial yang lebih merata. Padahal, sejarah sastra di daerah itu sangat muda, bahkan provinsi itu sendiri hanya sebuah provinsi yang muncul kemudian setelah dimekarkan dari Provinsi Sumatra Selatan.
Bila membandingkan masyarakat sastra di Bangka-Belitung dengan masyarakat sastra di Sumatra Utara, bisa disebut masyarakat sastra Sumatra Utara harus belajar dari masyarakat sastra Bangka-Belitung. Dengan kata lain, persoalan yang dipersoalkan Yulhasni dan Afrion sesungguhnya persoalan yang perlu dijawab sendiri oleh keduanya.
Tanggung jawab keduanya, untuk menghasilkan karya sastra yang lebih diminati masyarakatnya, harus ditagih. Artinya, persoalan sesungguhnya adalah persoalan ketidakmampuan merebut agenda estetika dalam berkesusastraan, yang kemudian dialihkan menjadi agenda merebut politik dalam berkesusastraan.
Merebut agenda politik di aras reformasi, seperti yang dilakukan para Gubernur se-Sumatra, tidak akan membawa hasil apapun. Kekecewaan demi kekecewaan akan menghampiri, yang lebih menegaskan betapa kerja-kerja pergerakan harus didukung dengan peikiran yang andal. Ada subtansi intelektual yang jelas ranah ontologism, aksiologis, dan epistimeloginya. Jika tidak, maka gerakan apapun termasuk Sastra Sumatra Merdeka akan terperangkap menjadi gerakan primordial yang menjauh dari ranah intelektual.
Daripada mengurusi masalah dominasi Jakarta, yang dalam derajat tertentu memang benar demikian, jauh lebih bagus bila para sastrawan merebut agenda estetika dalam berkarya. Dengan begitu, titik utama yang perlu menjadi perhatian adalah membenahi kualitas karya sastra yang ada di Sumatra Utara, membangun infrastruktur yang mampu membuat karya sastra Sumatra Utara menjadi dominan bacaan masyarakat Sumatra Utara. Dengan begitu, bukan mustahil suatu saat karya-karya sastra dari Sumatra Utara akan mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum pengajaran di dunia pendidikan.
Akhir kata, kita tak bisa menimpakan kesalahan pada Jakarta atas ketidakmampuan kita menghasilkan karya sastra yang layak dibaca masyarakat Sumatra Utara.
Bahkan, para Gubernur se-Sumatra sampai pada kesimpulan pentingnya Pulau Sumatra memiliki jaringan rel kereta api, maskapai penerbangan sendiri dan terakhir harus ada jembatan yang menghubungkan Pulau Sumatra dengan Pulau Jawa. Perkembangan selanjutnya kita tahu, semangat yang digaungkan para Gubernur se-Sumatra itu justru meredup karena tak dibarengi dengan penguatan pemikiran terkait pentingnya sebuah nasionalisme yang khas Pulau Sumatra, yang mampu merekatkan seluruh warga bangsa di Pulau Sumatra.
Upaya daerah membangun Forum Gubernur se-Sumatra untuk merebut posisi sentral, justru menegaskan fakta yang sebenarnya bahwa posisi Jakarta sebagai sentral tak akan tergoyahkan. Penyebabnya, agenda yang dirancang para kepala daerah itu adalah agenda-agenda yang memiliki ketergantungan dengan Jakarta. Terutama karena peraturan perundang-undangan sebagai orde bagi seluruh warga bangsa dan Negara selalu memposisikan Jakarta sebagai pusat segala sesuatu. Seperti telah dibayangkan, bukan keberhasilan atas perjuangannya yang dirauf para Gubernur se-Sumatra, sebaliknya justru kekecewaan.
Jejak-jejak dari keinginan para Gubernur se-Sumatra ini muncul dalam esai Yuhasni dan Afrion. Keduanya menawarkan gagasan pentingnya melawan Jakarta sebagai sentral dalam dinamika kehidupan kesusastraan di Negara ini. Meskipun perlawanan yang dimaksud tak jelas hendak mengobarkan apa, kecuali sejumput keluh-kesah yang terdengar seperti ratapan.
"Gerakan Sastra Sumatera Merdeka," tulis Yulhasni, " muncul sebagai akibat terjadinya hegemoni pusat (baca : Jakarta) terhadap berbagai bentuk penciptaan karya, distribusi karya, bahkan sampai penyelenggaraan kegiatan sastra." Afrion, yang banyak mengamini Yulhasni, mengerucut pada gagasan bahwa Sastra Sumatera Merdeka harus membatasi dominasi teks buku sejarah sastra Indonesia terbitan Jakarta dalam menguasai pangsa pasar daerah.
Yulhasni dan Afrion meratap? Ya, karena persoalan yang dipersoalkan sesungguhnya sangat sepele. Kedua penyastra ini mengasumsikan, karya-karya sastra yang ditulis para sastrawan dari Pulau Sumatra (khususnya Sumatra Utara) bernasib lebih malang dibandingkan nasib karya yang ditulis sastrawan dari Pulau Jawa (Jakarta). Menurut mereka, karya sastrawan dari Jakarta menjadi bacaan sebagian besar pembaca sastra di negeri ini karena didukung penerbit buku yang bonafit dan distribusi yang luar biasa.
Taruhlah mereka benar, tapi bagaimana mereka akan mengatasi semua hal yang diratapi itu, sehingga karya sastrawan Sumatra Utara menjadi bacaan bagi masyarakat Sumatra Utara?
Masa lalu sastrawan Sumatra Utara, setidaknya, tak bisa disamai dengan sastrawan masa sekarang. Nama-mana besar sastrawan Sumatra Utara tak cuma tercatat, tetapi juga memiliki fenomena sendiri dalam menentukan perkembangan kesusastraan di Tanah Air. Sastrawan Sumatra Utara hari ini, nyaris tak punya sejarah untuk menandainya. Karya mereka, yang bertebaran di ruang-ruang sastra media cetak, juga yang diterbitkan dalam bentuk antologi kolektif, hampir tak punya teriakan. Karya-karya itu lahir dengan suara yang hanya terdengar di Sumatra Utara.
Barangkali persoalannya bukan pada hagemoni Jakarta, tapi karena wibawa karya sastra para sastrawan Sumatra Utara memiliki nasib yang buruk dalam masyarakatnya. Begitu sastrwan Sumatra Utara menyiarkan karyanya, gemanya hanya akan sampai pada radius beberapa meter, hanya di seputaran para sastrawan. Keadaan semacam itu, kiranya siapa pun tahu, bukanlah lantaran kesalahan Jakarta yang terlalu hagemoni. Jakarta tak mengurusi sastra dan sastrawan Sumatra Utara, karena sastra dan sastrawan Sumatra Utara punya batas sendiri bagi pengaruhnya.
Berbeda halnya dengan Bangka-Belitung yang masih dalam wilayah Pulau Sumatra. Kehadiran kesusastraan modern di provinsi itu, sejak novel Laskar Pelangi muncul, benar-benar menjadi sebuah pertanda perubahan sosial, yang kemudian diikuti oleh perubahan-perubahan sosial yang lebih merata. Padahal, sejarah sastra di daerah itu sangat muda, bahkan provinsi itu sendiri hanya sebuah provinsi yang muncul kemudian setelah dimekarkan dari Provinsi Sumatra Selatan.
Bila membandingkan masyarakat sastra di Bangka-Belitung dengan masyarakat sastra di Sumatra Utara, bisa disebut masyarakat sastra Sumatra Utara harus belajar dari masyarakat sastra Bangka-Belitung. Dengan kata lain, persoalan yang dipersoalkan Yulhasni dan Afrion sesungguhnya persoalan yang perlu dijawab sendiri oleh keduanya.
Tanggung jawab keduanya, untuk menghasilkan karya sastra yang lebih diminati masyarakatnya, harus ditagih. Artinya, persoalan sesungguhnya adalah persoalan ketidakmampuan merebut agenda estetika dalam berkesusastraan, yang kemudian dialihkan menjadi agenda merebut politik dalam berkesusastraan.
Merebut agenda politik di aras reformasi, seperti yang dilakukan para Gubernur se-Sumatra, tidak akan membawa hasil apapun. Kekecewaan demi kekecewaan akan menghampiri, yang lebih menegaskan betapa kerja-kerja pergerakan harus didukung dengan peikiran yang andal. Ada subtansi intelektual yang jelas ranah ontologism, aksiologis, dan epistimeloginya. Jika tidak, maka gerakan apapun termasuk Sastra Sumatra Merdeka akan terperangkap menjadi gerakan primordial yang menjauh dari ranah intelektual.
Daripada mengurusi masalah dominasi Jakarta, yang dalam derajat tertentu memang benar demikian, jauh lebih bagus bila para sastrawan merebut agenda estetika dalam berkarya. Dengan begitu, titik utama yang perlu menjadi perhatian adalah membenahi kualitas karya sastra yang ada di Sumatra Utara, membangun infrastruktur yang mampu membuat karya sastra Sumatra Utara menjadi dominan bacaan masyarakat Sumatra Utara. Dengan begitu, bukan mustahil suatu saat karya-karya sastra dari Sumatra Utara akan mendorong pemerintah untuk menjadikannya sebagai bagian dari kurikulum pengajaran di dunia pendidikan.
Akhir kata, kita tak bisa menimpakan kesalahan pada Jakarta atas ketidakmampuan kita menghasilkan karya sastra yang layak dibaca masyarakat Sumatra Utara.
Analisa edisi Minggu, 2 Desember 2012
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda