Pelancong dalam Sastra
Esai Budi Hatees
Seorang kritikus sastra harus melakukan kontrol atas kegiatan-kegiatan dan prestasi-prestasi sastra seorang sastrawan…
--- Wiratmo Sukito
JIKA dianalogikan dengan pemerintahan, posisi Hasan Albana tegak sebagai eksekutif dalam dunia cerpen di Sumatra Utara. Pembaca sebagai masyarakat sastra memosisikannya sebagai ikon. Damiri Mahmud kemudian menempati posisi legislatif, lalu memakzulkan Hasan Albana.
Damiri Mahmud, kritikus sastra yang paham sejarah sastra di negeri ini, membandingkan Hasan Albana dengan Bokor Hutasuhut. Sekalipun Hasan Albana kini jadi kiblat dalam penulisan cerpen yang kuat ditandai lokalitas, tapi bagi Damiri Mahmud karya-karya itu—terutama yang terkumpul dalam buku Sampan Zulaikha (2010)—tak lebih dari semacam catatan seorang pelancong yang terkagum-kagum terhadap apa yang dilihatnya.
Tak seperti Bokor Hutasuhut, lokalitas dalam cerpen-cerpennya adalah lokalitas di lingkungan kultur yang menghidupkannya. Intinya, Hasan Albana bukan orang Batak sekalipun ia menulis realitas orang Batak dalam cerpennya. Sedangkan Bokor Hutasuhut adalah orang Batak, maka ketika ia bicara tentang orang Batak, ia sedang bicara tentang bagian dari dirinya.
Sebab itu, Damiri Mahmud memakzulkan Hasan Albana sebagai sastrawan yang khas dengan lokalitas habatakon (nilai-nilai budaya Batak) dan Melayu pesisir dalam karyanya. Dua ranah budaya itu banyak dibicarakan Hasan Albana dalam cerpen-cerpennya. Kekhasan yang menumbuhkan sayap pada namanya, sehingga ia selalu terbang sebagai sastrawan Sumatra Utara yang paling sering dipuji.
Kini Hasan Albana ikon sastrawan Sumatra Utara. Jika ingin tahu realitas masyarakat Sumatra Utara, bacalah karya-karya Hasan Albana. Dalam cerpen-cerpennya, Sumatra Utara mendapat pengakuan sebagai wilayah yang plural, tanah air dari sekian banyak penganut kultural.
*
BARANGKALI hanya pada karya Hasan Albana kita menjadi sadar betapa Sumatra Utara sebuah wilayah geografis dan cultural yang plural. Bagi saya yang berasal dari lingkungan budaya Batak Angkola—kultur yang pertama kali muncul dalam sejarah sastra di Sumatra Utara lewat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar—cerpen-cerpen Hasan Albana memiliki posisi penting. Ia menjadi pewaris sastrawan yang bicara tentang daerahnya dalam berkarya, dan tak banyak sastrawan seperti itu di tengah-tengah gempuran budaya global yang membuat para sastrawan Sumatra Utara bicara tentang kehidupan orang-orang urban.
Setelah Merari Siregar muncul dengan Azab dan Sengsara, ada banyak sastrawan yang lahir dari lingkungan budaya Batak yang ada di Sumatra bagian Selatan—secara geografis disebut Kabupaten Tapanuli Selatan. Daerah ini dihuni dua budaya, Batak Angkola (setelah pemekaran daerah kini menyebar di wilayah Tapanuli Selatan, Padang Lawas, dan Padanglawas Utara), Mandailing (menjadi masyarakat asli di Mandailing Natal), serta asimilasi Batak Angkola dan Mandailing yang banyak ditemukan di Kota Padang Sidempuan. Kota Padangsidempuan menjadi kota urban, kota yang berada dalam pengaruh dua kebudayaan besar, Batak Angkola dan Mandailing. Hasan Albana besar di Kota Padangsidempuan, tumbuh bersama realitas budaya kota ini yang merupakan hasil asimilasi kebudayaan Batak Angkola dan Mandailing.
Tapi Hasan Albana tak lahir sebagai orang Batak Angkola atau Mandailing, melainkan sebagai orang Daret—sebutan untuk masyarakat Minangkabau yang banyak merantau ke wilayah Tapanuli Selatan. Sejarah orang Minangkabau di wilayah Tapanuli Selatan adalah sejarah para pedagang dan penambang di ladang-ladang emas di sekitar wilayah Natal. Ladang-ladang emas yang kemudian diambil alih kolonialisme Belanda, lalu memaksa para penambang melarikan diri dan menyebar ke daerah yang kini disebut Kota Padangsidempuan.
Telah berbilang abad, dari keluarga Minangkau perantau itu lahir generasi baru yang tidak ingin kembali ke Sumatra Barat. Mereka diterima masyarakat di wilayah Tapanuli Selatan karena kecakapan di bidang perdagangan, ditambah pengaruh agama Islam yang mereka sebarkan sambil berdagang. Sebagai bentuk penerimaan, mereka disebut orang Daret untuk membedakan dengan penduduk asli. Sebagai bentuk penghormatan, orang Daret juga menerima sebagian kebudayaan masyarakat asli dengan memakai marga pada namanya.
Apakah Hasan Albana seorang pelancong yang melihat realitas budaya di lingkungannya kemudian memindahkannya dalam cerpen?
Berbeda dengan Bokor Hutasuhut, yang berasal dari lingkungan budaya Batak Angkola di Kecamatan Sipirok. Karya-karyanya banyak bicara tentang masyarakat Batak Toba, terutama yang hidup di sekitar Danau Toba, sebuah budaya yang bukan milik leluhur budayanya. Novel Penakluk Ujung Dunia, sama sekali tidak bicara tentang budaya Batak Angkola, tapi bicara nilai-nilai dalam budaya Batak Toba.
Di lingkungan Batak Angkola, sejarah pembukaan perkampungan baru—hal yang paling banyak dibicarakan dalam Penakluk Ujung Dunia -- didorong oleh (1) semangat marga untuk mengeksvansi ke dalam wilayah yang sudah dimiliki masyarakat marga lain ditandai dengan banyaknya terjadi perang antarmasyarakat marga; (2) memperluas wilayah karena wilayah asal sudah tak mampu menampung pertumbuhan penduduk; dan (3)terusir dari daerah asal karena kalah dalam perang antarmasyarakat marga.
Dari ketiga hal yang mendorong pembukaan perkampungan baru itu, tak satu pun dilakukan secara individu. Pembukaan perkampungan baru dilakukan secara kolektif, bergotong royong, dan butuh proses lama. Untuk meyakinkan bahwa sebuah daerah yang baru dibuka bisa menjadi perkampungan baru, selalu diawali dengan penanaman tiga jenis tanaman: burangir (sirih), haruaya (beringin), dan bulu (bambo). Jika ketiga jenis tanaman itu tumbuh, maka perkampungan baru itu akan baik untuk masyarakatnya. Ketiga tumbuhan itu melambangkan kesuburan (sirih), kekuatan (beringin), kerendahan hati (bambo).
Bokor Hutasuhut adalah orang asing di tengah-tengah budaya Batak Toba, di daerah Balige. Ia berasal dari lingkungan budaya yang berbeda, yang bicara tentang budaya Batak Toba, tapi sangat keliru jika menyebutnya sebagai ahli waris Batak Toba. Artinya, secara kultural Bokor Hutasuhut tak berbeda dengan Hasan Albana saat membicarakan lokalitas masyarakat Batak dalam karya-karya mereka.
Jika Hasan Albana adalah pelancong, maka Bokor Hutasuhut juga pelancong yang terkesima dengan apa yang dilihatnya.
*
KEMBALI ke analogi di awal tulisan ini, bahwa Damiri Mahmud sedang mengambil posisi sebagai kritikus sastra dengan karya-karya Hasan Albana sebagai bahan yang dikritik. Saya teringat pada Wiratmo Sukito yang pernah menulis seperti dikutif di awal tulisan ini. Dan, sungguh, ungkapan itu tak relevan zaman sekarang. Cara seperti itu akan sangat gampang menggiring seorang kritikus pada kesimpulan-kesimpulan yang aneh. Tak demokratis. Seorang sastrawan akan dimakzulkan karena karyanya. Digulingkan dari kedudukannya sebagai sastrawan. Pemakzulan sastrawan oleh kritikus sekaligus sebagai pengakuan bahwa kritikus adalah lembaga pentasbihan. Kritikus adalah beatifikator.
Seorang kritikus sesungguhnya seorang guru yang mengajarkan cara membaca. Ia guru yang serius, yang membuka wawasan muridnya untuk melihat sebuah karya sastra secara holistic. Ada banyak perspektif yang ditawarkannya, dan ia tak merekomendasikan satu perspektif saja. Ia menghasratkan sebuah karya sastra menjadi karya yang luar biasa, yang bisa dibaca dengan kenikmatan penuh oleh pembacanya.
Tak ada pengambilan keputusan di sana. Tak ada penunggalan makna. Makna tetap berjejal. Setiap pembaca boleh memilih makna mana yang cocok dengan dirinya. Cocok, karena karya sastra itu membuatnya lebih paham atas realitas yang sedang dihadapinya. Tapi kritikus bukan wakil pembaca, bukan legislator, ia hanya semacam pembuka kunci dari sekian banyak pintu yang bisa dimasuki siapa pun. Kritikus adalah pemegang kunci. *
Tulisan ini saya tujukan untuk Bapak Damiri Mahmud dengan segala hormat. Saya pernah kirim ke Analisa, tapi tak dimuat. He...he...
Seorang kritikus sastra harus melakukan kontrol atas kegiatan-kegiatan dan prestasi-prestasi sastra seorang sastrawan…
--- Wiratmo Sukito
JIKA dianalogikan dengan pemerintahan, posisi Hasan Albana tegak sebagai eksekutif dalam dunia cerpen di Sumatra Utara. Pembaca sebagai masyarakat sastra memosisikannya sebagai ikon. Damiri Mahmud kemudian menempati posisi legislatif, lalu memakzulkan Hasan Albana.
Damiri Mahmud, kritikus sastra yang paham sejarah sastra di negeri ini, membandingkan Hasan Albana dengan Bokor Hutasuhut. Sekalipun Hasan Albana kini jadi kiblat dalam penulisan cerpen yang kuat ditandai lokalitas, tapi bagi Damiri Mahmud karya-karya itu—terutama yang terkumpul dalam buku Sampan Zulaikha (2010)—tak lebih dari semacam catatan seorang pelancong yang terkagum-kagum terhadap apa yang dilihatnya.
Tak seperti Bokor Hutasuhut, lokalitas dalam cerpen-cerpennya adalah lokalitas di lingkungan kultur yang menghidupkannya. Intinya, Hasan Albana bukan orang Batak sekalipun ia menulis realitas orang Batak dalam cerpennya. Sedangkan Bokor Hutasuhut adalah orang Batak, maka ketika ia bicara tentang orang Batak, ia sedang bicara tentang bagian dari dirinya.
Sebab itu, Damiri Mahmud memakzulkan Hasan Albana sebagai sastrawan yang khas dengan lokalitas habatakon (nilai-nilai budaya Batak) dan Melayu pesisir dalam karyanya. Dua ranah budaya itu banyak dibicarakan Hasan Albana dalam cerpen-cerpennya. Kekhasan yang menumbuhkan sayap pada namanya, sehingga ia selalu terbang sebagai sastrawan Sumatra Utara yang paling sering dipuji.
Kini Hasan Albana ikon sastrawan Sumatra Utara. Jika ingin tahu realitas masyarakat Sumatra Utara, bacalah karya-karya Hasan Albana. Dalam cerpen-cerpennya, Sumatra Utara mendapat pengakuan sebagai wilayah yang plural, tanah air dari sekian banyak penganut kultural.
*
BARANGKALI hanya pada karya Hasan Albana kita menjadi sadar betapa Sumatra Utara sebuah wilayah geografis dan cultural yang plural. Bagi saya yang berasal dari lingkungan budaya Batak Angkola—kultur yang pertama kali muncul dalam sejarah sastra di Sumatra Utara lewat novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar—cerpen-cerpen Hasan Albana memiliki posisi penting. Ia menjadi pewaris sastrawan yang bicara tentang daerahnya dalam berkarya, dan tak banyak sastrawan seperti itu di tengah-tengah gempuran budaya global yang membuat para sastrawan Sumatra Utara bicara tentang kehidupan orang-orang urban.
Setelah Merari Siregar muncul dengan Azab dan Sengsara, ada banyak sastrawan yang lahir dari lingkungan budaya Batak yang ada di Sumatra bagian Selatan—secara geografis disebut Kabupaten Tapanuli Selatan. Daerah ini dihuni dua budaya, Batak Angkola (setelah pemekaran daerah kini menyebar di wilayah Tapanuli Selatan, Padang Lawas, dan Padanglawas Utara), Mandailing (menjadi masyarakat asli di Mandailing Natal), serta asimilasi Batak Angkola dan Mandailing yang banyak ditemukan di Kota Padang Sidempuan. Kota Padangsidempuan menjadi kota urban, kota yang berada dalam pengaruh dua kebudayaan besar, Batak Angkola dan Mandailing. Hasan Albana besar di Kota Padangsidempuan, tumbuh bersama realitas budaya kota ini yang merupakan hasil asimilasi kebudayaan Batak Angkola dan Mandailing.
Tapi Hasan Albana tak lahir sebagai orang Batak Angkola atau Mandailing, melainkan sebagai orang Daret—sebutan untuk masyarakat Minangkabau yang banyak merantau ke wilayah Tapanuli Selatan. Sejarah orang Minangkabau di wilayah Tapanuli Selatan adalah sejarah para pedagang dan penambang di ladang-ladang emas di sekitar wilayah Natal. Ladang-ladang emas yang kemudian diambil alih kolonialisme Belanda, lalu memaksa para penambang melarikan diri dan menyebar ke daerah yang kini disebut Kota Padangsidempuan.
Telah berbilang abad, dari keluarga Minangkau perantau itu lahir generasi baru yang tidak ingin kembali ke Sumatra Barat. Mereka diterima masyarakat di wilayah Tapanuli Selatan karena kecakapan di bidang perdagangan, ditambah pengaruh agama Islam yang mereka sebarkan sambil berdagang. Sebagai bentuk penerimaan, mereka disebut orang Daret untuk membedakan dengan penduduk asli. Sebagai bentuk penghormatan, orang Daret juga menerima sebagian kebudayaan masyarakat asli dengan memakai marga pada namanya.
Apakah Hasan Albana seorang pelancong yang melihat realitas budaya di lingkungannya kemudian memindahkannya dalam cerpen?
Berbeda dengan Bokor Hutasuhut, yang berasal dari lingkungan budaya Batak Angkola di Kecamatan Sipirok. Karya-karyanya banyak bicara tentang masyarakat Batak Toba, terutama yang hidup di sekitar Danau Toba, sebuah budaya yang bukan milik leluhur budayanya. Novel Penakluk Ujung Dunia, sama sekali tidak bicara tentang budaya Batak Angkola, tapi bicara nilai-nilai dalam budaya Batak Toba.
Di lingkungan Batak Angkola, sejarah pembukaan perkampungan baru—hal yang paling banyak dibicarakan dalam Penakluk Ujung Dunia -- didorong oleh (1) semangat marga untuk mengeksvansi ke dalam wilayah yang sudah dimiliki masyarakat marga lain ditandai dengan banyaknya terjadi perang antarmasyarakat marga; (2) memperluas wilayah karena wilayah asal sudah tak mampu menampung pertumbuhan penduduk; dan (3)terusir dari daerah asal karena kalah dalam perang antarmasyarakat marga.
Dari ketiga hal yang mendorong pembukaan perkampungan baru itu, tak satu pun dilakukan secara individu. Pembukaan perkampungan baru dilakukan secara kolektif, bergotong royong, dan butuh proses lama. Untuk meyakinkan bahwa sebuah daerah yang baru dibuka bisa menjadi perkampungan baru, selalu diawali dengan penanaman tiga jenis tanaman: burangir (sirih), haruaya (beringin), dan bulu (bambo). Jika ketiga jenis tanaman itu tumbuh, maka perkampungan baru itu akan baik untuk masyarakatnya. Ketiga tumbuhan itu melambangkan kesuburan (sirih), kekuatan (beringin), kerendahan hati (bambo).
Bokor Hutasuhut adalah orang asing di tengah-tengah budaya Batak Toba, di daerah Balige. Ia berasal dari lingkungan budaya yang berbeda, yang bicara tentang budaya Batak Toba, tapi sangat keliru jika menyebutnya sebagai ahli waris Batak Toba. Artinya, secara kultural Bokor Hutasuhut tak berbeda dengan Hasan Albana saat membicarakan lokalitas masyarakat Batak dalam karya-karya mereka.
Jika Hasan Albana adalah pelancong, maka Bokor Hutasuhut juga pelancong yang terkesima dengan apa yang dilihatnya.
*
KEMBALI ke analogi di awal tulisan ini, bahwa Damiri Mahmud sedang mengambil posisi sebagai kritikus sastra dengan karya-karya Hasan Albana sebagai bahan yang dikritik. Saya teringat pada Wiratmo Sukito yang pernah menulis seperti dikutif di awal tulisan ini. Dan, sungguh, ungkapan itu tak relevan zaman sekarang. Cara seperti itu akan sangat gampang menggiring seorang kritikus pada kesimpulan-kesimpulan yang aneh. Tak demokratis. Seorang sastrawan akan dimakzulkan karena karyanya. Digulingkan dari kedudukannya sebagai sastrawan. Pemakzulan sastrawan oleh kritikus sekaligus sebagai pengakuan bahwa kritikus adalah lembaga pentasbihan. Kritikus adalah beatifikator.
Seorang kritikus sesungguhnya seorang guru yang mengajarkan cara membaca. Ia guru yang serius, yang membuka wawasan muridnya untuk melihat sebuah karya sastra secara holistic. Ada banyak perspektif yang ditawarkannya, dan ia tak merekomendasikan satu perspektif saja. Ia menghasratkan sebuah karya sastra menjadi karya yang luar biasa, yang bisa dibaca dengan kenikmatan penuh oleh pembacanya.
Tak ada pengambilan keputusan di sana. Tak ada penunggalan makna. Makna tetap berjejal. Setiap pembaca boleh memilih makna mana yang cocok dengan dirinya. Cocok, karena karya sastra itu membuatnya lebih paham atas realitas yang sedang dihadapinya. Tapi kritikus bukan wakil pembaca, bukan legislator, ia hanya semacam pembuka kunci dari sekian banyak pintu yang bisa dimasuki siapa pun. Kritikus adalah pemegang kunci. *
Tulisan ini saya tujukan untuk Bapak Damiri Mahmud dengan segala hormat. Saya pernah kirim ke Analisa, tapi tak dimuat. He...he...
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda