Oleh Budi Hatees
Terbit di Analisa edisi Minggu, 4 Maret 2012
Menulis dalam bahasa daerah? Tentu saja ini sebuah pilihan kreatif yang tidak akan dipilih semua penulis. Apalagi di era ketika grafik penutur bahasa daerah di negeri ini menunjukkan penurunan setiap tahun. Sangat mungkin, para sastrawan yang tumbuh di lingkungan masyarakat berkebudayaan Jawa dan karenanya bisa bertutur dalam bahasa Jawa, belum tentu akan menulis dalam bahasa Jawa sekalipun penutur bahasa Jawa begitu masif di negeri ini.
Orang-orang tertentu dengan alasan-alasan yang layak menginspirasi orang banyak, pasti memilih menulis dalam bahasa daerahnya.
Tak banyak penulis seperti mereka. Dari lingkungan penutur bahasa Jawa, Lanang Setiawan pantas dicatat. Dari lingkungan penutur bahasa Sunda, Acep Zamzam Noor bisa juga menjadi inspirasi.
Kita tahu, baik penutur bahasa Jawa maupun bahasa Sunda, sama-sama masif di negeri ini. Penutur kedua bahasa daerah ini pun memiliki masyarakat yang tingkat kesadarannya sangat tinggi dalam melestarikan bahasa daerah. Di lingkungan masyarakat Jawa misalnya, berbahasa Jawa bukan untuk melestarikan bahasa Jawa. Bahasa Jawa menjadi bahasa pengantar yang paling resap dalam diri masyarakat Jawa. Begitu juga halnya dengan masyarakat berkebudayaan Sunda. Bagi mereka berbahasa Sunda jauh lebih resap daripada berbahasa Indonesia. Bahkan, pemerintah daerah setempat mewajibkan satu hari berbahasa Sunda di lingkungan birokrasi agar bahasa Sunda semakin melimpah penuturnya.
Sebab itu, menulis dalam bahasa Jawa bagi Lanang Setiawan atau menulis dalam bahasa Sunda bagi Acep Zamzam Noor, sama pentingnya dengan menulis dalam bahasa Indonesia. Tidak heran jika Lanang Setiawan maupun Acep Zamzam Noor dikenal luas sebagai sastrawan di seantero negeri, terutama di lingkungan masyarakat penganut kebudayaannya masing-masing.
Bandingkan dengan sastrawan yang berasal dari lingkungan masyarakat berkebudayaan Batak.
Sulit menemukan karya sastra dalam bahasa Batak sekalipun jumlah sastrawan yang lahir dan besar sebagai penganut kebudayaan Batak sangat melimpah. Padahal, perbedaan jumlah penutur bahasa Batak tidak kalah banyak dibanding penutur bahasa Jawa atau Sunda. Sebab itu, tidak ada alasan bagi sastrawan berkebudayaan Batak untuk kehilangan pembaca seandainya tetap menulis dalam bahasa Batak.
Folklor
Pembuka tulisan ini pastilah dibantah mahasiswa Program Studi Sastra Daerah Fakultas Sastra USU yang berdiri tahun 1979. Di Jurusan Sastra Daerah, terutama pada Program Studi Bahasa dan Sastra Batak, dikajian banyak karya sastra berbahasa Batak dari semua sub etnis: Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak dan Dairi. Mereka, tentu, sering membaca sastra berbahasa Batak.
Harus diakui, sastra berbahasa Batak yang menjadi objek kajian para mahasiswa itu, merupakan sastra lama yang lebih tepat kita kelompokkan ke dalam foklor. Tradisi sastra lisan yang tumbuh di lingkungan masyarakat berkebudayaan Batak sangat melimpah, dilisankan secara turun-temurun dan nyaris tidak ada upaya untuk mendokumentasikannya.
Sastra berbahasa Batak yang dimaksud dalam esai ini adalah sastra moderen yang ditulis dalam bahasa Batak. Defenisi ini saya pinjam dari panitia penghargaan Hadiah Sastra Rancage. Setiap awal tahun, Yayasan Rancage yang digagas sastrawan Ajip Rosidi memberikan penghargaan kepada karya sastra berbahasa daerah, juga penghargaan kepada penulis (penyastra) yang menulis dalam bahasa ibu.
Pada awalnya, hadiah sastra Rancage untuk melestarikan warisan-warisan kebudayaan Sunda. Belakangan, penghargaan serupa diberikan kepada sastra berbahasa Jawa, kemudian menyusul pada 2008 sastra berbahasa Lampung masuk dalam penilaian.
Dalam rangka mempromosikan sastra berbahasa Lampung agar masuk dalam penilaian Rancage Award pada 2008, sastrawan Hawe Setiawan, panitia penyelenggaran Rancage Award pada 2007, mensyaratkan karya sastra bahasa daerah yang akan dinilai, harus berupa buku. Selain itu, penerbitan buku sastra berbahasa daerah harus memiliki kontinuitas, sehingga tujuan awal pemberian hadiah untuk pelestarian dan peningkatan jumlah penutur bahasa daerah bersangkutan akan tercapai.
Syarat lain yang tak kalah penting adalah buku karya sastra berbahasa daerah itu bukanlah buku yang merangkum tradisi sastra lisan. Buku yang berisi karya sastra moderen sebagaimana sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sehingga perkembangan sastra berbahasa daerah setidaknya bisa mengikuti perkembangan sastra berbahasa Indonesia.
Alasan seperti ini, karya sastra berbahasa Lampung tidak lagi masuk dalam penilaian Rancage Award pada 2012. Pasalnya, masyarakat Lampung mengirimkan dua buku berbahasa Lampung yang merupakan kumpulan sastra lisan, Cerita Rakyat Raden Intan karya Rudi Suhaimi dan Hikayat Radin Jambat karya Iwan Nurdayah Djaffar.
Budaya Leluhur
Tentu saja tak ada kaitan antara Hadiah Sastra Rancage dengan pilihan kreatif Saut Poltak Tambunan (SPT) ketika sastrawan asal Sumatera Utara ini, memilih menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen berbahasa Batak dengan tajuk Mangongkal Holi (Penerbit Selasar Pena Talenta, 2012). Buku setebal 170 halaman ini berisi 10 cerpen, semuanya berbahasa Batak dari lingkungan masyarakat Batak beradat Toba, ditulis dengan pretensi “untuk menghargai dan melestarikan kekayaan tradisi warisan leluhur budaya Batak”.
Upaya SPT pantas menginspirasi siapa saja. Seperti halnya masyarakat berbahasa Jawa maupun berbahasa Sunda, penutur bahasa Batak sangat masif. Masyarakat Batak identik sebagai masyarakat perantau, tapi mereka tidak akan pernah meninggalkan akar tradisi yang menghidupinya. Bahasa Batak, salah satu tradisi yang juga bukti konkret dari tingginya peradaban masyarakat Batak, selalu akan dituturkan orang Batak dalam situasi apa pun. Sebab itu, ketika masyarakat Batak menjadi perantau di negeri orang, mereka bisa dengan mudah ditandai dari bahasa Batak yang tetap mereka pakai sebagai alat berkomunikasi sekaligus bahasa persatuan.
Tampaknya, realitas masyarakat Batak yang mencintai bahasanya inilah yang lebih banyak mendorong SPT untuk menulis karya sastra dalam bahasa Batak dan menerbitkannya sebagai buku.
Tentu, SPT bukan orang pertama yang menulis dalam bahasa Batak. Karya sastra moderen berbahasa Batak memiliki sejarah panjang di Sumatra Utara. Di lingkungan masyarakat berbahasa Batak dari sub kultur Angkola, pada dekade 1920-an, banyak lahir sastrawan yang menulis dalam bahasa Batak dari sub kultur Angkola. Sitti Djaoerah: Padan Djanji Na Togoe (1927), novel yang ditulis Soetan Hasoendoetan Siregar, satu dari banyak novel berbahasa Batak dari sub kultur Angkola.
Soetan Hasoendutan Siregar, satu di antara sekian banyak sastrawan cum jurnalis yang lahir dari lingkungan masyarakat Kecamatan Sipirok. Karya-karyanya fenomenal bagi masyarakat di lingkungan Batak Angkola, karena setting cerita memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat. Selain Soetan Hasoendoetan Siregar, ada juga Soetan Pangoerabaan Pane dengan novelnya Toelboek Haleon – juga berbahasa Batak. Soetan Pangoerabaan Pane, kemudian melahirkan anak-anak yang kelak namanya mengukir sejarah sastra moderen di negeri ini, yakni Armijn Pane dan Sanusi Pane. Salah seorang anaknya, Lapran Pane menyejarah sebagai pendiri HMI, yang banyak melahirkan elite di negeri ini.
Soetan Hasoendoetan Siregar lahir di Desa Paranjulu, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan pada 1890. Dia masuk sekolah dasar yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda dengan pengantar bahasa Batak. Dia menikah pada usia 18 tahun dengan gadis sekampung, lalu hijrah ke Tano Doli (Kota Medan) tahun 1908. Semasa hidup, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di perkebunan teh milik Belanda di Sumatra Timur. Pada tahun 1919, dia pernah menjadi editor surat kabar Tapian Na Oeli yang terbit di Sibolga.
Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe pertamakali terbit tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat kabar Poestaha – surat kabar berbahasa Batak yang didirikan tahun 1914 di Padang Sidempuan oleh Sutan Casayangan Soripada Harahap. Setelah pemuatan serial, roman ini mendapat respon positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu diterbitkan menjadi buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya 457 halaman. Kedua jilid buku roman ini diterbitkan oleh Tpy Drukkerij Philemon bin Haroen Siregar di Pematang Siantar.
Tema Sitti Djaoerah tak begitu berbeda dengan novel-novel sezaman. Kala itu, tema yang paling menonjol adalah kawin paksa dan perdebatan seputar ketradisionalan yang berhadapan dengan kemoderenan. Jika kita bandingkan dengan roman-roman yang terbit tahun 1920-an, terutama keluaran Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920), Moeda Teroena oleh Muhammad Kasim (1922), Sitti Noerbaja oleh Marah Roesli (1922), Darah Moeda oleh Adinegoro (1927), dan Sengsara Membawa Nikmat oleh Toelis Soetan Sati (1929).
Ke khasan dalam roman Sitti Djaoerah, nasib tokoh-tokohnya. Paman itu semua karakter berakhir dengan kematian, Sitti Djaoerah justru tidak. Seorang tokoh perempuan justru mampu memperjuangkan apa yang dikehendakinya (sebagai perempuan), yang tidak menerima begitu saja apa yang dikehendaki oleh orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri. Dia perempuan, tahu apa yang dia mau dan mewujudkannya dalam hidupnya.
Sitti Djaoerah nama tokoh perempuan berakhir dengan hidup bahagia (happy ending) yang menikah dengan seorang laki-laki yang dicintai dan mencintainya.
Keunikan lain adalah bahasa. Roman-roman yang terbit zaman itu ditulis dalam bahasa melayu tinggi (terbitan Balai Pustaka) atau bahasa melayu rendah (terbit di luar Balai Pustaka). Soetan Hasoendoetan justru menulis dalam bahasa Batak Angkola. Untuk menegaskan pendiriannya di dalam kata pengantar singkat romannya, Soetan Hasoendoetan berasalan karena bahan-bahan bacaan di kampungnya di Tapanuli Selatan sangat kurang apalagi bacaan yang bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Karena itulah dia menulis romannya dalam bahasa Batak.
Bahasa Batak Angkola merupakan bahasa Batak yang paling banyak dipakai oleh Hasoendoetan dalam Sitti Djaoerah. Bahasa Batak-Toba hanya dipakai saat tokoh utama, Dja Hoemarkar, berangkat ke Tano Doli ketika melewati daerah Toba. Saat Sitti Djaoerah dan ibunya tengah berada di Panyabungan (daerah Mandailing), Soetan Hasoendoetan memakai bahasa dialek Mandailing. Demikian, juga ketika tokohya lagi berada di Medan, Sitti Djaoerah saat mencari Dja Hoemarkar lewat iklan melalui surat kabar Pertja Timoer, digunakan bahasa Melayu. Juga, sepanjang kisah, pembaca akan menjumpai istilah-istilah dalam bahasa Arab yang umum dipakai sehari-hari sebagai identitas lain dari penulisan roman. Demikian juga penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Belanda seperti vrij, schrijver, kantoor, advertentie dan administrateur akan dapat ditemukan dalam roman itu.
Roman ini jadi bahan Susan Rodger (antropolog Amerika Serikat) untuk belajar bahasa Batak ketika memulai studinya di daerah Tapanuli, di Kecamatan Sipirok. Bahkan, Rodgers menerjemahkan roman ini ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan tahun 1997 dengan judul, Sitti Djaoerah: A Novel of Colonial Indonesia. [M.J. Soetan Hasoendoetan, Sitti Djaoerah, A Novel of Colonial Indonesia, University of Wisconsin-Madison Center for Southeast Asian Studies, 1997. Translated and with introduction by Susan Rodgers].
SPT bukan orang asing di dunia kesusastraan nasional. Karyanya melimpah. Dia piawai menulis dalam segala genre. Dia juga seorang jurnalis, pernah bekerja sebagai editor di sebuah majalah wanita terbitan Jakarta.
Sebagai penulis, sosok SPT sangat kompleks. Pada dekade 1980-an, orang membicarakan SPT semata sebagai novelis. Banyaknya novel yang dihasilkan menjadikan dirinya lebih identik sebagai novelis. Padahal, cerpen, skenario, sajak dan esai yang dihasilkannya juga melimpah. Bahkan, kulitas setiap karyanya selalu terjaga.
Dibandingkan sastrawan lain yang segenerasi dengannya, Saut jauh lebih produktif. Bahkan, pada masa ketika rekan-rekan sastrawan seangkatannya mulai meredup dalam berkarya, Saut tetap menunjukkan produktivitas yang tinggi. Perhatiannya pun sangat total terhadap perkembangan dunia sastra ditandai dengan posisinya sebagai ketua umum Yayasan Pengarang AKSARA, sebuah yayasan yang didirikan oleh Himpunan Pengarang AKSARA.
Yayasan ini memberikan perhatian besar terhadap perkembangan dunia sastra dengan merangsang munculnya kreativitas para sastrawan lewat kegiatan diskusi dan penerbitan buku. Dalam hal diskusi, Saut juga mempelopori berdirinya Komunitas Kedai Ilalang, yang senantiasa eksis dengan ragam diskusi tentang perkembangan sastra juga penerbitan buku sastra.
Beragamnya aktivitas SPT dalam dunia kesusastraan, mendorongnya pada suatu saat menulis dalam bahasa Batak. Terbitnya buku kumpulan cerpen berbahasa Batak (torsatorsa Hata Batak), Mangongkal Holi (Penerbit Selasar Pena Talenta, 2012), merupakan bukti keuletan Saut untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Buku ini akan menjadi pelecut sejarah bagi masyarakat Batak untuk tidak takut kehilangan pembaca bila menulis dalam bahasa Batak.
Memang, dari 10 cerpen dalam buku ini, sebagian merupakan cerpen yang awalnya ditulis dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Justru karena diterjemahkan itulah cerpen tersebut menjadi lebih memiliki roh. Sebab, sesungguhnya roh dari cerpen itu akan muncul apabila ditulis dalam bahasa Batak, terutama karena kapital-kapital sosial masyarakat Batak menjadi lebih awet dalam teks-teks bahasa Batak.
Dalam cerpen Mangongkal Holi, yang bercerita tentang tradisi memindahkan makam leluhur (mangongkal holi) di lingkungan masyarakat Batak perantau yang tak resap lagi terhadap tradisi seperti itu. Dialok yang dibangun Saut di antara para tokohnya, yang menunjukkan kuatnya tradisi bermufakat di lingkungan masyarakat Batak, menjadi lebih menarik disimak sebagai sebuah gambaran antropologi budaya karena disajikan dalam bahasa Batak. Makna yang terkandung dalam setiap item kultur tradisi mangongkal holi yang harus melibatkan semua masyarakat di kampung, menerangkan kepada pembaca betapa masyarakat Batak merupakan sosok masyarakat yang hanya akan melakukan sebuah pekerjaan jika sudah dibicarakan dan diputuskan secara demokrasi.
Seandainya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, akan banyak nilai-nilai habatahon (budaya Batak) yang tak bisa ditemukan. Bahasa Batak membuat nilai-nilai itu tetap terjaga. Begitu juga halnya dengan cerpen Lanteung. Awalnya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, tapi ketika membacanya dalam bahasa Batak, ruh cerita tentang Lanteung lebih terasa.
Cerita-cerita lain dalam buku ini menjadi lebih tepat dikisahkan dalam bahasa Batak. Sebab itu, upaya Saut untuk melestarikan bahasa Batak dengan menulis karya sastra berbahasa Batak, layak menginspirasi banyak pihak. Sangat layak pula apabila panitia Hadiah Sastra Rancage pun mulai melirik karya sastra berbahasa Batak untuk diikutsertakan dalam penilaian. Pasti, kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak akan terjaga sebagaimana kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Sunda dan Jawa.
Akhir kata, salut untuk kreativitas SPT. Semoga jalan lama yang dibuka kembali makin diikuti banyak sastrawan asal Sumatra Utara, yang lahir dan besar dari tradisi masyarakat Batak.
/04 Mar 2012
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda