Kerudung para Tersangka

by - September 06, 2012

Oleh Budi Hatees

Terbit di Jurnal Nasional edisi Jum'at, 22 Jun 2012

PUBLIK menyaksikan paradoks para tersangka korupsi di negeri ini. Para pelaku tindak kriminalitas itu selalu tampil di hadapan publik dalam balutan pakaian yang berasal dari lingkungan religius umat Islam: yang perempuan mengenakan kerudung atau jilbab, sedangkan laki-laki berkopiah. Padahal, perbuatan mereka berupa memperkaya diri secara ilegal, mencuri dari negara sehingga berdampak serius terhadap kepentingan orang banyak, tak senapas dengan gaya berbusananya.

Jilbab identik sebagai busana muslimah, sedangkan kopiah bagian dari tradisi mode kebudayaan Melayu yang sangat kuat dipengaruhi nilai-nilai agama Islam. Kedua jenis pakaian itu lazim dipakai pada kegiatan-kegiatan ibadah agama Islam, karena mampu membangun citra kealiman atau kesalehan pada diri si pemakai.

Mungkin para tersangka hanya ingin memberi kesan agar dinilai “berkelakuan baik", sehingga kelak bisa mengurangi nominal hukuman. Bukankah jumlah hukuman para tersangka di negeri ini sangat tergantung pada subyektivitas para pemegang palu? Sedangkan subyektivitas itu sangat tergantung pada dinamika yang berlangsung selama proses penyidikan, penyelidikan, persidangan, dan ruang politik sebagai tempat hidup dunia hukum kita.

Kita tak tahu persis apa alasan mereka. Yang jelas, setiap tersangka, apalagi mereka yang duduk di kursi pesakitan di ruang-ruang pengadilan, selalu tampil di hadapan publik seakan-akan orang saleh. Simbol-simbol agama Islam--kerudung, jilbab, kopiah, peci, dan tasbih--melekat pada diri mereka. Perilaku mereka pun saat mendengarkan dakwaan, sering seperti orang yang sedang berzikir dengan tasbih mereka. Seakan-akan simbol-simbol dan perilaku itu bagian dari keseharian mereka.

Sebut saja Neneng Sri Wahyuni, buron tersangka kasus PLTS Kemenakertrans yang juga istri M Nazaruddin--tersangka kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput ke rumahnya, publik melihat di layar televisi muncul fragmentasi gambar di mana Neneng mengenakan kerudung. Saat bersamaan, di layar televisi itu juga muncul sosok Neneng yang kontras tanpa berkerudung, yang menunjukkan penampilan kesehariannya.

Sesungguhnya Neneng dikenal publik tanpa kerudung, terutama oleh orang-orang di sekitarnya. Ia menggerai rambutnya yang legam, beraktivitas dengan mode pakaian yang menunjukkan dirinya berasal dari kelas sosial tertentu. Tapi, saat KPK menjemput ke rumahnya, Neneng berkerudung dan membuat publik tak begitu mengenali sosok yang wajahnya acap muncul sejak tersangka M Nazaruddin mengirim surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar anak dan keluarganya jangan “diganggu".

Penampilan Neneng inilah yang disikapi dalam tajuk berjudul, “Jilbab pun Kini Dibajak Koruptor" (Jurnal Nasional, 15 Juni 2012). Media ini menyimpulkan, penggunaan kerudung atau segala macam simbol yang berkaitan dengan Islam oleh tersangka dipakai sebagai tameng “perlindungan". Bisa saja benar, sebab pakaian adalah simbol. Ia mengacu pada makna tertentu yang dicobausahakan si pemakai agar melekat pada dirinya.

Seperti halnya kain sarung sebagai simbol yang melekat pada kalangan NU, maka orang akan segera menyebut NU sebagai kelompok “sarungan". Sama halnya dengan Joko Widodo, calon Gubernur DKI Jakarta. Ia senantiasa muncul di hadapan publik dengan pakaian motif kotak-kotak, yang oleh Joko Widodo disimbolkan sebagai pakaian rakyat. Sehingga, sulit membayangkan Joko Widodo tanpa pakaian kotak-kotak tampil menemui publik konstituennya.

Namun demikian, layak dipertanyakan: apakah bagi para tersangka simbol-simbol Islam merupakan simbol paling representatif untuk menegaskan kesalehan atau membangun citra diri sebagai seorang yang alim? Mungkin benar, terutama bila kita membicarakan masifikasi busana muslim dalam kehidupan tren industri mode di negeri ini.

Ada universalitas busana muslim karena tren mode ini senantiasa dikaitkan dengan perilaku si pemakai. Para perancang yang memasifikasi tren busana muslim senantiasa memublikasikan nilai-nilai Islam yang melekat pada busana tersebut. Nilai-nilai kepantasan sosial untuk selalu tampil modis sekaligus sopan di hadapan publik.

Namun, trlepas dari persoalan tren mode itu, pemakaian simbol-simbol Islam oleh tersangka korupsi dikhawatirkan berdampak pada stigma negatif tentang umat Islam. Artinya, para tersangka yang memakai simbol-simbol Islam itu secara tak langsung hendak mengomunikasikan kepada publik luas bahwa umat Islam identik sebagai tersangka kasus kriminalitas, terutama kasus korupsi. Apa sebuah keharusan untuk tampil saleh meski Anda sesungguhnya bukan orang saleh, setidaknya karena Anda terlibat kasus korupsi?

Mungkin, fenomena tersangka memakai simbol-simbol Islam bisa dikaitkan dengan ada yang pincang dalam pemahaman mereka tentang Islam. Bagi mereka, Islam tak lebih sekadar persoalan simbol, ditandai dengan pemahaman yang sempit terhadap manifestasi kesalehan dan kealiman lewat simbol pakaian muslim. Islam simbolik hanya memedulikan perkara raga, tanpa memahami substansi Islam sebagai wahyu untuk memberikan petunjuk dan sebagai way of life bagi manusia.

Petunjuk yang tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks kesalehan personal, sebaliknya berlaku secara makro pada tataran kesalehan sosial dan personal. Jika kita tilik secara bijak antara kesalehan personal dengan kesalehan sosial, keduanya berjalan linier dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal.

Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan (2006) menyebut ibadah sosial memiliki dimensi sosial yang lebih luas dibandingkan dimensi ibadah personal. Dalam teks-teks fikih klasik, kita dapat melihat bahwa bidang ibadah personal merupakan satu bagian saja dari sekian banyak bidang keagamaan seperti: muamalat (hubungan sosial), munakahat (hukum keluarga), jinayat (pidana), qadha (peradilan), dan imamah atau siyasah (politik). Ini bukti bahwa konten dari prinsip-prinsip beragama pada dasarnya mengarahkan pandangan pada kesalehan sosial dalam arti luas.

Dengan kata lain, kerudung para tersangka kasus korupsi adalah manifestasi dari ketidakpahaman mereka dalam beragama. Agama bagi mereka tidak lebih dari sekedar simbol, sesuatu yang bisa sangat melekat pada raga mereka, yang setiap saat dapat dipertontonkan kepada publik. n

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda